Part 34

84 4 0
                                    

"Trus? Serius dia dapat nilai 0?" Gia merespon hanya dengan anggukan pelan, "Kok bisa?"

Gia mengangkat kedua bahunya. "Kamu lihat sendiri kan? Dean, anaknya memang semaunya sendiri." Gia membuka telapak tangan kanannya di udara.

"Kenapa nggak nyari guru les privat yang lebih jago? Orangtuanya kan banyak duit." Nada kesal jelas sekali terdengar dari ucapannya.

"Mana ada yang tahan sama dia?" Gia mengedikkan dagu ke arah pintu. "Udah berkali-kali dia ganti guru privat, tapi nilainya masih saja hancur. Bu Yustin aja nyerah ngajarin dia." Gia melipat plastik bekas bungkus roti yang dimakannya sebelum meletakkannya di keranjang sampah.

"Trus gimana kamu bisa ngajarin dia?" Jae menghela napas panjang, "Apalagi kalian nggak ada akurnya sama sekali."

"Nggak tahu," Gia berusaha setenang mungkin sementara dadanya terus berusaha menahan jantungnya agar tidak meloncat keluar dari tempatnya. "Males juga sebenarnya ngajarin dia."

Gia tak yakin, caranya ini akan memberikan hasil yang baik. Dia juga belum menemukan cara untuk menjelaskan teori-teori untuk mengejar ketertinggalan Dean. Yustin yang memberikan dengan cara yang paling sederhananya saja tetap tak bisa merubah nilainya. Apalagi Gia bukanlah tipe pengajar yang baik.

"Coba deh cari cara yang masuk akal untuk menolak permintaan Bu Yustin." Gia merasakan Jae sedang diselimuti rasa cemburu. Sarannya cenderung memaksa Gia melakukan sesuatu untuk menolak tugas Bu Yustin. Dalam hati Gia diliputi bahagia, perhatian Jae masih sama. Desiran halus kembali menutup curiganya, ternyata yang dipikirkannya selama dua hari ini tidak beralasan.

"Sudah, Jae. Kamu tahu sendiri kan perintah Bu Yustin itu tidak bisa dibantah?" Gia membulatkan matanya. "Sebagai gantinya, Bu Yustin nyuruh si gondrong itu untuk ngajarin aku lukis biar nggak remidi berkali-kali." Suara Gia terdengar pasrah.

Mata Jae hampir keluar dari cangkangnya. Warna merah menyelimuti kedua pipinya yang putih. Tulang rahangnya tampak mengeras, Jae berusaha menutupinya tapi bukan berarti Gia tidak bisa melihat perubahannya. Meski Jae termasuk orang yang pintar untuk menutupi gejolak yang ada di dalam hatinya.

Jae mengetukkan jari di meja sebelum getar ponsel di saku membuatnya terkejut. Tangan kirinya segera mengusap layar, mendapati sebuah pesan singkat. Muncul senyum tipis di wajah Jae, saat membaca pesan masuk. Jae menarik tubuhnya ke belakang, kemudian buru-buru membalasnya. Tak lama kemudian ponsel itu sudah kembali bersembunyi di balik sakunya.

"Oh iya hampir lupa, aku sudah bilang sama Ayah soal kerjaan itu. Kamu bisa datang ke kantornya setelah pulang sekolah. Kebetulan ada karyawan yang sedang cuti hamil, kamu bisa kerja di sana sementara." Tangan Jae kembali bertumpu pada sandaran kursi tempatnya duduk.

"Serius, Jae?" Mata bulat Gia yang bersinar kembali menarik perhatian Jae. Cowok itu hanya tersenyum melihat Gia yang kembali ceria.

"Jae, kamu baik banget sih," Gia menatap lurus ke arah cowok yang ada di depannya.

Sinar matahari mulai menyiram ruangan dari arah barat. Menembus melalui kaca jendela. Gia merasakan hatinya menjadi lebih hangat. Jantungnya kembali bekerja dengan normal. Sesuatu kembali meletup-letup di dalam dadanya. Gia merasakan inilah saat yang tepat untuk membuatnya lebih dekat dengan Jae.

Satu per satu kebaikan Jae kembali terbayang di benaknya. Sejak kecil, Gia merupakan pengamat yang baik. Selalu berada di sekolah yang sama membuatnya mengetahui setiap detil tentang Jae. Tidak semua orang bisa membagi hal-hal yang tidak disukainya, namun Jae sudah membaginya dengan Gia.

Aksi nekad cewek-cewek di sekolah yang berusaha menarik perhatiannya pun tak luput dari pendengarannya. Kali ini tidak seperti biasanya, Gia merasakan ada sesuatu yang disembunyikan Jae darinya. Gia selalu mengurungkan niatnya setiap kali hendak bertanya langsung pada Jae. Kali ini dia ingin mencari jawaban dengan caranya sendiri.

The Zero Point (Completed)Where stories live. Discover now