BAB 05

24 4 0
                                    

Anar dan Danu tengah mendengarkan ocehan Bagas yang terlampau berlebihan sampai membuat mereka berdua saling mencibir tidak mempercayai ceritanya.

"Hei, kalian enggak percaya kalau aku benar-benar akan menikah, hah?"

"Kamu saja baru putus dari Selly seminggu yang lalu dan sekarang sudah mau menikah? Ditambah apa tadi kamu bilang? Dia secantik ...." Ucapan Danu mengambang karena dia lupa sebutan Bagas untuk calon istrinya.

"Bidadari," sahut Anar membantu mengingatkan.

"Iya itu. Itu jelas cuma khayalanmu saja. Iya, 'kan, Nar?" tanya Danu meminta dukungan dan dibalas anggukan oleh Anar.

"Kayaknya dia banyak mengkhayal karena patah hati," celetuk Anar menimpali.

"Benar. Untuk membuatnya sadar, haruskah kita pukul dia?"

Bagas bergidik menatap kedua rekannya itu. Dia mencoba kabur dari sana.

"Hei-hei ..., aku akan membuktikan jika ucapanku benar. Aku akan menikah bulan depan," ucap Bagas frustrasi sambil mencoba menghindar dari Anar dan Danu.

***

Sepulang kerja, Anar kembali mampir ke warung Mbok Siyem. Tujuannya hanya satu yaitu bertemu dengan Nada. Penantian demi penantiannya tidak membuahkan hasil. Satu minggu berlalu dan dia masih tidak bisa bertemu dengan Nada. Dia benar-benar menyesal tidak bertanya nomor ponsel serta alamat tempat tinggal Nada karena terlalu terlena dengan obrolan mereka yang mengalir begitu saja tanpa cela.

Esoknya, Anar duduk di meja kerja dengan gelisah. Hal itu berbanding terbalik dengan Bagas yang bersiul riang dengan senyuman yang tidak lepas dari raut wajahnya. Danu yang melihat keadaan kedua sahabatnya itu, akhirnya mengambil inisiatif untuk mengajak mereka mengobrol bertiga. Seperti biasanya, ia mencari ruangan kosong agar mereka lebih leluasa dalam membicarakan beberapa hal.

"Anar, ada apa denganmu? Apa Sandra masih mengejarmu? Kudengar ... dia pergi ke Paris," tanya Danu membuka percakapan.

"Enggak," jawab Anar singkat.

"Oh, bagaimana dengan gadis cantik yang mau kamu bawa untuk menemui kami berdua?" tanya Bagas karena mengingat sebelumnya Anar pernah mengatakan tentang gadis yang berhasil memikat hatinya.

"Enggak tahu. Aku enggak bisa menemuinya lagi," jawab Anar lesu.

"Gimana bisa? Kalau kamu ingin bertemu, telepon saja dia dan ajak ketemuan," usul Danu dan justru mendapat balasan helaan napas kasar dari Anar.

"Itu dia masalahnya, aku lupa menanyakan nomor ponselnya saat kami terlalu senang mengobrol. Aku juga enggak bisa bertemu dengannya lagi di tempat awal kami bertemu."

Mendengar jawaban Anar, Bagas dan Danu sontak menepuk jidat masing-masing. Mereka sadar, ini pertama kalinya Anar tertarik dengan seorang gadis, jadi mungkin saja dia belum tahu apa yang harus dilakukan untuk mendapatkan hati gadis itu.

"Susah memang kalau punya teman yang telat puber," celetuk Bagas yang membuat amarah Anar memuncak. Anar melempar sepatunya dan tepat mengenai dada bidang Bagas.

"Hei, gimana kalau sampai bajuku kena noda sepatumu!"

Bagas melempar sepatu itu kembali ke Anar.

"Sudahlah, aku malas ngobrol sama kalian berdua. Bagas, sebaiknya kamu cepat tanda tangani proposalku. Aku butuh uang untuk proyek itu secepatnya," titah Anar kemudian.

"Hei, mana ada seorang manajer pemasaran meminta seperti itu pada Manajer Keuangan? Enggak sopan!" balas Bagas pura-pura kesal.

"Kenapa memangnya? Kamu lupa siapa pemilik perusahaan ini?"

"Baiklah, Tuan ...."

Anar tersenyum menimpali.

"Good Job!" ucapnya puas sebelum keluar dari ruangan itu.

***

Nada melamun. Dia ingin sekali pergi ke warung Mbok Siyem untuk membeli nasi liwet dan berharap bisa bertemu Anar. Namun, hatinya tidak siap jika harus bertemu dengan pria itu. Dia sungguh tidak tahu nantinya apa yang harus dikatakan. Tidak bisa dipungkiri, Nada sudah terlanjur mengukir nama pria itu dalam hatinya. Gejolak dalam hati berseteru antara rindu dengan sosok tampan itu dan juga perasaan menyesal telah menerima perjodohannya dengan Bagas.

Nada terkadang berpikir, mungkinkah Anar juga merasakan hal yang sama dengannya. Perasaan aneh itu ia tepis jauh-jauh. Menurutnya, tidak mungkin seorang pria modis seperti Anar bisa jatuh cinta dengan gadis sepertinya. Khayalannya terlalu tinggi.

"Mbak Nada ngelamunin apa, sih? Mbak lagi mikirin cowok ganteng di warung Mbok Siyem, ya?" Seperti biasa suara cempreng khas Raya selalu mengganggu Nada.

"Apaan, sih?"

"Nggak boleh lho Mbak mikirin cowok lain selain Mas Bagas. Itu selingkuh namanya," ucap Raya.

"Dasar! Anak kecil tahu apa, sih? Udah tidur sana! Sini novelnya Mbak sita!"

Nada lantas mengambil buku novel yang tengah dipegang oleh Raya dan membawanya kabur.

"Loh kok disita, sih, Mbak? Aku udah belajar jadi boleh dong aku baca novel dulu sebelum tidur!"

"Enggak boleh, nanti kamu begadang buat nyelesein baca novel," ucap Nada kemudian masuk kamarnya.

Raya tidak mampu mengelak karena memang begitulah kebiasaannya saat sudah terlarut dengan novel. Dia bisa tidak sadar waktu.

***

Sudah tiga minggu berlalu sejak pertemuan terakhirnya dengan Nada. Anar tidak pernah menyerah untuk mengunjungi warung nasi liwet Mbok Siyem. Sebenarnya, dia juga merasa bosan karena tidak pernah mengganti menu makan malamnya. Selalu saja nasi liwet tersebut. Namun, dirinya tidak patah semangat, harapannya hanya satu bisa kembali bertemu dengan gadis yang telah menggetarkan hatinya. Rasa khawatir mulai menyelimuti benak pria itu.

Apa terjadi sesuatu pada gadis itu sampai dia menghilang tanpa jejak?

Sebuah pertanyaan melintas di pikirannya saat hatinya mulai khawatir. Hanya ada kemungkinan-kemungkinan terburuk yang bisa Anar bayangkan, mulai dari Nada yang mungkin terkena musibah sampai mungkin Nada yang sudah pergi ke suatu tempat yang jauh.

Cinta Yang Jatuh Bersama Hujan (End)Where stories live. Discover now