Kisaran dua tahun lalu, Wooseok pertama kali bertemu Yohan ketika pulang sekolah. Anak baru—baru hari itu ia bertemu dengan Yohan.

Wooseok adalah visual terbaik yang dimiliki Swing. Saking indahnya parasnya, ia tahu banyak orang yang diam-diam iri. Kadang ia menemukan lokernya dirusak, kuncinya dijebol, barangnya hilang—atau sepatu olahraganya diisi lumpur. Awalnya ia mendiamkannya, ia tak ingin bercerita pada Seungyoun ataupun Hangyul, terutama Hangyul yang hidupnya penuh dengan masalah di rumah. Ia ingin menjadi seseorang yang kuat.

Namun yang membenci Wooseok tidak hanya dari sekolahnya saja. Murid sekolah lain sering menggodanya ketika ia pulang sekolah. Biasanya mereka mencegat Wooseok tak jauh dari halte. Dulu, ia sering pulang telat. Kalau sedang beruntung, Hangyul akan menemaninya—biasanya Hangyul pulang terlambat karena urusan klubnya.

Tapi hari itu ia sendiri. Hari berhujan. Ia berlari ke halte, dan malah bertemu murid-murid dari sekolah lain. Empat atau lima siswa, ia tak ingat. Menggodanya karena Wooseok 'cantik', berkata kalau kulit wajahnya mulus, melecehkan Wooseok dengan mengatakan bahwa mereka ingin mencium Wooseok—kalau perlu melucuti pakaian Wooseok supaya bisa memastikan apa Wooseok itu laki-laki atau siswi berseragam siswa.

Bukan main takutnya Wooseok saat itu.

Ia menjerit ketika seseorang menyentuh dagunya.

"Brengsek, pergi kalian!"

Berteriak pun, suaranya sudah goyah. Jalanan tidak terlalu ramai karena gerimis dan langit sudah gelap. Ia harus berbalik, ingin kembali ke sekolah tapi justru diikutin oleh siswa-siswa bajingan yang tidak ia kenal. Ia sangat ketakutan ketika telapak tangan kasar menyentuh rahangnya dengan keras—melukai kulitnya karena kuku kotor siswa jelek di depannya.

"HEI!"

Wooseok jatuh terduduk ketika sebuah tas jinjing melayang di depannya, menabrak sisi muka murid yang tadi melukainya. Lutut Wooseok bergetar. Ia tak ingat apa-apa lagi dan menolak mendongak. Ia hanya mendengar geraman dan usiran seseorang, sebelum akhirnya terdengar beberapa kali gebukan—lalu suara-suara yang membuatnya memejamkan mata itu perlahan berangsur menghilang, pergi bersama suara derap langkah yang menjauh.

Kim Wooseok tak berani membuka matanya.

Tapi ia mendengar suara napas tersengal di dekatnya. Atau lebih tepatnya terengah.

"Kau tidak apa-apa?"

Wooseok bergeming.

"Hei, mereka sudah pergi. Kau tidak apa-apa?"

Ia masih membisu.

"Kau kuat berdiri? Perlu kubantu?" tawar suara itu. "Kalau kau duduk terus di sini, kau akan masuk angin karena gerimisnya awet."

Akhirnya, Wooseok yang menunduk, membuka matanya perlahan. Sepasang sepatu converse putih tertangkap matanya. Gerimis? Tak ada air hujan jatuh ke tubuhnya. Kim Wooseok mendongak. Sepasang mata lebar menatapnya—pemuda di hadapannya mengangkat tas jinjingnya di atas kepala Wooseok, melindungi Wooseok dari gerimis. Beberapa kali Wooseok mengerjap. Dia siapa? Apa ia baru saja diselamatkan? Ujung bibir pemuda itu lecet dan darah mengintip di satu lubang hidungnya. Ia terluka.

"Kau temannya Hangyul, kan? Lee Hangyul. Kemarin aku melihatmu dengan Hangyul di sekolah. Aku ... anak baru di sekolahmu. Namaku Yohan, Kim Yohan."

Sebaris kalimat itu membuat Wooseok terpekur, sebelum akhirnya ia menangis. Suara tangisnya tumpah.

Pemuda itu menyelamatkannya.

Sejak itu, Wooseok membawa Yohan masuk dalam lingkaran gengnya—Hangyul jelas tidak menolak. Dan Seungyoun adalah perkara gampang. Yohan selalu mengantarnya pulang sekolah sejak malam itu—tidak pernah tidak.

Ryeon: Someone Named Loveحيث تعيش القصص. اكتشف الآن