Elpída #1

106 15 19
                                    

| Elpída #1 | Fantasi |

Elpída (Greek language): Harapan.

|Apifayi | 1143 words |

Aku baru saja mati. Jatuh ke ngarai besar tanpa sengaja, alasannya karena kaget. Katakanlah bila ada yang melihat, pasti dikira aku bunuh diri. Namun, siapa orang gila yang berdiam diri di pinggir jembatan sambil bengong?

Akulah orangnya dan konsekuensinya tidak bagus.

Sesaat waktu tubuhku tertarik gravitasi ke dalam sungai, aku seakan lupa banyak hal. Bahkan aku bertanya-tanya kenapa aku tidak dihadapkan pada kenanganku semasa hidup. Orangtua, teman-teman atau apalah. Namun, tidak ada. Yang kudengar hanya deru nguuuung... perih dan pandangan gelap yang menyiksa karena angin yang sepertinya ingin sekali meratakan wajahku.

Jatuh dari ketinggian dengan jarak spektakuler antara menghantam air atau tanah, akibatnya sama. Bahkan sebagian orang mengatakan jatuh menyongsong air dari ketinggian jarak super jauh masih jauh lebih fatal. Lebih menyiksa.

Aku terjun kepala lebih dulu, terombang-ambing di antara ruang waktu dan asa tanpa rasa. Dihantam angin, ditarik gravitasi dan tersedot oleh sesuatu yang tidak bisa ku deskripsikan. Semuanya terlupakan.

Tubuhku di rebut arus, ikut mengalir dengan jutaaan liter air payau dengan cara yang tidak ku mengerti, paru-paruku meretih meski air sungai dinginnya tak tertandingi. Jantungku redam, seakan seseorang menghilangkan fungsinya. Tak lagi ku kenal tubuhku, setelah hal penting dariku di renggut.

Tak ada lagi yang kusadari, akalku lumpuh, logika tak lagi berarti, aku tanpa kayuh menghilang dalam buih tak terperi. Aku baru saja menghadapi mati.

Saat terjaga, aku berada di antah-berantah. Keadaan tak terarah dan raga tak berperah.

Aku ketakutan, ingin memanggil seseorang. Namun, tidak ada nama yang bisa ku sebutkan.

Bisik-bisik menyuruhku terus melangkah. Aku berjalan dalam gelap gulita, menginjak atau menendang beberapa hal yang kadang-kadang berteriak.

Aku menggeser tubuhku dengan horor, sebuah suara baru saja berteriak, "hidungku!"

"Siapa?" tanyaku pada benda bersisik yang barusan ku injak. Suasana gelap tidak bisa membantuku mencari.

Suara lain menyahut, "terus saja berjalan atau kesempatanmu akan hilang," ujarnya memaksa.

Aku lanjut melangkah dengan lebih hati-hati, tak ingin menginjak benda di tanah yang bisa bicara lagi. Bisik-bisik di telinga masih terdengar, silih-berganti dengan suara khas lain-lain.
Ada di antara mereka mengatakan, kalau aku bisa saja mendapat kesempatan.

Para orang mati itu-aku mengiranya begitu terus membuatku was-was, ada satu kalimat lain yang terdengar. Suara yang mengatakan itu mengaku tahu akan dosaku, yang jangankan mendapat kesempatan. Menempuh perjalanan ini saja seharusnya terlarang.

Sekarang aku bersyukur kenanganku samar-samar, sepertinya aku tiba-tiba agak amnesia sebelum mati. Kata sebuah suara parau, aku bisa saja terkecuali. Meski dosaku berkuali-kuali, aku bisa membantah dengan kalimat ingatanku sudah tidak lengkap lagi.

Di lain waktu, suara lain menyahut dengan lebih optimis. "Kau bisa terlahir kembali, barangkali sebagai pengganti kutu yang mati."

"Jangan mau jadi kutu," sambar suara lain yang pemiliknya tak bisa kulihat. "Matinya penuh penderitaan. Kalau bukan bengek dengan kuku manusia, sudah pasti mangkat karena keracunan sampo anti ketombe."

Elpída ✓Donde viven las historias. Descúbrelo ahora