BAB 5 BASECAMP PAK SOETTA

Start from the beginning
                                    

“Tadi pas aku datang ada ramai-ramai apa?” tanya Fajar.

Belum terdengar ada suara yang menjawab. Gue rasa si ibu-ibu sebelumnya sudah pergi.

“Masalah ojek” jawab laki-laki sebelumnya. Gue pikir dia lagi ngerokok, pantes jawabnya agak lama.

“Ojek?”

“Iya, harusnya kan mereka naik ojek ke sininya. Tapi tadi datangnya mereka pakai mobil. Itu di parkir di luar.” Laki-laki tadi menjelaskan.

“... hmm. Pantes aja” suara Fajar berdehem. Tapi gue pikir si Fajar ikutan ngerokok.

Gue ingat, Fajar pernah menjelaskan ke gue tentang aturan-aturan kecil dalam pendakian Raung ini. Salah satunya yakni seputar ojek. Para pendaki diwajibkan untuk menggunakan jasa ojek dari masyarakat setempat. Hal ini dimaksudkan untuk menghidupkan perekonomian masyarakat lokal. Begitu sih ceritanya.

Gue pikir-pikir lagi bener juga. Kalau 28 orang naik ojek kan bisa banyak tuh pendapatannya. Eh malahan pakai mobil dari luar.

Gue mulai paham kenapa jasa ojek menjadi hal yang dimasukkan dalam biaya open trip ini. Fajar pasti telah bekerjasama dengan masyarakat setempat untuk menjemput kami yang merupakan rombongannya si Fajar.

Jasa ojek merupakan regulasi yang harus dipatuhi oleh setiap pendaki. Sedangkan, rombongan dari Malaysia tadi tidak melakukannya. Itu yang kemudian memunculkan permasalahan.

Obrolan Fajar dengan laki-laki itu masih berlanjut. Tapi gue putuskan untuk berhenti mendengarkan percakapan mereka. Gue baru ingat, gue belum sholat.
**

Gue putuskan untuk pergi ke mushola yang ada di belakang basecamp. Letaknya sekitar 50 meteran.

Begitu sampai gue lihat musholanya kecil dan gelap. Wajar saja sih, lagian ini sudah tengah malam. Gue lihat-lihat lagi di mushola ini tidak ada tempat wudhunya. Itu yang sebelumnya dikatakan oleh penjaga basecamp ke gue. “Musholanya tidak ada tempat wudhunya Mas. Wudhunya nanti di pancuran di samping kandang kambing.”
Gue ikutin petunjuknya dan ketemu juga kran air kecil di dekat kandang kambing. Tak ada lampu memang tapi gue yakin sekali kalau itu kandang kambing. Baunya khas.
Gue ambil wudhu dengan pelan. Cuma satu kran air di sini dan itu airnya dingin. Wajar gue kan sedang di kaki gunung Raung.

Selesai wudhu, gue masuk ke dalam mushola tersebut. Pintunya enggak dikunci jadi gue masuk saja.

Urusan ibadah selesai, gue putuskan kembali ke teras basecamp.

Sampai di teras, rasa kantuk mendadak datang. Mungkin karena belum sholat jadi ada sesuatu yang mengganjal, makanya gue enggak ngantuk-ngantuk.

Gue lihat Fajar masih ngobrol, tapi gue enggak peduli. Yang lain sudah tidur di SB nya masing-masing. Tapi beberapa lainnya juga akhirnya ke mushola. Gue lanjutkan untuk masuk ke dalam sleeping bag gue. Gue tarik resleting sampai penuh. Angin malam makin kencang dan dingin mulai menyergap. Badna gue mulai hangat. Dan lampu teras yang remang-remang menghantarkan gue ke dalam alam mimpi. Sayup-sayup suara obrolan Fajar dan laki-laki tadi meredup dan tak terdengar.
**

Hampir jam 5 pagi. Gue bangun dan suasanya masih sepi. Belum ada tanda-tanda kehidupan. Gue kembali menuju mushola kecil yang tadi malam untuk mengerjakan sholat subuh.

Saat gue sedang berwudhu, gue mendengar suara langkah kaki yang semakin mendekat. Suasana masih gelap seperti tadi malam karena waktu masih pukul setengah lima lewat. Gue lirik ke belakang. Ternyata itu mas Siswanto.

Gue dan mas Siswanto sholat subuh berjamaah di mushola ini. Mas Siswanto menjadi imam.
**

Fajar semakin menyingsing, namun Fajar yang asli masih terlelap. Barangkali dia semalam begadang ngobrol sampai larut malam.

MISTERI GUNUNG RAUNG: Novel Horror Seri #1Where stories live. Discover now