BAGIAN 3

1.1K 41 0
                                    

Siang itu panasnya begitu menyengat, seakan-akanakan hendak membakar seluruh isi alam ini. Angin yang biasanya berhembus semilir, seperti enggan mengusik keluar. Udara benar-benar panas! Di atas sana tak ada awan yang mengisyaratkan hujan akan turun.
Sementara itu di sebuah kedai kecil dekat perbatasan Desa Salapan dengan Desa Jati Jarak, tampak seorang pemuda dengan baju rompi putih sedang duduk dengan mengangkat sebelah kakinya di bangku panjang yang didudukinya. Sedangkan di sebelah mejanya, duduk seorang laki-laki tua sambil terkantuk-kantuk. Sesekali tangannya mengibas, mengusir lalat yang mencoba mengganggunya.
Beberapa saat kemudian, tampak dua orang anak muda dengan golok terselip di pinggang, masuk ke kedai itu.  Mereka langsung duduk berjajar dengan pemuda yang tak lain adalah Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti. Namun Rangga sama sekali tidak memperdulikan kedatangan kedua pemuda tersebut, dia asyik makan dengan lahapnya. Dua orang muda yang baru datang itu langsung memesan makanan pada laki-laki tua pemilik kedai.
"Tadinya aku mengira kedai ini sudah tutup, Ki Salman," kata salah seorang dari anak muda itu.
"Ah, tidak. Kalau kedai ini tutup, dari mana Aki dapat makan, Den Jabar?" sahut Ki Salman, pemilik kedai itu.
"Apa Ki Salman tidak takut?" celetuk salah seorang lagi.
"Takut sama siapa, Den Garot?"
"Sama perempuan itu...," suara Jabar sedikit berbisik.
"Aki rasa, si Perawan Rimba Tengkorak itu tidak jahat."
"Tapi kan sudah banyak korban yang jatuh di tangannya, Ki," serobot Garot.
"Ah, biar saja. Mereka yang mati kan orang-orang dari Partai Tengkorak. Kalau si Perawan Rimba Tengorak sih tidak pernah mengganggu penduduk desa. Dia hanya membunuh orang-orang yang dianggapnya jahat."
"Memang benar, Ki. Tapi kita harus selalu waspada!" Jabar memperingatkan.
Ki Salman hanya tersenyum kecut. Dia kembali duduk di tempatnya setelah menyediakan makanan yang dipesan kedua anak muda itu. Semua pembicaraan tadi didengar oleh Rangga yang sejak tadi diam saja menikmati makanannya.
Sampai kedua anak muda itu meninggalkan kedai, Rangga masih tetap diam saja. Dia memang masih berada di Desa Salapan itu untuk mengetahui lebih jauh sepak terjang Partai Tengkorak. Dia masih curiga, bahwa kelompok itulah yang kabarnya akan menghancurkan Kerajaan Karang Setra. Dan selama berada di desa itu, Rangga telah memperoleh banyak keterangan yang sangat berarti.
"Ki Salman...," panggil Rangga.
"Iya, Den. Araknya tambah lagi?"
"Cukup, Ki."
"Ada apa, Den?" tanya Ki Salman penasaran.
"Siapa Perawan Rimba Tengkorak itu?" tanya Rangga langsung.
"Menurut kabar yang Aki dengar, dia adalah seorang gadis cantik yang sangat tinggi ilmunya. Dan sampai saat ini, tak seorang pun yang tahu nama aslinya. Tapi yang jelas, dia selalu membantu para penduduk yang lemah di sekitar Lereng Gunung Puting ini. Dan katanya, sudah banyak anggota Partai Tengkorak yang tewas di tangannya," ujar Ki Salman menjelaskan panjang lebar.
"Kenapa dia menggunakan nama Perawan Rimba Tengkorak? Apakah dia memang berasal dari Hutan Jati Jarak juga?" tanya Rangga ingin tahu.
"Wah, tidak ada yang tahu asalnya, Den. Tahu-tahu dia sudah muncul begitu saja, dan membunuh setiap anggota Partai Tengkorak yang ditemuinya," sahut Ki Salman.
"Apa selama ini Partai Tengkorak mengganggu penduduk Desa Salapan ini, Ki?"
"Secara langsung sih tidak, Den. Tapi kami semua harus menyisihkan sepertiga dari hasil panen, agar desa ini tetap aman katanya. Tidak tahu kalau desa- desa lain. Memang yang Aki dengar, desa yang tidak bisa membayar upeti, langsung dihancurkan. Seperti yang belum lama ini menimpa Desa Giling Watu. Desa itu hancur, karena salah seorang penduduknya ada yang menentang Partai Tengkorak."
"Kejam...!" dengus Rangga bergumam.
"Memang, kadang-kadang Partai Tengkorak berlaku amat kejam. Tapi kalau kita menuruti apa yang dikehendakinya, mereka juga bersikap baik dan ramah. Yang penting, jangan coba-coba menunjukkan diri kalau kita tidak suka pada mereka, meskipun dalam hati kita selalu mengutuki perbuatan mereka," lanjut Ki Salman.
"Kelihatannya kau tidak menyukai mereka, Ki?" Rangga memancing.
"Aku sudah tua, Den. Rasanya, tak perlu lagi menyimpan dendam di hati. Paling-paling Aki membiarkan saja kalau mereka makan di sini tanpa bayar. Demi keselamatan Aki juga."
"Seperti dua orang muda tadi?"
"Sebenarnya mereka bukan anggota Partai Tengkorak. Tapi mereka memanfaatkan kekuatan itu untuk kesenangan pribadi mereka sendiri."
Rangga hanya tersenyum tipis mendengamya. Dia kembali menghirup sisa araknya yang terakhir, lalu segera bangkit dari duduknya. Setelah membayar semua makanan dan minuman yang dinikmatinya, Pendekar Rajawali Sakti itu pelan-pelan melangkah keluar. Kemudian dia langsung melompat naik pada kuda hitamnya yang tertambat di bawah pohon.

17. Pendekar Rajawali Sakti : Perawan Rimba TengkorakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang