Part 9

194 19 2
                                    

Gia sibuk memasukkan mie ayam ke dalam mulutnya. Makan selalu menjadi satu-satunya cara untuk menghilangkan kekesalan hatinya. Ngomel didepan Disa rasanya tak cukup merubah suasana hatinya menjadi lebih baik. Sepertinya hari ini akan sama dengan hari sebelumnya, Gia akan memesan mangkok kedua saat mie ayam mangkok pertama tak kunjung menghilangkan kekesalannya.

Kekecewaan bertambah saat melintasi ruang OSIS, Gia tak menemukan sosok Jae di sana. Matanya menyisir setiap sudut sekolah yang masuk ke dalam jangkauan matanya, tapi hanya kecewa yang dia dapatkan kembali. Senyum Jae selalu berhasil memadamkan kobaran api di dadanya. Seberat apapun masalah yang sedang dihadapinya di sekolah, tempat dimana sang ketua OSIS berada inilah yang selalu menjadi tujuannya. As simple as that, ngobrol sebentar dengan Jae selalu bisa meredakan hatinya.

Disa sedang membasahi tenggorokan dengan jus mangga, namun matanya tak lepas adri wajah sahabatnya. Sama sekali tak ada yang bisa ditebak dari sikap aneh sahabatnya. Sebisa mungkin menahan mulutnya untuk menanyakan apa yang sudah terjadi di dalam ruang guru beberapa menit yang lalu. Melihat gelagat Gia, sepertinya dia membutuhkan waktu untuk bercerita. Dia pura-pura tak melihat perubahan sikap Gia dengan ikut larut menghabiskan makanan yang sudah dipesannya.

Pikiran Gia tak berhenti berputar, dunia seperti akan berakhir kalau dia harus selalu bersama Dean. Sebenarnya terdengar konyol, hampir setiap hari Yustin melihat keduanya saling beradu mulut seperti tadi. Tidak mungkin Yustin tidak mengetahui kalo Dean sudah seperti jerawat batu. Semakin Gia melawan semakin nyeri pula yang akan dia rasakan.

Sampai detik ini Gia belum menemukan alasan yang tepat, kenapa Yustin mempunyai ide yang berhasil membuatnya menjadi setengah gila? Sulit baginya menolak tugas dari Yustin mengingat persiapan yang harus dilakukannya untuk menghadapi olimpiade. Tapi membayangkan wajah Dean saja sudah cukup membuat napsu makannya bertambah dua kali lipat.

"Kamu kenapa sih?" Disa berusaha membuka suara. Sejak percakapan mereka di depan ruang guru, Gia tak lagi membuka suara.

"Nggak apa-apa," jawab Gia singkat.

Kecepatan tangannya menyuapkan mie ayam ke mulut semakin bertambah. Tiga sendok sambal membuat mulutnya terbakar hingga wajahnya pun seperti sedang direbus. Sesekali bibirnya yang mengkilat penuh minyak, maju ke depan menyambut mie yang berada diantara sumpit. Geliginya terus bergerak, membuat kedua pipinya mengembung saat mengunyah mie. Sesekali mulutnya mendesis, menikmati panas yang memenuhi rongga mulutnya.

"Ada masalah ya?" Disa yang sudah hapal dengan kebiasaan sahabatnya coba kembali mencari tahu.

Gia hanya mengangkat kedua bahunya dan menatap Disa sekilas. Bingung harus mulai dari mana, semua jadi tampak begitu rumit. "Ntar deh, aku makan dulu."

Disa tak mungkin mengganggu ritual Gia kalo dia sudah mengatakannya seperti ini. Tanpa diminta pun Gia pasti akan cerita sendiri kalo mood-nya sudah membaik. Tak akan berhasil juga kalo dia memaksa Gia membuka mulut sekarang.

Udara dari luar kantin semakin menyengat, membuat kipas angin yang diletakkan di setiap sisi ruangan tak berhenti berputar. Gerakannya diikuti suara derakan yang keluar karena gesekan karat. Tidak ada kursi kantin yang kosong. Semua memiliki tuan yang sedang memanjakan perutnya. Gia tidak menyadari ada sepasang mata yang sedang mengawasinya dari sudut ruangan sejak melangkahkan kaki memasuki ruang kantin. Gia tak berhenti menyuapkan sumpit ke mulutnya, meski keringat terus mengalir di dahinya.

Tiga puluh menit lagi jam istirahat akan berakhir, tapi kantin masih penuh. Masih ada antrian panjang seragam putih abu-abu yang menunggu pesanan. Hari semakin terik, matahari sudah mulai bergeser dari atas kepala. Suara tawa disela obrolan yang seru membuat suasana semakin riuh. Karyawan kantin mulai membersihkan meja yang ditinggalkan penghuninya agar bisa segera mendapatkan tuan yang baru.

The Zero Point (Completed)Where stories live. Discover now