BAB 1

124 9 9
                                    

Tetes air langit jatuh dan saling memburu membasahi kota. Mereka menciptakan bencah pada area tidak beraspal. Embusan angin bersuhu dingin mulai merasuk ke celah-celah rumah. Siapa pun pasti enggan untuk bangkit dari ranjangnya pagi ini, seperti Anar. Dia makin meringkuk dan menenggelamkan tubuhnya dalam selimut meski dering jam weker memaksanya untuk segera bangkit.

Hari ini bukanlah hari Minggu di mana dia bisa sepuas hati bermalas-malasan di ranjang seraya memeluk erat gulingnya. Anar harus kembali ke rutinitas hariannya yang padat sebagai seorang manajer pemasaran di cabang perusahaan Baswara Group. Sebenarnya, perusahaan ini adalah perusahaan keluarganya, tapi dia tidak ingin langsung mengambil alih kepemimpinan atas perusahaan pusat. Dia memilih untuk mulai belajar dari anak perusahaan tersebut di Yogyakarta yang kental akan sebutan ‘Kota Gudeg’ ini.

Anar lantas bangkit dari ranjangnya menuju kamar mandi dan langsung menyalakan shower. Namun, beberapa detik usai tetesan air dari shower itu membasahi tubuhnya, Anar seketika menggigil. Ia amat ceroboh sampai salah memutar arah kenop air tersebut. Tangannya bergerak secepat yang dia bisa untuk mengubah air dingin itu menjadi hangat.

Setelah mandi, pria itu langsung menyambar baju yang sudah disiapkannya kemarin sore dan bergegas pergi meninggalkan apartemen. Anar melajukan mobil membelah jalanan Yogyakarta. Berbeda dengan jalanan ibu kota yang selalu macet, di sini berbagai kendaraan bisa melaju tanpa kendala.
Suara deringan telepon mengurai konsentrasi Anar. Tanpa pikir panjang dia langsung mengangkat panggilan tersebut.

“Halo. Ada apa, Gas?” tanyanya tidak ingin berbasa-basi.

“Cuma mau membangunkan saja, siapa tahu belum bangun,” jawab seseorang dari balik panggilan seolah mengejek Anar.

“Aku sudah bangun dan hampir tiba di kantor. Sebaiknya kamu cepat berangkat, sebelum kupecat karena datang terlambat,” ancam Anar sambil menutup telepon Bagas, temannya yang usil. 

Butuh waktu sekitar lima belas menit untuk sampai di tempat kerja. Sebuah gedung yang sangat familier mulai terlihat oleh mata Anar. Dia langsung menepikan mobilnya dan masuk ke area parkir gedung tersebut. Usai mermarkirkan kendaraannya, Anar menuju pintu lift yang masih tertutup rapat. Dia tampak tidak sabar sampai berkali-kali menekan tombol lift sembari terus melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.

“Selamat pagi, Pak,” sapa seorang pria paruh baya setelah pintu lift terbuka.
Anar tersenyum seadanya sambil masuk ke lift dan berdiri di samping pria paruh baya itu.

”Pagi juga, Pak Setyo. Apa kabar?”
Pria paruh baya itu membuka mulut hendak menimpali ucapan Anar, tapi pintu lift sudah terbuka. Anar langsung keluar dari lift dan menuju ke ruangannya tanpa menghiraukan pria tadi.

Ruangannya cukup luas dan didominasi warna abu-abu muda. Terdapat sebuah meja yang dilengkapi kursi, satu set komputer dan sebuah sofa panjang dengan meja kecil di dekatnya. Cukup nyaman untuk ruang kerja seorang manajer seperti Anar.

Anar langsung menjatuhkan bokongnya di kursi kerjanya dan menyalakan komputer di meja. Ia sudah melewati hari-harinya di kantor ini selama dua tahun. Saat sedang berusaha konsentrasi pada pekerjaannya, tiba-tiba suara ketukan pintu membuat konsentrasi Anar buyar.

“Siapa? Masuklah!” titah Anar tanpa melihat ke arah pintu ruangannya.
Pintu ruangan terbuka. Anar melirik ke arah pintu terbuka yang hanya muat untuk memasukkan kepala saja. Melihat wajah yang sudah lama dia kenal, Anar mengembuskan napas kasar seolah bosan dengan wajah itu.

“Apa badanmu ketinggalan di rumah sampai cuma kepalamu aja yang bisa masuk lewat pintu besar itu?!” gertaknya agar membuat sang pemilik kepala masuk ke ruangan.

“Aku cuma takut kalau kamu ngelempar aku pakai sepatu mahalmu itu lagi,” ucap pria di pintu sambil masuk dan langsung duduk di sofa dengan santainya.

Cinta Yang Jatuh Bersama Hujan (End)Where stories live. Discover now