Aldi mengalihkan pandangannya pada Vina dengan senyum yang dibuat-buat. Sangat berbeda dengan senyuman yang ia,lempar saat ia baru masuk ke ruangan.

"Ah ... iya, itu aku." Aldi menggaruk telinganya yang tidak gatal.

Vina terlihat lemah, bahkan untuk menangkap kebohongan dari balik senyum temannya.

"Oh ya, dokter telah menemukan donor untukmu, minggu depan kau akan dioperasi" Aldi mengalihkan pembicaraan, sebelum melanjutkan ia berbalik membelakangi Vina dan melakukan gerakan mengusap wajah.

Meski Aldi adalah pria yang konyol dan selalu terlihat ceria, untuk hal-hal yang sangat sensitif dan menyentuh hati, ia tidak bisa berpura-pura banyak dengan menebar senyum palsu yang justru membuat aktingnya terlihat bodoh dan menyedihkan.

.
.

Senyap, hanya suara mesin pembaca jantung berirama naik turun. Vina terlena oleh angannya sendiri, dengan bunga di tangannya dan infus di tangan yang lain.

Aldi berusaha menenggelamkan diri dalam buku yang ia pegang. Mengabaikan sepenuhnya tatapan Vina yang merasakan keanehan pada Aldi yang biasanya mengundang kehebohan dan tak mau diam dalam waktu yang lama.

Vina berusaha menelan egonya saat ia bertanya dengan suara yang hampir tak terdengar,
"Dimana Rico?"

Aldi hampir saja melempar bukunya ke langit-langit kamar, tangannya bergerak meraup buku yang terjatuh dengan posisi tengkurap di lantai.
Setelah itu ia menutup buku yang ia baca sembari meletakkan kembali apa yang ia baca di kepalanya, untuk membentuk kalimat yang tepat untuk menjawab pertanyaan temannya.

"Bukankah Rico sudah mengatakan padamu, ia akan berkeliling dunia?"

Aldi dengan segala kemampuannya berusaha menggoda Vina.
"Apa kau mulai merindukannya?"

"A-aku tid ... dak...."
Wajah Vina sedatar tembok, namun telinganya memerah persis seperti sikap mendiang ayahnya.

Jika kalian bertanya tentang orang tua Vina, maka jawabannya ada pada otang tua Rico.

Bahkan setelah sebelas tahun berlalu perasaan benci masih melekat di kepala Vina, sebagai anak tunggal yang ditinggal mati oleh kedua orang tuanya.

Segala kenyataan mengarahkan kematian itu pada tuan Richard sebagai penyebabnya. Vina berpegang teguh pada pandangannya, bahwa penyebab kematian kedua orang tuanya adalah pria kaya itu, yang tak lain adalah ayah Rico.

Kebencian itu mengakar, lebih kuat dari yang terlihat di permukaan. Meski istri dari tuan Richard telah mengadopsinya dan merawatnya seperti anak sendiri. Semua itu tidak merubah rasa sakit yang mulai Vina pelihara dengan asumsi-asumsi pribadinya tentang sosok kejam keluarga Richard.

Putra tunggal dari keluarga Richard pun tidak luput dari stempel kebencian yang Vina sematkan. Sedari kecil saat Vina dibawa ke rumah keluarga Richard, pemuda bernama Rico itu telah menampakkan kesombongan dan aura menindas yang arogan. Semua itu semakin mempertebal rasa bencinya terhadap Rico.

Vina mengacuhkan godaan Aldi padanya, sedikit kecewa karena bahkan matahari telah berada di tengah bumi dan bersinar demikian terangnya. Wajah Rico belum muncul juga, Vina dipenuhi pikiran buruk tentang Rico.

Bagaimana mungkin anak itu memilih berkeliling dunia, sementara saudara angkatnya tengah berjuang melawan penyakit? Begitulah batin Vina.

.

Ruang operasi.

Vina mulai mengantuk setelah seorang perawat menyuntikkan cairan melalui lubang infus di tangannya.

HeartWhere stories live. Discover now