second: mesin waktu.

182 31 30
                                    

Sayap berjalan di atas jalanan yang dilapisi corn block sambil bergumam tidak jelas. Dia semalam bermimpi. Bukan mimpi buruk sebenarnya, tetapi juga bukan mimpi yang bisa disebut baik. Bisa dibilang mimpinya aneh.

Dia lalu menggelengkan kepalanya cepat-cepat. Tidak, tidak. Ini pasti karena semalam dia mendengar dongeng River tentang Putri Kembara sehingga dia bermimpi kalau dia berhasil menemukan Diadem Kemuliaan.

"Eh?" Sayap tiba-tiba berhenti berjalan.

Bukan apa-apa, tetapi di depannya, di alun-alun Kota N yang terdapat patung Putri Kembara, dikerumuni banyak orang, bagai semut yang sedang mengerumuni sebongkah gula manis. Dia pendatang baru. Jelas tidak tahu apa-apa kalau pada hari tertentu, misalnya, merayakan hasil panen atau adanya parade dan festival.

"Dasar orang sinting!"

Tiba-tiba, dari banyaknya kumpulan orang-orang itu, seseorang menyibak keramaian dengan sumpah serapahnya yang benar-benar tidak sopan.

"Mana bisa dia ciptain mesin--"

"Ada apa, River?" Sayap memutuskan bertanya saat orang yang suka berkata kasar itu mendekat.

"Eh? Oh, ternyata kau." River merotasikan bola matanya, lalu tanpa berusaha menjelaskan ada peristiwa apa, dia dengan santai melenggang tak peduli.

Sayap menatap ke arah River, lalu ke arah orang-orang lagi. Niat awalnya dia hendak ke pasar, yang kebetulan memang berada di belakang patung Putri Kembara, namun sepertinya niat awalnya terpaksa membelot. Sayap memutar tumitnya, lantas berjalan di belakang River, mengikuti.

"Ada apa, River?" Sayap kembali bertanya, kali ini dengan nada tergesa.

"Itulah, ilmuan--atau profesor, ya, aku sebutnya?--yah, pokoknya wanita sinting, tidak jelas dan entah apalagi kata yang dapat menjelaskan keanehannya."

Sayap baru hendak membuka mulutnya, membalas perkataan River, tetapi dia sudah lebih dulu menyuruhnya bungkam. Bincang-bincang di rumahku saja, kata River. Sayap menganggukan kepalanya, dalam hening mengikuti.

***

Mereka sampai di depan rumah River, rumah kayu dengan undakan batu kasar yang di halaman rumahnya terdapat sepatu bot dan ban-ban bekas. Sebuah plakat besar-besar direkatkan di atapnya; Kantor Detektif, Siap Melayani 24 Jam (di bawah tulisan itu terdapat tanda tangan River sendiri).

Bagian ruang duduk tentu saja sama berantakannya dengan halaman rumah depan—sesuatu yang mudah ditebak dari rumah lelaki dewasa yang tinggal sendirian. Berlembar-lembar kertas berisi kasus-kasus yang coba dipecahkan berserak di meja, ditemani dengan secangkir kopi Americano yang tinggal setengah juga puntung-puntung rokok di sembarang tempat. Jangan lupakan gagang telepon yang terlepas dari pesawat teleponnya, dibiarkan menjutai ke bawah begitu saja. Satu-satunya yang paling normal adalah sofa untuk tiga orang juga perapian yang mengeluarkan derak api kecil.

"Berantakan, eh?" River bertanya.

"Bukan main, ini sih seperti terkena tornado." Sayap nyengir.

River hanya mendengkus, lalu menunjuk sofa dengan dagunya, menyuruh duduk, dan melangkah ke arah dapur, hendak membuat minum. Sebenarnya Sayap tidak meminta, dan dia juga tidak merasa haus, namun dia membiarkan River berkutat sebentar membuat minum. Baru lima menit berikutnya muncul kembali dengan dua cangkir cokelat panas yang mengepul.

"Nah, tadi kau hendak bertanya apa, Penduduk Baru?" River bertanya setelah dia duduk nyaman.

Sayap menyentakkan kepalanya, tapi tak urung berkata, "Aku bertanya tadi sedang ada ribut-ribut apa?"

"Oh, itulah, si wanita sinting kembali berulah, membuat huru-hara sejak pagi-pagi buta."

"Si wanita sinting itu siapa?" Sayap bertanya tak sabaran. "Dari tadi kau menebutnya orang sinting."

Detective.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang