Elegi Mendung Hari

3 0 0
                                    

Jalanan ibu kotapun kian hari kiat padatnya. Entah ibu kota yang merasa mengecil karena terbebani manusia-manusia dari entah berantah, ataukah memang manusia-manusia yang sangat nyaman nya dan betah sehingga tak mau meninggalkan ibu kota tercinta ini. Sehingga, carut marutnya keadaan ibu kotaku tersayang semakin tak terkendali. Copet berlarian seakan-akan mereka sedang bermain kejar-kejaran dengan teman nya. Tanpa rasa terbebani maupun terdesak mereka terus saja lari tenggang langgang, menyusuri jalur-jalur kecil andalan mereka. Para pengemis sudah tak terhitung banyaknya, hampir disetiap sudut ibu kotaku ini dijubeli oleh orang-orang yang mengharapkan iba orang lain. Sebenarnya mereka tidak miskin di kampungnya, mungkin mereka beberapa memang ada yang benar-benar miskin tapi sedikit. Para pemburu iba orang ini pun sangat beragam, ada yang memonopoli kaki mereka agar pincang satu, ada pula ibu-ibu tua dengan kerutan dimukanya yang terbakar matahari menggendong anak kecil, yang entah itu anak siapa, beragam sekali pengemis-pengemis ibu kotaku. Mereka kreatif layaknya mau mengikuti lomba parade tujuh belasan dengan berbagai ornamen-ornamen pelengkap mereka. Ahh sudah ibu kotaku memang beragam dan seperti itulah pandangan setiap pagiku melalui kaca jendela mobil.

Terkadang diriku termenung dalam juga, apabila melihat tingkah mereka pada setiap lampu merah, rasa pesimisku akan kebenaran kemiskinan mereka timbul juga. Apakah memang moral dan kehormatan manusia diperjual belikan hanya untuk memenuhi segala omongan orang lain, untuk memenuhi kebutuhan status sosial mereka dikampung. Seringkali jika sedang berfikiran seperti itu ku ajak sopir pribadiku mengobrol tentang hal demikian.

"bapak bisa wae berfikiran seperti itu, namun bapak juga jangan lupa banyak faktor yang ada didalam nya. Motifnya bisa banyak, memang mereka sudah sangat miskin sehingga didorong untuk melakukan nya, atau bisa juga anaknya sedang sakit keras dirumah sehingga mau tak mau harus melakukan nya juga."

"oke, tapi apa iya tidak ada pekerjaan lain selain menjual kehormatan mereka satu-satunya."

"lha wong kalau sudah terpaksa dan keadane mendesak semua akan dilakukan pak, termasuk menjual kehormatan yang satu-satu nya itu." Nasihat nya

"ahh kamu selalu saja berfikiran positif terhadap orang-orang."

Lagi-lagi tentang keadaan, namun apa iya memang harus seperti itu. Usaha tidak hanya mengemis belaka tapi banyak juga, kuli bangunan, atau bekerja di toko, atau karyawan pabrik itu lebih mulia pikirku. Memang manusia suka berpikir instant tanpa melakukan usaha yang lebih, tapi menghasilkan uang yang banyak. Terbang jauh lagi pikiranku tentang kemiskinan, tentang ibu kota tercinta, sudah menyerupai seorang penganut aliran sosialis tulen. Tapi aku pun tak pernah mempelajari theory-theory tersebut, hanya saja jiwa naluriah dan akal sehatku berfikiran tentang sebuah tatanan keadilan. Ku putuskan untuk menyudahi pikiran-pikiran tak berguna ini.

Seorang manager disebuah kantor swasta ternama haruslah berkompetensi, mempunyai jiwa kepemimpinan yang tinggi dan integritas dibidang nya. Tapi apalah diriku ini, kadang memang minder dengan jabatan sekelas manager yang sedang aku pikul ini. Bukan karena diri ini berprestasi, tapi memang orang tua yang menuntut akan hal ini. Ah lagi-lagi orang tua yang mengatur segala tentang hidup ku, kemana arah dan tujuan hidup ku, tanpa mempertimbangkan bahwa anak sulung nya ini adalah manusia bebas dan manusia yang bisa berfikir. Seorang ayah yang mempunyai koneksi luas dengan para pengusaha Menteri dan pejabat-pejabat penting tidak sulit untuk mempromosikan diriku untuk menjadi seorang manager dalam sebuah perusahan. Kadang kala juga bayang-bayang seorang ayah yang sangat tinggi jabatannya, karena dia seorang Jendral purnawirawan membuatku merasa terbebani. Sedangkan diriku ini hanya lelaki perasa yang lemah dan juga ragu-ragu dalam segala hal. Beda sekali dengan seorang ayah yang sangat disiplin dan tegas dalam menjalankan segala tugas-tugasnya. Menyelesaikan perang dan menjadi wakil Indonesia untuk menjadi utusan dalam sebuah masalah militer internasional. Dia memang hebat dan sangat berintegritas dalam segala hal. Hal itu sangat bertolak belakang denganku.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Nov 26, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Elegi Mendung HariWhere stories live. Discover now