Aku? Nomor Dua? (I)

52 15 26
                                    

Suwarni dan Nomorejo hanya menunjukkan ekspresi kagum melihat aksi Sahid yang sibuk di depan laptop si guru berkaca mata. Keduanya nampak menyipitkan mata seperti mengamati sesuatu dengan seksama dan serius.

“Dari SMA Sawang ini Bu,”

“Kenapa ya? Apa kita ada masalah sama SMAN 1 Tambakan?”

“Saya kurang tahu,” jawab Sahid.

“Akan saya perbaiki segera, nanti njenengan yang edit laman utama, soalnya selain di tutup aksesnya, mereka juga otak-atik laman utama kita,”

“Gambar-gambar pembukanya juga jadi aneh,” ucap Nomorejo sambil menunjuk monitor.

“Ini situs judi online?” tanya Nomorejo.

“Ah, bukan, ini cuma pinjaman online kok,” jawab Sahid dengan tersenyum. Selayaknya Nomorejo, senyum Sahid amat kaku namun atmosfernya berbeda. Nomorejo merasa semakin aneh saja situasi saat ini.

‘Wah, bisa dapat banyak nih,’ ujar Sahid sambil menghafal alamat surel di depannya. Sesuai pertanyaan Nomorejo, itu adalah situs judi online yang bisa mendatangkan keuntungan buatnya. Lagi dan lagi, Sahid tersenyum.

(...)

Ruang BK

Giyatno memasuki ruangannya dengan aura menegangkan. Wajah bergurat keras dengan kaca mata yang digantungkan ke saku pakaiannya mulai tampak di depan Septa. Anak ini menundukkan kepalanya.

“Kamu kenapa sih, malah ikut-ikutan berkelahi?” tanya Giyatno sembari memakai kaca matanya. Ia membuka buku catatan berisi masalah-masalah yang terjadi di sekolah. Septa sempat melihat ada catatan kecil dengan tinta merah pada selembar kertas yang terselip di buku itu.

“Saya nggak suka sama petinju Pak,” jawab Septa lirih. Kedua tangannya terkepal di atas paha yang tertutup rok belahan satu ala SMA.

Giyatno menaikkan alis. Ia tahu apa yang dimaksud Septa. Dalam rasa kecewa dan kesalnya, dia merasa kasihan juga pada anak di depannya. Karena peristiwa itu, Septa sangat membenci ayahnya. Guru BK yang sekaligus adalah kakak ayahnya itu sibuk menorehkan tintanya sehingga membentuk huruf-huruf di atas kertas.

“Ayo tanda tangan, nanti ayahmu juga akan tanda tangan,” titah Giyatno.

Septa sempat terkejut sebentar.

‘Ayah?’

“Selamat siang,” suara bass laki-laki terdengar saat pintu ruangan kembali tertutup. Septa tampak kesal melihatnya.

“Selamat siang, dik. Septa ada sedikit masalah,” ujar Giyatno.

Alfandy Eka Marwanta, mantan petinju yang kini sibuk dengan usaha restoran bertema modern+ndeso memasuki ruangan yang tidak terlalu luas itu. Pria itu baru saja mengikuti pertemuan pengusaha se-Kabupaten Tlatar. Pakaiannya saja masih rapi, karena dia menjadi pembicara tadi.

“Ayah, ngapa--“Tenang, masalah selesai kok,” ucap Alfa sembari mengusap-usap kepala putrinya. Septa memasang wajah tak senang.

Dalam seperempat bagian jam, Alfa bicara banyak dengan Giyatno. Septa sibuk dengan handphonenya, mencoba tak menghiraukan pembicaraan pria berambut rapi di sampingnya yang sibuk membicarakan tentangnya.

3 menit kemudian, Alfa keluar bersama Septa.

“Nggak papa sekali-kali bikin masalah, biar ada warna di kehidupan,” ucap Alfa sembari merangkul anaknya.

“Ayah dulu juga pas SMA nakal hehe, dulu sering jadi tukang palak,”

Septa melepas rangkulan ayahnya.

My Quiet TeacherWhere stories live. Discover now