Mario life

165 27 0
                                    


"Den, bangun. Sudah siang." Seorang wanita paruh baya mencoba membangunkan anak majikannya yang memang susah sekali untuk bangun. Sudah hampir 40 menit dirinya berusaha agar si tuan muda membuka matanya. Andai dia adalah putra kandungnya, sudah dia tendang ke Alaska.

"Aduuuh, Bi Marni yang cantiknya udah kaya teteh Miranda Kerr. Beri Rio sedikit waktu lagi, okey. Satu menit," gumam si pemuda dengan mata masih terpejam.

Bi Marni, sang pembantu sekaligus pengasuhnya sedari bayi. Hanya bisa menggelengkan kepala. Aah, ternyata terlalu sayang jika tuan muda yang sudah dia anggap anaknya sendiri ini bila harus ditendangnya. Bahkan gerutuan yang sempat terucap karena sudah kehabisan akal agar pemuda itu bangun, hilang entah kemana. Terganti dengan kekehan kecil kala melihat kelakuan anak asuhnya ini, berbicara satu tapi mengacungkan kelima jarinya.

"Apa dia belum bangun juga?"

Suara bass, datar dan dingin yang tiba-tiba terdengar, mampu membuat Marni, perempuan paruh baya itu menegang. Wajah yang tadinya tersenyum karena gemas dengan tuan mudanya, langsung pucat hanya mendengar suara tuan besarnya.

"B-belum, T-tuan."

Terdengar suara helaan nafas, "Biar saya yang bangunkan."

Marni mengangguk dan membungkuk sebelum keluar dari kamar tuan mudanya. "Haaaah," gambus Marni mengusap dada.

Padahal Marni dan teman kerja lainnya tak pernah sekalipun mendapat perlakuan buruk dari tuannya itu. Namun sikap tenang juga datarnya membuat mereka lebih waspada. Marahnya orang pendiam jauh lebih mengerikan, bukan?

"Ayah dan anak sama-sama tampan. Cuma kelakuan mereka berbanding balik," gumam Marni berbisik.

Jika tuan muda mereka adalah sosok yang ramah juga suka becanda, maka berbeda dengan sang ayah, datar, dingin dan kaku. Meski tak dapat membohongi, jika si tuan besar adalah sosok sempurna. Idaman para wanita.

Marni berdiri di luar kamar tuan mudanya. Sudah menjadi kebiasaannya setiap pagi. Meski takut, namun dia tetap penasaran dengan apa yang akan dilakukan tuan besarnya pada anaknya itu. Diam-diam Marni mengintip dari celah pintu yang sedikit terbuka.

"Son, bangun."

"Satu menit lagi, Pa. Please."

Si tuan besar menggeleng sambil kembali menghela nafas, "Naik ojek, jangan bawa mobil. Satu, dua, tig---"

Si tuan muda langsung terduduk, rambut yang berantakan membuat wajah tampannya lebih natural. "Papa hitungnya sampai berapa? Kok langsung hitung aja?" tanyanya sambil mengacak rambut. Matanya masih menutup.

"Bangun, jika gak mau Papa ambil mobilmu kembali. Ingat Papa gak pernah main-main."

Dengan terpaksa, si tuan muda bangun dari ranjangnya. Melangkah gontai sambil terus menguap.

"15 menit Papa tunggu kamu di bawah."

"Aye-aye, Kapten." 'Blam.'

"Bibi."

Marni langsung berlari kecil kehadapan majikannya. Dengan kepala menunduk, dia berbicara, "Iya, Tuan?"

"Siapkan pakaian Mario. Dia akan telat jika menyiapkannya sendiri."

"Baik, Tuan."

Marni menatap punggung majikannya penuh segan. Pria yang masih gagah dan bugar di usianya yang ke 44 tahun ini, tak kalah dengan para pria muda berusia 30 tahunan. Bahkan banyak yang mengira kalau putranya itu adalah adiknya.

Banyak perempuan yang berlomba untuk mendapat perhatian tuannya ini. Apalagi ketika mengingat jika si tuan berstatus 'Single' sekarang.

Tak mau terus menerus memperhatikan majikannya, Marni bergegas mempersiapkan keperluan tuan mudanya. Dia harus selesai sebelum tuan mudanya itu menyelesaikan ritual mandinya.

"The Secret"Where stories live. Discover now