Bagian 18

6K 963 38
                                    

Acara ulang tahun yayasan hanya tinggal dua hari lagi. Kath mencurahkan seluruh perhatiannya pada persiapan acara tahunan yang kali ini ia buat sedikit berbeda. Kath mengadakan acara lelang bagi siapa saja yang mau ikut.

Kath sendiri akan melelang kalung giok miliknya yang berharga 1 juta Dollar. Kalung itu merupakan kalung kesayangan Kath, tapi ia memilih melelangnya karena uang hasil lelang akan disumbangkan pada anak-anak yang kurang gizi di berbagai belahan dunia.

"Mom memanggilku?" Ophelia datang ke ruang keluarga.

"Mendekatlah." Kath menepuk sisi sofa di sebelahnya. Meminta agar Ophelia duduk di sebelahnya.

Ophelia mendaratkan bokongnya. Ia tidak tahu kenapa Kath memanggilnya, mungkin ada sesuatu yang cukup penting untuk Kath bicarakan padanya.

"Tolong jaga kalung ini sampai hari ulang tahun yayasan tiba." Kath menyerahkan kotak perhiasan yang terbuat dari kaca pada Ophelia.

Ophelia melihat ke kotak kaca itu. Ia tidak pernah melihat kalung seindah itu sebelumnya. Ia yakin harga kalung itu pasti sangat mahal.

"Mom ingin kau yang membawa kalung ini pada saat acara pelelangan di mulai," tambah Kath.

"Aku masih belum pantas mendapatkan tanggung jawab sebedar ini, Mom." Ophelia menolak halus.

Kath meraih tangan Ophelia. "Jika bukan kau lalu siapa lagi? Ini untuk kegiatan amal yayasan, lakukanlah untuk mereka yang membutuhkan bantuan."

"Tapi, Mom." Ophelia masih mencoba untuk menolak.

"Ayolah, Nak." Kath membujuk Ophelia lagi.

Ophelia melihat ke kalung giok yang berkilauan. "Baiklah." Ia menerima pasrah.

Senyum Kath mengembang. "Ini baru menantuku."

***

Cia menatap cermin di depannya sembari mengoleskan body lotion ke lengannya. Ia memperhatikan Cello yang saat ini tengah memainkan ponsel sembari berbaring di ranjang.

Bagi Cia, Cello tidak pernah bisa lebih dari Aexio. Satu-satunya keunggulan Cello dibanding Aexio hanyalah bahwa Cello putra kandung keluarga McVille. Dari segala sisi Aexio lebih baik dari Cello.

Cia menelan pahit pilihannya sendiri. Ia tak tahu jika menjalani pernikahan tanpa cinta akan sangat menyakitkan. Awalnya Cia pikir ia bisa berada di sisi Cello meski tak memiliki perasaan apapun, seperti ayah dan ibunya yang menikah tanpa cinta. Namun, perkiraan Cia meleset, batinnya tersiksa ketika ia harus menjalani hidup bersama Cello.

Harapan Cia dari dulu adalah bangun dan terpejam di sebelah Aexio, tapi harapan hanyalah harapan, pria yang ia nikahi demi ambisinya bukan Aexio, melainkan Cello.

Seharusnya tak sulit belajar mencintai Cello. Pria itu lebih unggul dari pria lain yang Cia kenal selain Aexio, tapi cintanya pada Aexio sudah terlalu dalam, tak dapat diukur dengan alat pengukur apapun, hingga ia tidak bisa mencintai pria lain.

Memikirkan tentang cintanya yang masih besar pada Aexio, sedang Aexio sudah mulai berpaling, hati Cia berdarah. Bagaimana bisa Aexio semudah itu berpindah hati.

"Kau kenapa?" Cello sudah berdiri di sebelah Cia tanpa Cia sadari.

Cia segera menutupi kesedihan di matanya. Ia tersenyum pada suami yang sama sekali tidak ia cintai. "Aku tidak apa-apa."

Cello memeluk Cia dari belakang. Ada cinta dari tatapan mata Cello untuk Cia. "Aku ingin mengajakmu pergi malam ini, kau mau?"

"Ke mana?" tanya Cia.

"Makan malam di kapal pesiar yang baru kubeli untukmu." Cello memandangi pantulan Cia di cermin.

Cia selalu dibanjiri oleh hadiah-hadiah mahal dari Cello, tapi tak satupun dari hadiah itu yang bisa membuatnya senang.

"Baiklah. Aku akan segera bersiap."

Cello mengecup pipi Cia. "Aku juga akan bersiap." Cello melepaskan pelukannya dan segera pergi untuk mengganti pakaiannya.

Cia dan Cello telah siap, mereka melangkah bersama keluar dari kamar.

"Tunggu di sini." Cello meninggalkan Cia di teras rumah. Ia melangkah menuju ke garasi mobil, mengeluarkan mobil sport miliknya dan kembali pada Cia.

Mobil lain berhenti di belakang mobil Cello. Mata Cia melihat ke orang yang baru saja keluar dari mobil tersebut. Dia adalah Aexio, yang sama sekali tidak mempedulikan Cia.

Pandangan Cia masih saja terpaku pada Aexio. Hatinya teriris pilu ketika melihat Aexio menggenggam hangat tangan Ophelia. Denyut nyeri, luka tak berdarah, Cia rasakan. Sungguh menyiksa dirinya.

Cello memanggil Cia untuk yang ketiga kalinya, tapi Cia tidak mendengar sama sekali. Cia terjebak dalam api cemburu dan sakit hati.

Akhirnya Cello memutuskan keluar dari mobil. "Sayang." Cello menyentuh lengan Cia.

Cia tersadar. Ia menatap Cello linglung. "Ya, ada apa?"

"Ayo, mobil sudah siap." Cello membuka pintu kursi penumpang untuk Cia.

Cia tak menjawab. Ia segera masuk ke dalam mobil.

Cello melihat ke arah Aexio dan Ophelia sekilas. Entah apa hanya perasaannya saja, Cello merasa bahwa istrinya selalu melihat ke arah Aexio secara sembunyi-sembunyi. Hari ini bahkan lebih terlihat, Cia tidak menyadari panggilannya karena terpaku pada Aexio.

Hati Cello merasa tidak tenang. Bagaimana jika kali ini Aexio kembali merebut perhatian orang yang ia sayangi.

Cello meringis dalam hati. Jangan sampai hal buruk seperti itu terjadi, karena ia tak ingin rumah tangganya hancur. Terlebih ia tak ingin kehilangan Cia.

Suasana hati Cia buruk, tapi ia tidak menunjukannya. Ia tak mau Cello menyadari emosinya saat ini. Pengorbanan yang ia lakukan hingga sekarang sudah sangat banyak, akan sangat menyedihkan jika ia kehilangan Cello karena perasaan yang tak mampu ia atasi.

Sepanjang malam Cia tidak bisa meikmati kebersamaannya dengan Cello. Ia tersenyum munafik, bersikap seolah ia bahagia, tapi palsu.

Sedang Cello, ia pikir Cia benar-benar menyukai hadiahnya. Ia memeluk Cia sembari terus berdansa dengan istrinya tersebut.

***

Setelah beberapa jam lalu Aexio dan Ophelia pergi mencari udara segar yang Aexio sebut dengan sebutan 'kencan' kini Aexio bersantai di sisi Ophelia.

Aexio berbaring di pangkuan Ophelia. Ia menempelkan telinganya ke perut Ophelia yang tertutup gaun tidur.

Sejak tadi Ophelia mengeluh karena geli, tapi keluhannya tidak didengarkan sama sekali oleh Aexio. Pria itu terus saja pada posisinya, beralasan ingin mendengarkan detak jantung anak mereka.

"Aku sangat tidak sabar menunggu kehadirannya." Aexio mengelus perut Ophelia kemudian mengecupnya lembut.

Rasa hangat menjalar di dada Ophelia. Tanpa sadar tangannya menyentuh rambut Aexio, mengelusnya perlahan dengan lembut.

Aexio seperti anak kucing. Ia menikmati sentuhan tangan Ophelia di kepalanya. "Hey, macan kecilku, tumbuhlah dengan baik, Daddy dan Mommy menunggumu di sini." Ia kembali berkomunikasi dengan Aexio. Macan kecil merupakan panggilan sayang Aexio pada calon anaknya. Aexio pikir panggilan itu sangat lucu.

Suasana hening, Aexio hanya terus menempelkan telinganya di perut Ophelia. Entah sampai kapan ia akan melakukannya.

Kantuk menyerang Ophelia. Ia menguap, tangan kirinya bergerak menutup mulut.

Aexio memandangi Ophelia dari bawah. Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas. Meski Ophelia sangat kaku, terkadang jutek padanya, Aexio merasa bahwa ia tak salah menikahi wanita seperti Ophelia.

Ophelia bukan wanita tercantik yang pernah ia temui, tapi wanita ini mampu membuatnya tertarik. Aexio mengenali dirinya sendiri jauh lebih baik dari orang lain. Ia selalu menjaga diri dari orang asing, tapi untuk Ophelia, selalu tak ada batasan. Ophelia istimewa, Ophelia berbeda, itu yang Aexio tangkap selama ia mengenal Ophelia.

Aexio tak ingin mengambil kesimpulan dengan cepat. Ia tahu perasaannya mulai tergerak ke arah Ophelia, tapi menyimpulkan bahwa ia sudah mulai mencintai Ophelia itu terlalu dini. Aexio tidak ingin mengumbar kata cinta. Ia akan membiarkan perasaannya berkembang sesuai alur. Ia tak mau membuat Ophelia meragukan cintanya.






Tbc

Lily of the ValleyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang