Convoy

243 51 10
                                    

JANE duduk tinggi di atas punuk seekor unta. Di depannya berjajar empat unta lainnya, merasakan Sepoi-sepoi angin yang menghamparkan rambut serta jika jubah merah yang dihadiahkan oleh salah seorang wanita rombongan. Unta-unta itu dipakai untuk mengangkut seluruh barang milik anggota rombongan, antara lain karpet-karpet dan berbagai hasil kerajinan lainnya yang akan dijual pada pasar-pasar besar di Molde dan Kristiansund. Di antara barang-barang itu ada juga kalung-kalung mutiara dan berbungkus-bungkus rempah-rempah dalam kantong-kantong kecil tergantung di sepanjang sisi hewan-hewan yang melangkah dengan bangga itu.

Sementara dengan senyum yang terlihat di wajah Jane semu, ia merasa senang sekaligus gugup.Tentu saja, karena hanya Jane yang boleh duduk di sandel salah satu unta itu, dan Vanthir yang mengendalikan kekang tali Unta duduk dibelakangnya, membuat Jane merasakan hembusan nafas laki-laki Arab itu menghempas di punuknya. Dari ketinggian posisi duduknya dia dapat memandang cakrawala di kejauhan seperti seorang putri Arabia. Vanthir yang sedari tadi fokus mengendalikan unta memandang ke arah wanita di depannya yang akhir-akhir ini menganggu pikirannya lalu tersenyum:
"Sheikha!" Serunya.
Ia boleh ikut rombongan kafilah ini sedikit lagi, setelah itu ia harus naik bus listrik kembali dari Lo di sebelah barat lembah itu. Jane ikut rombongan kafilah itu cuma sekedar bermain-main, tapi dia sudah merasa akrab dengan Vanthir. Entah kenapa Vanthir pun juga merasa berat untuk berpisah dengan Jane.

Ada sekitar tiga puluh orang dalam berbagai usia di rombongan. Di depan kelima unta berpunuk satu, berjalan seorang lelaki yang memukul gendang kulit unta secara berirama, dan seorang anak gadis berusia sebelas-dua belas tahun berjalan kesana-kemari sepanjang rombongan sambil menari dan meniup suling bambu hingga membuat Jane terkekeh melihatnya.

Mereka menyebrangi jembatan dan memulai perjalanan panjang menuju celah pegunungan. Hujan sudah berhenti, tetapi tanah masih basah, dan air masih menetes dari perpohonan.

"Tempat ini mungkin rawan, kalau kau takut pegang saja tanganku" ucap Vanthir dengan suara bariton yang tercampur aksen Arab itu.

Jane menengok heran ke belakang dan melihat Vanthir tersenyum menyergai. Jane pun hanya tersenyum ketir lalu memegang tangan kanan Vanthir yang kokoh dan berurat itu memegang kekang tali lalu kedua tangannya. Melihat Jane yang tampak canggung, Vanthir terkekeh.

Sungguh, Jane tampak mengemaskan bila malu.

Jane melihat aliran sungai yang melewati lembah, dan ketinggian airnya ada dalam taraf yang membahayakan. Semoga cuaca tetap seperti ini selama beberapa hari kedepan sebelum diguyur hujan lagi!

Kawasan ini belum pernah sehangat, sebasah, dan sehijau seperti sekarang, serta sungainya belum pernah secoklat ini. Penduduk desa ini telah bertambah lima kali lipat selama empat puluh tahun terakhir. Bukan karena terus mengalirnya rombongan pengungsi iklim ke desa itu. Hanya wilayah-wilayah paling Utara di dunia yang seperti diuntungkan oleh perubahan iklim yang dramatis ini. Lagi pula di berbagai kawasan Nordik masih banyak dan luas tempat yang belum dihuni.

"Saat aku berjalan-jalan di sekitar Oslo, aku melihat sekelompok orang yang skeptis tentang masalah pada awal abad ini di balai kota. Mereka terdiri dari beberapa laki-laki setengah baya yang terus-menerus menyangkal adanya isu pemanasan global. Tepatnya mereka menolak bahwa pemanasan itu akibat ulah manusia. Dan apakah pemanasan global itu akibat ulah manusia atau bukan, itu tetaplah sesuatu yang menguntungkan bagi orang-orang yang tinggal jauh di belahan bumi utara." Cerita Jane panjang lebar.

"Menurutku sih, itu namanya menutup mata" kata Vanthir. "Burung-burung unta di Afrika dan timur tengah kadang ketakutan melihat sesuatu, lantas menyembunyikan kepala mereka ke dalam pasir. Taktik ini tidak akan selalu berhasil, dari buktinya sekarang burung-burung itu Sekarang sudah punah."

Jane tertawa. Dia harus berbicara keras-keras setengah berteriak supaya terdengar oleh lawan bicaranya:

"Dulu ada yang berpendapat bahwa mencairnya es di Kutub Utara tidak perlu dikhawatirkan.... Toh, tidak ada lagi orang yang main ski atau seluncuran di sana... Lagi pula di bawah lapisan es itu ada cadangan minyak yang besar... Dan Norwegia berhak untuk mengekstraksi minyak bumi sampai ke wilayah Kutub Utara. Kenapa sih, harus ribut tentang kelangsungan hidup beruang kutub? Kan, sudah cukup kita menyelamatkan beruang panda? Namun, para burung unta iklim ini tidak mengerti bahwa kalau es mencari... Maka itu tandanya keseluruhan bumi ini memanas. Dan lihat, sekarang aku sedang duduk di punuk... Seekor Unta!"

Lagi-lagi Vanthir terkekeh dengan ekspresi pada akhir kalimat Jane. Membuat tadi yang ekspresinya serius seketika pudar.

Mereka telah sampai di Lo. Vanthir mulai membantu Jane turun dari unta, dan tak lama lagi rombongan kafilah akan meneruskan perjalanan.

"Eum, terima kasih Vanthir, tadi sungguh pengalaman luar biasa untuk pertama kali menaiki unta" ucap Jane dengan senyumnya

"'ahlan wasahlaan bikum. Aku senang kau menikmatinya."

Vanthir menjeda sebentar lalu mengeluarkan gadget dari kantongnya. "mungkin kita bisa bertemu lagi di lain waktu, apakah kau punya Skype?"

"Ya, tentu saja"

Mereka sudah bertukan alamat Skype dan berjanji untuk bertemu kembali. Vanthir lalu menunjukkan di gadgetnya gambar kerajaan kecil tempat ia berasal. Namun, Jane tidak bisa melihat apa-apa. Yang tampak hanyalah Padang pasir.

"Cuma Padang pasir?" Tanya Jane. "Tidak ada kota-kota lagi?"

"Ada sih. Kota-kotanya masih ada, tapi semuanya tengelam dalam pasir"

Vanthir menggeser-geser lagi gambar dan akhirnya menemukan bangunan kecil, mirip sebuah kotak mirip sebuah kotak yang mencuat satu-dua meter di atas Padang pasir. Dia berkata:

"Ini adalah sebuah masjid."

Jane hanya mengangguk tersenyum. Sewaktu kecil, ia pernah melihat bangunan masjid di London bersama ayahnya, yang ia lihat masjid adalah bangunan indah khas timur tengah yang tentunya saja tempat beribadah. Ia menyukai arsitektur bangunan itu dan menyayangkan bangunan yang ia lihat di layar gadget tersebut.

Bus yang hendak ditumpangi Jane datang. "Sudah datang, kalau begitu bila ada waktu hubungi ya" ujar Vanthir lembut, sangat disayangkan bila waktu terasa mengalir dengan cepat.

Tiba-tiba Vanthir memeluk Jane dengan pelan dan cepat melepasnya sembari tersebut. Dan, tentu saja dengan detakan jantung yang keras sama dirasakan oleh Jane.

Jane tersenyum lalu naik ke dalam bus. []

























R E D
R U B Y.
hey, I'm back. Seneng banget pas aku liat ada beberapa yang vote dan menambahkan ke reading list di notification. Walaupun cuma sedikit tapi udah bikin seneng ajah liatnya hehehe.

Terima kasih banyak yang udah Vote dan tambahin ke reading list, semoga kalian tetep suka sama cerita ini. Ya, mungkin cerita ini gak terlalu sesuai harapan aku sih karena konflik masih bisa dibilang ringan, tapi mungkin aku bakal bikin beberapa cerita yang tentu ajah dark romace hohoho.

So stay tune~~~
-lav

The Red Ruby; Taennie [HIATUS]Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz