Sebelum terpejam ia masih bisa melihat wajah Aldi yang pucat dan wajan tuan dan nona Richard yang bengkak.

Saat terpejam, wajah pertama yang ia lihat adalah wajah kedua orang tuanya yang tersenyum dengan tulus. Mereka mengelus kepala Vina dan bertanya bagaimana keadaan Vina tanpa mereka. Anehnya, Vina bisa menceritakan seluruh kisahnya selama sebelas tahun dalam waktu 11 menit saja.

Ayahnya merangkul pundak Vina dan ibunya tak berhenti tersenyum dengan mata yang dipenuhi embun.

"Aku bahagia anak kita telah tumbuh dewasa Ivan."

"Hmm...."

"Vina dengarkan pesan ayah dan mama ... Selama ayah dan mamamu ini hidup apa kau pernah mendengar bahwa kami menyimpan kebencian terhadap seseorang?"

Vina menggeleng, dalam benaknya memang tak ada satupun cerita buruk mengenai orang tuanya. Ibunya adalah pengajar di sebuah sekolah seni yang terkenal di Beijing, ia populer, terkenal ramah dan murah senyum.

Sementara ayahnya adalah seorang CEO dengan karakter yang kuat, bijaksana dan berwibawa. Ayahnya adalah pria tampan mempesona yang menjadi alasan patah hati sejuta wanita, saat ayahnya itu memilih menikahi ibu Vina.

"Tapi ma ... merekalah penyebab kematian kalian...." Vina masih berusaha mempertahankan argumennya tentang keluarga Richard.

Ibunya menggeleng pelan, sambil menepuk pipi halus putrinya, ia berkata penuh keyakinan,
"Tidak ada yang perlu disalahkan, semua sudah takdir, baik aku dan ayahmu telah bahagia kini melihatmu tumbuh besar dibawah kasih sayang nyonya Richard, mama harap Vina bisa memaafkan mereka, seperti kami yang telah memaafkan Tuhan karena telah memisahkan dirimu dari kita berdua."

Ibu Vina menoleh ke arah suaminya meminta sokongan persetujuan, pria minim ekspresi yang menjadi ayah Vina memberikan seulas senyuman pada putri dan istrinya.

Dari senyum yang langka itu, Vina bisa merasakan perubahan dalam dirinya, panasnya api yang membakar hatinya perlahan mengecil. Ia tahu ayahnya tidak mudah tersenyum kecuali untuk hal-hal yang begitu membahagiakan dirinya menyangkut istri tercintanya, dan hal yang bersifat sangat penting mendapat seulas senyum mahalnya sebagai dukungan.

Vina menggenggam kedua tangan orang tuanya dan menciuminya secara bergantian. Mereka bertiga berpelukan sebelum akhirnya, sebuah cahaya membawa pergi ayah dan ibu Vina, dan gadis itu ditarik oleh kekuatan lain menuju dunianya sekarang.

.

Vina membuka mata perlahan, ia telah kembali ke ruangan dimana ia dirawat sebelumnya. Seorang dokter tengah memeriksa denyut nadi dan irama di jantungnya.

"Operasinya berhasil, ia sudah melewati masa kritis"

Semua orang yang berada di ruangan itu mengeluarkan nafas lega.

Tuan dan nona Richard, paman Anton dan Aldi. Mereka bertiga melempar senyum bahagia antar satu dengan yang lain. Namun, jejak basah di mata mereka menggambarkan perasaan lain. Saat itu Vina tersadar di antara mereka seharusnya ada satu orang lagi.

"Dimana Rico?"
Vina bertanya pada mereka.

Aldi yang pertama terbatuk dan mengumpulkan tenaga mengahampiri Vina ke ranjangnya.
"Bukankah sudah kubilang, Rico sedang keliling dunia."

Mendengar itu nyonya Richard, ibu kandung Rico terisak. Menenggelamkan diri di dada suaminya, semakin lama tangisnya semakin menjadi. Tuan Richard pun tak kuasa menahan air mata istrinya, justru ia ikut terbawa emosi dan menumpahkan tangisnya persis seperti serigala yang terluka.

Ruangan itu dipenuhi isakan yang saling bersahutan, Aldi menghentikan aksinya yang ingin menggoda Vina, ia memilih ke luar ruangan dan berlari ke taman belakang rumah sakit.

Ia berteriak pada langit biru yang membisu,
"Rico kenapa kau sangat bodoh, kau tahu aku tidak bisa menyimpan rahasia sebesar ini, kembalilah, pulanglah Rico, siapa yang akan memarahiku di kelas nanti, siapa yang akan menarik kerah bajuku saat aku berhasil menggoda Vina, tolol, bodoh kau Rico."

Umpatan itu bergerak di udara dan menguap tanpa ada yang bisa mendengarnya, kecuali dirinya sendiri dan rerumputan hijau yang terhampar.

Aldi mengusap air matanya dengan kasar. Namun tiap kali ia berusaha menghapus jejaknya, air mata yang baru mengalir semakin deras di pipinya.

.
.
.

Pagi ini begitu berbeda, saat Vina membuka mata, ia tidak mendapati bunga tulip itu lagi di sisi pembaringannya. ia mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan, nihil.

Aldi masuk ke ruangan dengan setumpuk buku yang ia pegang. Melihat Vina seperti tengah berpikir dengan keras.

"Hai Vina, aku membawakan novel yang kau minta kemarin," suara Aldi terdengar ceria.

Nanun Vina masih belum tersadar dari pertanyaan yang memenuhi kepalanya, ia mengabaikan ucapan Aldi justru bertanya hal lain.


"Dimana bunga tulipnya?"

Bug.

Suara buku terjatuh di lantai, Aldi kehilangan kendali, sehingga buku-buku itu kini berhamburan terlepas dari posisi dekapan tangannya.

"To ... toko bunganya sedang tutup,"
Suara Aldi bergetar seiring wajahnya yang memucat. Tangannya tergesa merapikan tumpukan buku di lantai dengan gerakan lambat, berusaha menghindari kontak mata dengan Vina yang masih menatapnya tak percaya.

"Apa yang kau sembunyikan dariku?"

Suara Vina membuat seluruh tubuh Aldi melemah, tangannya terhenti pada tumpukan buku yang ketiga.

Ia mendudukkan dirinya di sebelah Vina, mengabaikan buku-buku yang terdiam meminta pertolongan dari lantai yang dingin.

"Aku akan menceritakannya nanti sepulang dari rumah sakit." setiap kalimat dari Aldi terlihat serius.

Vina menahan pertanyaannya yang lain dalam kepala tentang keberadaan Rico yang sudah seminggu lebih tidak menemuinya.

.
.
.

"Kenapa kau membawaku kemari?"
Vina menatap wajah Aldi dengan raut keheranan.

"Ada seseorang yang ingin bertemu denganmu"

Mereka menyusuri rumput hijau diantara batu nisan yang berjejer rapat. Seingat Vina ini bukan makam tempat orang tuanya disemayamkan. Ini adalah komplek pemakaman elite milik keluarga kaya raya. Apa yang jadi sebab seseorang yang ingin bertemu dengannya memilih lokasi ini sebagai tempat pertemuan?.

Aldi berhenti di sebuah makam yang masih baru, aroma segar bunga-bunga yang ditabur di atasnya masih terlihat belum lama disemaikan.

Vina berhenti kala membaca nama di batu nisan itu, ia merasa tengah bermimpi. Tidak mungkin nama itu ada di sana, 2 minggu yang lalu orang itu masih mengunjunginya di rumah sakit. Mengatakan akan pergi keliling dunia karena telah lulus ujian akhir dengan nilai yang bagus.

Meski Vina mengabaikan kehadirannya, orang itu tetap berceloteh tanpa henti, menceritakan kisah masa kecil mereka. Saat pertama kali Vina dibawa oleh ibunya ke rumah. Hari-hari mereka yang lebih sering dihabiskan bertengkar daripada bermain. Hari pertama mereka di sekolah dan mengenal teman baru. Semua kisah itu kini berputar di kepala Vina.

Apalagi saat ia menyadari kalimat terakhir yang diucapkan orang itu padanya.

"Jika bukan di bumi, aku akan menunggumu di langit, tetaplah hidup, dan berbahagialah"
Satu kecupan ringan memberikan makna yang dalam, kini Vina sadar kenapa saat orang itu mencium keningnya ia tidak berontak dan marah.

Ia merasakan ciuman itu begitu lembut dengan cinta yang meluap dan derita yang ditumpahkan lewat sentuhan hangat, seolah itu adalah ciuman terakhir, dan memang itu adalah ciuman terakhir. Karena kini, orang yang telah menciumnya terbaring di bawah tanah dengan tenang. Namanya terukir jelas di batu nisan.

-Rest in Peace- RICO RICHARDI


******




The End.






HeartWhere stories live. Discover now