Prolog

135 13 10
                                    

"Gila, tahun ini lo dua puluh enam tahun." Suara cempreng itu memenuhi indera pendengaranku. Coba tebak, sudah berapa kali ucapan tadi terdengar selama satu bulan ini?

Aku menyambar snack yang sedang dipegang oleh Lisa --sahabatku sejak mereka masih berada di fase 'hidup segan, mati pun tak mau'. Jika diingat kembali, sudah hampir sepuluh tahun keduanya bersama.

Aku mengenal Lisa ketika berada di Universitas. Baik aku atau pun Lisa memiliki hobi dan minat yang sama --ghibah. Meskipun tidak ada yang positif dari hobi dan minat kami tersebut, tetapi nyatanya kami masih bersama sampai saat ini.

"Buruan cari pacar. Masa lo kalah sama Charlotte?"

Charlotte. Adik perempuanku yang baru saja menginjak usia dua puluh tiga tahun itu sudah menikah dan memiliki seorang anak laki-laki berusia dua tahun. Sebenarnya Charlotte tidak boleh menikah sampai aku menikah, tetapi Ardan --suami Charlotte mengatakan kalau ayahnya memiliki keinginan untuk melihat Ardan menikah sebelum meninggal, dan tepat dua hari setelah pernikahan, ayah Ardan meninggal dunia.

"Lo sendiri nggak nikah-nikah!" Aku menunjuk geram ke arah Lisa.

"Masih nunggu dilamar Bram." Bisa dibilang, sebenarnya kisah cinta Lisa lebih rumit, karena sampai sekarang, dirinya belum dilamar oleh Bram.

"Kasih kode, lah." Usulku.

"Heh," Lisa secara brutal menyentil dahiku, pedih men, "kalau itu sih udah gue lakuin, tapi hasilnya pun masih nihil. Apa perlu gue pura-pura selingkuh dari Bram?" Ia menggigit bibir bawahnya, merasa putus asa.

"Jangan, Lis," titahku seraya mengusap bahunya, "lo itu nggak pandai berbohong. Lo nggak inget bohong ke Bram lagi pergi ke Puncak, terus ternyata malah kepergok lagi have fun di Beer Garden bareng Mita?"

"Bener juga. Malah disitu gue hampir putus sama Bram." Lisa mengerucutkan bibirnya. Jika diingat kembali, hal itu memang agak memalukan. "Terus gue harus gimana, Tin? Kasih ide dong!"

"Boro-boro deh gue kasih ide, sampai detik ini aja gue belum ketemu sosok pria yang tepat."

"Apa gue udahan aja sama Bram? Tapi nggak make sense banget sih kalau tiba-tiba gue minta udahan sama dia. Nanti dia kira gue selingkuh." Lisa bersandar pada kursi sambil memainkan ujung bajunya.

Bram adalah tipe pria yang cuek dan memang tidak bisa ditebak jalan pikirannya. Sementara itu, Lisa cenderung ceplas-ceplos dan apa adanya. Dua kepribadian yang sangat bertolak belakang. Namun anehnya, mereka masih bersama sampai detik ini.

"Jangan," aku menggelengkan kepala, "mending lo lanjut dulu sama Bram. Siapa tahu kan Bram besok ngelamar lo."

Lisa terkekeh. "Iya sih. Gue pun sayang banget sama dia."

"Udahan dulu deh mikirin pernikahan. Gue juga pusing banget tahu nggak tiap saat ada aja pertanyaan soal cowok. Kalau Charlotte nggak nikah duluan, nggak bakal kayak gini sih." Aku memijat keningku pelan.

"Tapi gue salut sih sama Ardan. Dia bener-bener nikahin Charlotte, lho. Ya di samping karena bokapnya pingin lihat Ardan nikah, tapi diusia Ardan yang masih muda, dia termasuk berani ambil risiko."

"Lo tahu nggak? Bokap gue awalnya nolak buat nikahin Charlotte sama Ardan. Bukannya nggak suka, cuma ya umur Charlotte masih muda banget. Tapi pas denger alasannya langsung dari Ardan, bokap setuju."

"Umur berapa sih Charlotte nikah?" Tanya Lisa.

"Dua puluh tahun." Jawabku.

"Buset, itu waktu gue umur dua puluh tahun masih sibuk sama revisian."

"Ya, kita kan se-nasib." Sambungku.

[Bersambung]

a/n

Hey, aku harap kalian antusias sama buku ini karena aku pun sangat antusias.

Kritik dan saran akan sangat membantu. Jadi, jangan sungkan untuk berkomentar ya! :)

Slice of Love [NCT Kim Doyoung]Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu