"Tu—tuan Dennis!" seru pelayan yang usianya sudah lebih dari enam puluh tahun itu. Seketika matanya berkaca-kaca melihat Tuan mudanya yang sudah lebih dari empat tahun tak pernah ia jumpai.

"Bibi," sapa Dennis lalu tanpa peringatan, membungkuk dan memeluk wanita yang turut merawatnya itu.

Seketika si pelayan menangis tersedu seraya membalas pelukan Dennis erat. Dia tak sanggup berkata-kata padahal rasanya ada banyak hal yang ingin dia katakan pada tuan mudanya.

Beberapa saat kemudian Dennis melepas pelukan sambil tersenyum lembut. "Apa Mommy dan Daddy ada di rumah."

Si pelayan buru-buru mengangguk seraya menyeka air matanya. "Di dalam. Ayo!"

Dennis tak sempat bertanya apa orang tuanya memiliki tamu. Jadi dia tak punya pilihan selain terus masuk. Tangannya kembali menggenggam jemari Ellen yang sempat terlepas karena memeluk si pelayan.

Ruang tamu sepi. Hanya terdapat beberapa tas dan perlengkapan bayi. Suara-suara berasal dari ruang keluarga yang artinya tamu yang datang adalah orang dekat.

Dennis semakin gugup. Tapi kali ini langkahnya lebih mantap. Dia tak berhenti atau melambatkan langkahnya. Benar kata Ellen. Bukankah lebih cepat lebih baik?

Tiba di ambang pintu menuju ruang keluarga, Dennis berhenti dengan Ellen di belakangnya, terhalang tubuh Dennis. Ellen bersyukur akan hal ini. Sejujurnya dia tak kalah gugup dari Dennis. Banyak hal memenuhi kepalanya sekarang. Terutama pertanyaan apakah keluarga Dennis bisa menerimanya? Jika tidak, kira-kira apa yang akan dipilih Dennis? Apakah dirinya cukup berharga untuk diperjuangkan lelaki itu? Dan jika Dennis memilih keluarganya, apa Ellen sanggup menjalani hari-hari berikutnya mengingat tiga bulan ini, sejak keluarganya hancur, Ellen benar-benar bergantung pada Dennis.

Segala pertanyaan itu membuat Ellen sesak. Dia menutupinya dengan bersikap tenang dan malah berusaha menguatkan Dennis.

Hampir satu menit penuh Dennis masih berdiri di sana. Selangkah di depannya ada tiga undakan menurun ke arah ruang keluarga. Namun untuk bergerak rasanya susah sekali. Seolah kakinya berubah jadi batu. Dia terus berdiri diam dengan pandangan menyapu ruangan, memperhatikan wajah-wajah yang familiar dengan anak-anak kecil yang menambah riuhnya suasana.

Kening Dennis berkerut. Dirinya baru sadar bahwa dia sama sekali tak mengenali lima balita di sana. Ah, tidak! Dennis ingat salah satunya. Itu Zen, anak pertama Romy. Dan dia sudah tidak bisa disebut balita. Kira-kira berapa tahun usianya sekarang?

Mungkin karena merasa diperhatikan, Zen yang tengah membuatkan rumah dari lego untuk adik-adiknya mendongak tepat ke arah Dennis lalu berseru seraya melompat berdiri, "Om Dennis!" pekiknya dan langsung menghambur memeluk pinggang Dennis.

Dennis tersenyum ragu kehilangan kata. Dia tak menyangka Zen masih mengingatnya padahal saat Dennis masuk penjara empat tahun lalu, usia bocah itu pasti sekitar lima atau enam tahun.

Seruan Zen memancing semua mata menoleh ke ambang pintu menuju ruang keluarga. Selama beberapa detik suasana berubah hening bagai di pekuburan. Tapi detik berikutnya menjadi riuh oleh pekik-pekik bahagia, terutama dari para wanita.

"Dennis!"

"Ya, Tuhan! Dennis!"

"Dennis...."

Dalam sekejap tubuh Dennis ditarik ke tengah ruangan lalu dipeluk bergantian. Semua orang tampak bahagia sekaligus haru. Air mata memmbasahi wajah semuanya.

Pelan-pelan Dennis mengabsen dalam hati. Ada Romy dan Vania, istrinya. Keduanya memang tinggal di rumah ini. Mereka juga sudah memeluk Dennis bergantian karena keduanya yang berada paling dekat dengan ambang pintu tempat Dennis tadi berdiri. Lalu Mommy dan Daddynya, tentu saja. Sang Daddy hanya sempat memeluk Dennis sekilas sambil mengusap air mata di sudut matanya sementara Mommynya tak mau melepas Dennis.

His Eyes (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang