1

12 3 1
                                    

Rinai berjatuhan, ini saat yang tepat baginya untuk menyiapkan bacaan ringan dan segelas susu panas. Biasanya ditemani sepiring muffin atau kuki coklat kesukaannya, entah kenapa tiba-tiba saja ia berubah pikiran.

Sore ini bacaan ringan yang dimaksud sudah ludes, semua sudah dibacanya, ia pun tidak berniat untuk mengulang kembali.

Sebenarnya, ia telah menyusun jadwal bahwa hari ini ia akan memakan mie instan dalam jumlah yang banyak. Saban hari telah dihitungnya jumlah kalori yang harus ia konsumsi agar tidak kegemukan setelah mukbang.

Kini, nasib mie instan itu malah ia anggurkan. Mubazir ujarnya, entah kapan lagi ia akan memakan semuanya. Sedangkan uang di dompetnya makin tipis. Terpaksa ia makan mie instan itu untuk beberapa hari ke depan.

Setelah meminum susu panas, pikirannya melayang. Semua skenario baik hingga terburuk kini ia mainkan.

'Bagaimana bila nanti jadinya begini?'

Semua hal mengenai masa depan menjadi ketakutan untuknya, bahkan satu jam lagi menjadi bahan pikiran. Tinggal sendiri di kota meninggalkan keluarga merupakan keputusan terbesar dan terberat yang pernah ia lakukan. Demi membungkam mulut kasar semua orang yang membuat hatinya sakit hingga hari itu.

Semua dendam telah ia balaskan, kekayaan yang ia impikan telah ia dapatkan. Kini, ia tidak tahu harus melakukan apa. Hampir semua topeng manusia telah ia kenali, bahkan ia tiru dan pelajari. Ia tidak lagi bermimpi dan berharap sejak lama, usaha yang ia lakukan memang berbuah manis. Hanya saja, jiwanya mati rasa.

Tidak ada senja oranye hari ini. Sore paling biru bagi penyuka senja, juga baginya. Setelah kedatangan berbagai macam orang yang mengaku sebagai saudaranya, setelah sekian lama mereka menghilang. Beberapa hari ini, ia tidak lagi menerima tamu. Semua pekerjaan ia batalkan.

Bu Ayu lalu datang dan menuangkan sesuatu ke gelas bekas susu panas setelah mendengar komando dari sang majikan. Percikan air itu mengudara.

"Nak, nggak baik minum beginian terus, kasihan hatinya," celetuk Bu Ayu yang ditanggapi sinis oleh majikannya.

"Semakin ibu mengatakannya, semakin kesal aku dengarnya," jawabnya setelah menghabiskan hampir tiga perempat minuman beralkohol di gelas itu.

"Bu, sini deh, duduk dulu."

Genap sudah 5 tahun Bu Ayu bekerja di rumah besar bernuansa putih itu. Hampir setiap bulan ia meluangkan malamnya untuk mendengarkan segala keluh kesah majikannya itu.

Yang ia tahu, majikannya itu sangat sensitif dan selalu merasa tidak nyaman di keramaian. Meski majikannya seorang pembicara ulung yang hampir setiap hari terpampang di tivi. Ia merasa, majikannya itu akan sangat berbeda bila ada di tivi dengan yang ada di rumah. Bu Ayu selalu mengingatkannya untuk mengurangi konsumsi alkohol namun ia selalu menemukan champagne atau vodka yang selalu disembunyikan.

Sudah tiga bulan ini ia memperhatikan majikannya meminum anggur merah yang baru dikirim dari Australia setelah divonis menderita kecanduan minuman beralkohol. Namun setiap diperingatkan, majikannya itu selalu menampakkan raut muka yang berbeda. Entah itu kesal, marah, bahkan pernah menangis.

Kali ini, ia bercerita sambil menangis. Bu Ayu khidmat mendengarkan meski lebih bisa disebut sebagai racauan sebab semua yang dikatakan tidak jelas. Lalu ia sesegukan setelah susah payah menceritakan semuanya.

Bu Ayu tak hanya sebagai pembantu, namun juga sebagai pengasuh juga pendengar yang baik. Bu Ayu tidak lagi segan untuk merangkul, memeluk, dan menghapus air mata majikannya.

Dengan napas tertahan dan mata yang basah, ia terhenti.

"Nak, ada apa?"

Bu Ayu menyadarkan majikannya yang sedari tadi menatap kosong. Berkali-berkali ia goyang badan majikannya itu. Tak ada jawaban sama sekali, menampakkan mata yang berkaca-kaca. Ia masih sadar.

Ia papah majikannya ke ranjang. Mulai malam ini, Bu Ayu dengan majikannya tidur di kamar yang sama.

KUMCERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang