"Suruh mereka menunggu di ruang meeting, saya akan ke sana sepuluh menit lagi."

"Baik Pak!" Setelah itu Heru langsung meninggalkan atasannya.

***
Waktu terasa berjalan lambat untuk Rubi. Padahal belum ada lima menit dia dan timnya menunggu di ruang rapat itu, tapi rasanya seperti dia sudah menunggu bertahun-tahun.  Jantungnya berdebar kencang, selain takut gagal dia juga takut tidak bisa mengendalikan diri di depan laki-laki itu.

"Maaf membuat kalian menunggu," ucap Arvin yang membuat semua orang menatap ke arahnya. Namun tatapan Arvin hanya tertuju pada wanita yang berdiri di depan layar proyektor.

"Tidak apa-apa, Pak. Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk kami," jawab Rubi yang berusaha untuk tenang.

Arvin dan stafnya duduk di kursi mereka masing-masing. Sementara Rubi memulai presentasinya. Rubi berusaha sebaik mungkin agar tidak melakukan kesalahan sedikitpun.  Rubi ingin semuanya sempurna hingga tidak ada celah Arvin untuk menolak proposal iklan yang dia ajukan.

Suara tepuk tangan mengiringi Rubi yang mengakhiri presentasinya. Dia menghela napas lega karena semua berjalan sesuai yang dia harapkan.

"Ada pertanyaan?" tanya Rubi setelah selesai presentasi.

Arvin mengangkat tangannya.

"Ya, silakan Pak Arvin,"ujar Rubi mempersilahkan.

"Apa alasan Anda, memilih mengunakan animasi dibandingkan menggunakan seorang model?"

"Karena menurut saya, mengunakan animasi memiliki keunggulan tersendiri. Salah satunya kita bisa memangkas biaya produksi dan efisiensi waktu pembuatan," jelas Rubi.

"Tapi menurut saya menggunakan seorang model, misalnya dari kalangan artis itu bisa menjadi strategi pemasaran tersendiri. Salah satu alasannya adalah karena para pengemar dari si artis pasti akan membeli produk yang di iklankan idolanya." Alvin mencoba membatah argumen dari Rubi.

Rubi menghela napas berat, rupanya seorang Arvin di meja kerja tidak semudah yang dia banyangkan. Benar kata orang-orang di kantornya jika seorang Arvin Pradika Kusumawardana adalah orang yang sulit dilakukan jika sudah menyangkut pekerjaan.

"Yang Bapak Arvin katakan memang benar, tapi kita ingin menjual produk bukan menjual popularitas dari si artis yang kita gunakan sebagai model. Oke, katakanlah dengan kita mengunakan artis, produk kita akan laku di beli orang pengemar si artis, tapi itu mungkin hanya terjadi penjualan pertama, tapi apa itu akan menjamin di penjualan tahap berikutnya?"

Sesaat  hening, tidak ada yang bersuara mungkin mereka sedang memikirkan apa yang sedang Rubi tanyakan. "Oleh karena itu kita harus membuat suatu iklan yang ikonik dan pastinya mudah diingat. Selain itu kualitas produk juga harus di nomer satukan jadi konsumen di penjualan pertama akan tetap membeli di penjualan berikutnya, sehingga produk pembeli akan membeli karena memang mereka menyukai produknya bukan karena siapa yang menjadi bintang iklannya."

Arvin masih terdiam hingga beberapa saat setelah penjelasan dari Rubi yang membuat seluruh peserta rapat binggung.

"Pak Arvin bagaimana? Masih ada yang ingin di tanyakan?" tanya Rubi.

"Cantik!" gumam Arvin tanpa sadar, setelah dari tadi memperhatikan Rubi.

"Maaf, Pak?" tanya Rubi bingung.

"Akh iya, oke saya terima ide kamu. Saya harap saya bisa segera mendapatkan draf dari iklan yang akan di tampilkan!" ujar Arvin setelah sadar dari dunianya yang sedang mengagumi Rubi.

"Terima kasih pak!" ujar Rubi sambil mengulurkan tangannya.

Arvin hanya menatap uluran tangan Rubi, dia sangat ingin menyambut tangan itu, tapi dia masih menyayangi nyawanya. Tidak akan lucu juga, jika dia tiba-tiba pingsan setelah bersalaman dengan Rubi.

"Saya rasa rapatnya cukup sampai di sini, terima kasih untuk hari ini," ujarnya lalu pergi yang di ikuti oleh para stafnya.

Rubi masih diam di tempat. Hatinya terasa sakit karena mendapatkan penolakan tak langsung dari Arvin.

"Udah Bi, Pak Arvin emang gitu. Dia nggak pernah ngejabat tangan orang lain terutama wanita?" ujar Dea.

"Kok gitu?"

"Nggak tau!"

"Ya udah De, Al, kalian duluan aja aku mau ke toilet dulu!" ujar Rubi lalu meninggalkan dua rekannya.

Dia tidak benar-benar ke toilet, dia mengejar Arvin. Biar bagaimanapun dia harus bicara dengan laki-laki. Karena menurut dia hanya Arvin-lah yang bisa membantunya menemukan ingatannya yang hilang.  Beruntung sosok Arvin masih terlihat olehnya meski sudah lumayan jauh. Dia mencoba berlari tapi Arvin semakin mendekat dengan lift.

"Pak Arvin saya ingin bicara!" teriak Rubi tapi sepertinya Arvin tak mendengarnya.  "Arvin Pradika Kusumawardana aku ingin bicara!" teriaknya dengan suara yang sangat lantang hingga menarik perhatian orang-orang disekitarnya.

Arvin terpaku, sosok Rubi yang dia lihat saat mengingatkannya pada gadis berseragam putih abu-abu yang meneriakkan namanya dengan lantang di koridor sekolah.

TBC

Hai hai lama ya nggak update.

Masih dengan alasan yang sama hehehe

Happy reading semoga kalian masih belum bosan nungguin aku yang malas ini untuk update.

Selamat hari Minggu ❤

Missing Between UsDove le storie prendono vita. Scoprilo ora