Dunia Nyata Bukan Novel

18 5 4
                                    

"Kau... gak perlu lagi bayar hutangnya."

"Eh?"

Aku akan menuliskan sebuah kisah yang pernah kualami seminggu lalu. Bukan, bukan. Ini bukan kisah romantis. Walaupun sebenarnya aku adalah seorang novel addict yang sangat senang mengoleksi puluhan novel dengan kisah romantis dan sangat menginginkan kisah cinta seperti yang ada di dalam novel-novel kepunyaanku.

Hari itu adalah hari pertama kuliah setelah libur panjang selama dua bulan lebih. Semester baru tentu saja artinya jadwal baru dan ruangan baru. Sayangnya datang sendirian ke gedung yang baru pertama kali dijadikan tempat kuliah jurusanku merupakan pilihan yang salah. Orang-orang asing yang berlalu lalang membuat nyaliku semakin ciut. Duh, di mana ruangan B1-6? Aku sudah tiga kali memutari sekitaran gedung dan malah tersesat di halaman belakang.

Halaman belakang gedung ini cukup asri dan ramai ditempati mahasiswa. Beda dengan gedung tempatku kuliah dulu, di sini banyak gazebo mini yang menjadi tempat peristirahatan. Tunggu, ini bukan waktu yang tepat untuk mengagumi keindahan gedung. Lima menit lagi jadwal kuliah dimulai. Dosen yang mengajar mata kuliah ini adalah salah satu dosen terkiller di jurusan.

Tepat saat aku berbalik, tanpa sengaja aku menabrak seseorang di belakangku. Tubuhku terhempas ke belakang. Rintihan sakit mengalir dari mulutku.

"Woi!"

Gara-gara hentakan keras itu, aku mendongakkan kepala. Mataku mengerjap cepat. Seorang cowok dengan badan tegap dan wajah yang sangat tampan menatapku dengan, err, kesal? Matanya berkilat tajam. Buru-buru aku berdiri. Memperbaiki posisi rambut sebahuku yang berantakan. Tidak ada salahnya bersiap diri, kan? Kalau di novel, ini adalah salah satu arc permulaan untuk memulai hubungan romantis.

"Ganti rugi buat alat tulisku yang berjatuhan itu, bren*sek!!"

Eh?

Apa aku salah dengar? Barusan dia bilang aku bren*sek??

"Jangan ngelamun! Yang kau injak itu harganya 56.000!!" ia membentakku keras. Orang-orang yang awalnya sibuk sendiri, perlahan menaruh perhatian pada kami berdua.

Kuangkat kaki kananku. Dia benar. Sebuah pensil yang sepertinya harganya sangat mahal terbaring naas di sana. Langsung kupungut pensil tersebut dan memberikannya pada si pemilik. Bukannya diambil, cowok di depanku malah mendecak kesal. Tangan kanannya menepis kasar pensil yang kuberikan hingga mental jauh ke sebuah gazebo dan mengenai punggung orang yang sedang duduk di sana.

"Pensil begituan kalau udah jatuh gak bakal bisa dipakai lagi, b*go!"

Pendengaranku tidak salah ternyata. Dia benar-benar berkata kasar padaku. Kesampingkan bahwa aku yang merusak pensilnya, begini begini aku juga seorang cewek. Dia berkata seperti itu pada seorang cewek? Serius?!! Lagipula itu pensil mekanik kan? Aku juga punya satu di kos. Kalau isinya rusak ya tinggal beli lagi. Kenapa meributkan hal sepele seperti itu?!

Matanya menyipit tajam pada selokan kecil yang mengalir di sampingku. Aku ikut-ikutan melirik. Napasku tertahan melihat isi selokan tersebut. Beberapa korban lain, pulpen maksudnya, sedang berenang bebas di dalam selokan tersebut. Aku mengenal merek pulpen itu.Aku juga pernah menanyakannya pada mbak-mbak di gr*media. Kalau tidak salah harga satuannya itu 82.000 rupiah.

"Itu satu harganya 120.000," desisnya.

Eh? Udah naik sampe 20.000?? Apa benar harganya sampai semahal itu sekarang?!! Aku mulai berlutut. Memasukkan tanganku ke selokan kecil tersebut.

"Eww, walaupun kau ambil, aku tetap gak bakal mau nerima itu lagi. Busuk b*go!"

Hei, air selokan ini bersih dan jernih lho! Siapapun yang melihat juga pasti tau kalau ini aliran air hujan yang baru tumpah tadi pagi. Dinding selokan tidak hitam. Melainkan bersih dengan lumut hijau di pinggirannya.

Dunia Nyata Bukan NovelWhere stories live. Discover now