Naufal tidak segera meningkahi kata-kata pemuda tersebut tetapi tubuh sang ayah dipaut dalam satu dakapan yang panjang .Mengungkap rasa dalam kesunyian kerana rasa hatinya memang tidak mampu diungkapkan dengan kata-kata.Bukan sahaja kerana dia tipikal seseorang yang sukar untuk meluahkan apa sahaja rasa di dalam hatinya,tetapi juga kerana dia memang tidak tahu hendak mengatakan apa dalam keadaan sedemikian.

Sedangkan dia sendiri sahaja bingung lalu bagaimana mungkin dia dapat mengeluarkan kata-kata yang bijak lagi berhikmah bagi menenangkan hati sang ayah yang tampak gusar setiap kali memandangnya?

Dengan lafaz nama Sang Penguasa Langit Dan Bumi,langkahan Naufal yang masih sedikit senget itu menapak perlahan menuruni tangga.Tidak ada yang dibawa oleh mereka berdua.Indah-gadis yang menurut Naufal sangat aneh itu seperti biasa tidak banyak ulah dan tingkah.Malah berbicara pun jarang sekali namun wajahnya tenang sekaligus bersahaja.

Tepat ketika langkahan mereka berhenti di samping pohon rambutan rendang yang menguntumkan bunga-bunga berwarna putih itu,Indera mengeluarkan sehelai perca kain berwarna kuning keemasan dan senyuman lelaki itu adalah hal terakhir yang dilihat Naufal sebelum kedua-dua matanya ditutupi dengan perca tersebut.

" Kami pergi dahulu,ayahnda sekalian." Suara Tun Indera yang tidak asing bagi pendengaran Naufal kedengaran.

" Jaga mereka,Indera." Suara itu dikenali Naufal sebagai suara ayahnya.

" Dengan izin Allah,ayahnda."

Senyap.Sedetik.Dua detik.Dan entah dari mana,ada angin lembut yang menyapu wajah Naufal dan segenap indera baunya menangkap harum aneh yang dingin dan samar-samar.

Ketika kain tersebut ditanggalkan dan pandangan mata Naufal sedikit demi sedikit menjadi jelas,buat kesekian kalinya dia tergamam.

Di mana-mana kehijauan merajai pandangan matanya.Ada matahari pagi yang baru muncul dan merekah dari celah langit Timur yang masih dilatari sisa fajar sidik.Segan silu menebarkan bilah-bilah cahayanya ke segenap pelusuk alam.

Dalam kaget,Naufal tertoleh-toleh ke segenap arah.Rasanya dia tidak pun melangkah lagi sejak langkahan terakhirnya yang berhenti di hujung halaman rumah limas milik datuknya itu.Malahan,akhir Mahgrib sebentar tadi masih menyisakan sayup bunyi unggas malam saling bersahut-sahutan.Dan kini....

Siang.Awal pagi dengan matahari baru sahaja terbit dari celah banjaran bukit-bukau di sebelah kirinya.Bebola api putih kekuningan itu masih menebarkan sinar yang belum terlalu hangat dan angin masih membawa baki embun dingin sisa malam tadi.

Lalu ada pula pohon-pohon hijau yang berdaun lebat saling bertaut pucuknya membentuk gerbang kanopi yang hampir mencecah kepala-memayungi jalan tanah merah di hadapannya ketika itu.

Pada pangkal pohon ,tanaman-tanaman dengan bunga putih yang menebarkan bau harum itu segar dalam siraman embun yang belum disentuh matahari.Berkilauan tidak ubahnya untaian mutiara yang bergayutan di hujung daun.

Satu tepukan lembut pada bahunya menghantar isyarat agar dia segera melangkah,mengekori Indah dan Aduka yang sudah melangkah terlebih dahulu.

" Maafkan kita,Naufal.Nampaknya Naufal perlu berjalan buat beberapa ketika dalam keadaan begini."

Aduhai.Kurang lembut bagaimana lagi nada dan pilihan kata-kata Indera ketika mengatakan bahawa mereka perlu menyusuri jalan setapak tanah merah itu sebelum sampai ke tempat tujuan,bahkan sehingga menerbitkan rasa bersalah di dalam hati Naufal kerana ulahnya yang terbingung-bingung sendiri menoleh lalu tercangak-cangak tidak ubahnya rusa yang tersesat ke tengah kampung.

Terasa bahunya digapai oleh lengan tegap Tun Indera,Naufal mengukir senyuman canggung dan mengambil keputusan untuk membiarkan sahaja Indera membantunya berjalan perlahan-lahan.

" Maafkan saya,Indera.."

" Tidak mengapa,Naufal.Kita faham."

Sedar tidak sedar,langkahan lambat Naufal yang masih sedikit tempang sampai juga ke hujung jalan tanah merah yang dipayungi pohon-pohon hijau itu dan akhirnya sebuah kawasan perdesaan mengambil alih paparan pemandangan yang terbentang ketika itu.

Di antara jaluran jalan setapak tanah merah yang diapit rumpun-rumpun bunga berdaun hijau dengan kuntum putih yang subur,tersembul atap-atap rumah para warga perdesaan.Menjulang dengan tiang-tiang tinggi dan halaman yang bersih terjaga.Sementara pada setiap pangkal tangga kelihatan bekas-bekas berisi air khusus untuk membasuh kaki,ada beranda yang luas hanya berdinding kayu-kayu bulat yang terpacak berderet mengelilingi anjung rumah.

Tingkap-tingkap berdaun dua terbuka lusa memperlihatkan langsir putih yang bergerak-gerak di tiup angin.Ada pula pohon-pohon kelapa dan mempelam yang rendang serta sayup-sayup kokokan ayam dibawa angin semilir yang bertiup lembut.
Ciri khusus sebuah perdesaan Melayu sekitar kurun ke-15 yang pernah dilihatnya dalam jurnal-jurnal dan dokumentari sejarah.

Naufal bingung lagi!

" Selamat datang ke permukiman kami yang tidak seberapa ini,Naufal.."

+ + +

SAPTA ADHYASTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang