🌹

18.6K 1.4K 221
                                    

Yuhuuuu, datang lagi wkwke.. Eh eike lagi ada challenge bareng Sevyent dalam rangka natal dan tahun baru, tapi nggak tahu dah dia udah nulis belum.

Ini cuma short story ya, jadi jangan minta manjangin krna eke kgk sanggup. So selamat membaca. Byeeee 😚😚😚

🌷🌷🌷

"Saya ulangi sekali lagi, ya, Pak. Tiga bebek bakar madu tanpa nasi, bungkus," ulang Azkia dengan jari-jarinya lincah menekan tombol cash register kemudian mengulurkan uang kembalian. "Silakan ditunggu, Pak." Setelahnya ia berjalan ke belakang memberitahukan pesanan bapak tadi.

Mata Azkia melirik jam dinding yang kini menunjukkan pukul empat sore, tanpa disadarinya mendesah lega sebab sebentar lagi jam kerjanya selesai. Entah mengapa hari ini cukup melelahkan bagi Azkia dan yang ia inginkan saat ini bergelung nyaman di kasur tanpa ada gangguan. Pasti nyaman sekali, pikirnya.

Ia segera menghampiri jendela besar yang berfungsi untuk meletakkan makanan saat bunyi bel terdengar. Diraihnya dua kotak styrofoam dan memanggil Bapak ojek yang memesan. "Maaf membuat, Bapak, menunggu. Terima kasih," ucapnya sambil menyerahkan kantung plastik bening.

"Ki."

Ia menoleh, mendapati Dina sudah siap menggantikan dirinya. "Bentar, Din, nyatat ini dulu." Setelah selesai mencatat di buku panjang Azkia ke belakang menuju ruang keryawan.

Setelah ganti baju, ia keluar lewat pintu samping. Tiba di luar ia memesan ojek online. Sebenarnya Azkia lebih suka naik angkutan umum karena lebih hemat sayangnya tempat kerja Azkia tidak dilewati angkutan umum. Sepanjang perjalanan Azkia tak berhenti memperhatikan keadaan sekitar sampai ia hafal setiap detail bangunan yang dilewatinya.

"Maaf, Bu, sudah sampai." Ucapan tukang ojek di depannya menyadarkan Azkia dari lamunan. Ia turun, menyerahkan helm, dan mengucapkan terima kasih kemudian berlalu.

Langkah Azkia terhenti—saat ia berbalik setelah menutup pagar—ketika melihat Bagas—pria yang menikahinya karena terpaksa—di teras kamar kos-nya dengan tatapan yang tak mampu Azkia urai. Kakinya terus mendekat dan ia baru menyadari, jika Bagas membiarkan rahang dan dagunya dipenuhi dengan cambang hingga membentuk bayangan gelap di sana.

"Udah lama, Mas." Azkia melewati Bagas dan mengambil duduk di kursi dekat tembok.

"Lumayan." Bagas mengikuti Azkia duduk di kursi dekat pintu kamar istrinya itu. "Ibu sama Bapak nanyain kamu," lanjutnya tanpa basa-basi.

Perempuan berusia 25 tahun itu menarik napas agar paru-parunya terisi dan menyapu bersih rasa bersalah untuk orangtua Bagas. "Nanti kalo ada libur aku ke sana dan aku harap saat itu, Mas, ngomong yang sebenarnya sama Ibu dan Bapak."

Bagas menatap lekat Azkia yang terus menunduk ketika berbicara dengannya. "Kamu bicara sendiri sama mereka. Kan kamu yang minta cerai."

Kepala Azkia seketika terangkat, menatap tajam ke arah Bagas. Ada kemarahan terlukis di netra Azkia, tetapi sebisa mungkin ia redam. "Kita tahu alasannya kenapa aku minta pisah," tandas Azkia geram. "Bukannya ini yang, Mas, ingin? Dengan begitu, Mas, bisa kembali sama Mbak Ririn. Mas, juga nggak perlu pura-pura baik, sayang, dan mencintaiku di depan orang-orang," imbuh Azkia lagi dengan nada mulai tinggi. Sedangkan Bagas menjawab dengan kedikan bahu.

Embrace The MiracleWhere stories live. Discover now