......

"Pagi, Tuan," seru dua pembantu yang berdiri tak jauh dari meja makan, menyambut si pria tampan yang memang adalah majikan mereka. Sang pemilik rumah. Sayangnya, pelit senyuman.

Pria itu hanya mengangguk, "Kopi, sedikit gula."

"Baik, Tuan." Salah satu pembantu pergi ke dapur, dan yang satunya lagi menyiapkan sarapan untuk tuannya.

"Ini, Tuan."

"Hmm, kalian pergilah!"

Kedua pembantu itu menunduk sebelum berlalu. Sedang pria itu menyesap kopinya sambil membaca berita dalam Tabnya. Kegiatan yang selalu dilakukannya setiap pagi.

"Pagi, my beloved Papa. Assalamu'alaikum." Pria muda dan tampan dengan seragam SMA yang tak lain adalah si tuan muda menyapa sang ayah dengan khasnya. Ceria. Mario Briyan Malik.

"Hmm, Wa'alaikumussalaam."

"Bi Marni yang cantik secantik teteh Luna Maya, Rio mau jus Apel dong," teriak Mario.

"Baik, Den."

"Waah, bi Marni memang cantik luar dalam deh. Tahu aja kesukaan Rio." Mario kembali berceloteh sambil mengusap kedua tangannya, matanya berbinar menatap hidangan yang tersaji di hadapannya. Makanan kesayangan. Udang balado.

Sang ayah hanya menggeleng tanpa berkomentar, "Makanlah!"

Tak perlu diperintah pun, Rio langsung mengisi piringnya dengan nasi dan lauk favoritnya. Setelah membaca bismillah, Mario makan dengan lahapnya. Begitupun dengan sang ayah. Menyantap nasi dengan lauk andalannya. Sup ikan tuna.

Ditengah makan, seakan ingat sesuatu, Mario menatap ayahnya sedikit ragu, seolah ada yang ingin dia utarakan, namun sedikit tak yakin.

Dan sepertinya itu dirasakan ayahnya. "Ada apa? Apa ada yang ingin kamu tanyakan sama Papa?"

"Emm, hari ini apa Papa sibuk?"

Sang ayah menatap putranya lekat, tak menjawab, seolah memang sedang menanti kelanjutan ucapan putranya.

Mario menunduk seakan ayahnya sudah tahu apa maksudnya, "M-mario ingin pergi makan malam, Pa. Bertiga."

Sudah bisa ditebak, sang ayahpun menghembuskan nafasnya, "Papa gak bisa janji sama kamu, hari ini Papa ada beberapa pertemuan dengan klien. Papa gak tahu akan selesai jam berapa. Kemungkinan Papa pulang malam."

Walau sedikit keberatan, Mario tersenyum, "Iya, Pa. Rio mengerti. Maaf, hehehe."

"Mungkin lain waktu."

"Iya, Pa. Makasih." Mario akan mencari alasan yang lainnya untuk menyampaikan pada ibunya atas penolakan ayahnya.

Mario adalah putra broken home semenjak dirinya menginjak usia 11 tahun yang lalu. Tepat saat dia masuk Sekolah Menengah Pertama.

Sebenarnya Mario tak begitu keberatan dengan perpisahan orangtuanya. Namun yang menjadi tekanan untuk dirinya adalah obsesi ibunya untuk kembali pada sang ayah. Sehingga menjadikan dirinya sebagai batu loncatan. Iya tahu, jika sang ayah tak lagi bisa mencintai ibunya, entah sebab apa.

Pernah dia menanyakan kenapa ayahnya tak bisa mencintai ibunya lagi, sang ayah hanya menjawab, "Manusia bisa berubah kapanpun dan pada siapapun." Dan itu sudah membuatnya cukup diri untuk tidak mencampuri urusan orang dewasa.

Perlakuan ibunya yang memang kurang baik di sepanjang ingatannya, mungkin itu juga salahsatu alasan kenapa dia tidak merasa keberatan dengan perpisahan orangtuanya.

Meski sampai sekarang dia tak bisa berbuat apa-apa atas semua tindakan ibunya yang sama sekali belum berubah, selalu menekan dan menyalahkan. Tak peduli sebesar apapun dirinya berusaha untuk menjadi kebanggaan sang ibu.

"The Secret"Where stories live. Discover now