BAGIAN 2

1.2K 36 0
                                    

Jeritan melengking memecah kesunyian di pagi buta ini. Jeritan itu berasal dari rumah Sari. Tampak Nyi Gadung berdiri lemas di depan pintu kamar anaknya yang terbuka lebar. Sesekali jeritan masih terdengar dari mulutnya yang terbuka. Ki Gadung datang tergopoh-gopoh dan terperanjat begitu melihat tubuh Sari tergantung di tiang kamar.
"Ki...! Ki Gadung...!" terdengar panggilan dari luar disertai gedoran pintu.
Ki Gadung bergegas ke luar dan membuka pintu rumahnya. Tampak beberapa orang tetangga, baik laki-laki maupun perempuan telah berkerumun di depan rumahnya.
"Tolong...! Tolong, anakku!" rintih Nyi Gadung berlarian, langsung memeluk suaminya.
Dua orang laki-laki muda bertubuh tegap segera menerobos masuk. Mereka terperangah kaku saat melihat tubuh Sari tergantung di kamar. Tanpa banyak bicara lagi, kedua laki-laki itu cepat memutuskan tali yang mengikat leher Sari, dan membaringkan tubuh gadis itu di pembaringannya.
"Sari, anakku...," rintih Nyi Gadung langsung menubruk tubuh putrinya.
Beberapa orang sudah berkerumun di depan pintu kamar. Ki Gadung tampak terduduk lemas di kursi dekat pintu kamar. Pandangan matanya kosong ke depan, seperti orang linglung yang tidak tahu lagi harus berbuat apa. Beberapa tetangga mulai kasak-kusuk menduga-duga. Dan sebagian lagi segera mengurus jenasah Sari. Nyi Gadung terus-menerus dihibur beberapa perempuan tua di kamar lain. Sementara itu Ki Gandung tetap duduk lesu tanpa semangat.
Sementara Rara Inten yang langsung datang begitu mendengar Sari gantung diri, menangis meraung- raung memeluk mayat sahabatnya. Kalau saja ibunya tidak segera membawa pergi ke luar, mungkin bisa seharian ia menangisi mayat sahabatnya itu.
Pagi ini seluruh penduduk Desa Jati Ireng tumpah ruah di rumah Ki Gadung. Berita tentang kematian Sari karena gantung diri tersebar cepat sampai ke seluruh pelosok desa.
Beberapa dugaan dan tanggapan bermunculan, Desa Jati Ireng belum pernah mengalami kejadian yang begitu menggemparkan. Seorang gadis mati gantung diri! Desa Jati Ireng terkenal aman, tenteram, dan makmur. Tidak mengherankan kalau kematian Sari yang tragis itu membuat seluruh penduduk desa itu gempar.
"Beberapa hari ini, Sari memang kelihatan murung," kata salah seorang penduduk yang memadati halaman rumah Ki Gadung.
"Apa dia punya persoalan?" yang lain mendugaduga.
"Sepertinya memang iya. Tapi sahabat dekatnya saja tidak tahu persoalan apa yang membuat Sari murung belakangan ini."
"Rara Inten, maksudmu?"
"Siapa lagi? Semua orang tahu kalau mereka bersahabat karib sejak masih kecil"
"Ada apa, ya...?"
Semua orang bertanya-tanya. Dan kini perhatian mereka semua terpusat pada Rara Inten. Sahabat kental Sari. Hal ini membuat Rara Inten kebingungan karena semua orang selalu menanyakan tentang Sari terhadapnya. Rara Inten sendiri tidak tahu. Dia tidak bisa menjawab apa-apa, selain kata tidak tahu. Tapi tidak seorang pun yang percaya begitu saja. Semua orang yakin kalau Rara Inten mengetahui betul persoalannya.
Rara Inten semakin kelabakan karena Kepala Desa Jati Ireng ikut pula menanyainya. Kepala desa yang bernama Ki Parungkit itu khusus datang ke rumah Ki Gadung. Dimintanya satu kamar khusus untuk menanyai Rara Inten yang didampingi ibunya, Nyi Masaha. Sedangkan kepala desa didampingi seorang bayan yang bernama Sangkuni.
"Semua orang di desa ini tahu kalau kau sangat dekat dengan Sari...," ujar Ki Parungkit pelan, namun terdengar penuh kewibawaan.
"Kami memang dekat satu sama lain, Ki. Tapi aku tidak tahu persoalan yang dihadapinya. Sari tidak pernah mengatakan yang sebenarnya, jika ditanya," serobot Rara Inten sebelum Ki Parungkit selesai berkata.
"Sari punya kekasih?" tanya Bayan Sangkuni langsung menebak.
Rara Inten tidak segera menjawab karena memang dia tidak tahu Sari punya kekasih. Yang diketahuinya, sikap Sari begitu berubah setelah akrab dengan Kamandaka yang menetap dekat pancuran di Bukit Jati Ireng. Tapi Rara Inten tidak yakin kalau Sari jatuh cinta pada pemuda itu. Memang, Rara Inten sering melihat mereka berduaan. Tapi dia sama sekali tidak punya pikiran buruk. Rara Inten hanya menganggap hubungan mereka hanya sebatas teman biasa saja.
Tapi, Rara Inten juga ingat. Setiap kali dia menyebut nama Kamandaka di depan Sari, wajah gadis itu berubah menegang. Bahkan beberapa hari sebelum meninggal gantung diri, Rara Inten sering mengajak Sari ke pancuran. Tapi ajakan itu selalu ditolaknya. Mungkinkah cinta Sari ditolak Kamandaka, lalu nekat bunuh diri?
"Dua minggu yang lalu kami berkenalan dengan seorang pemuda tampan di Bukit Jati Ireng dekat pancuran. Tapi aku tidak yakin kalau pemuda itu penyebab kematian Sari," kata Rara Inten pelan suaranya.
"Sari mencintainya?" desak Ki Parungkit.
"Aku tidak tahu. Tapi aku sering melihat mereka jalan berdua," Rara Inten mengakui.
"Siapa nama pemuda itu?" tanya Bayan Sangkuni. "Kamandaka," sahut Rara Inten.
"Kamandaka...," desis Bayan Sangkuni menggulangi nama itu beberapa kali.
"Ada apa, Sangkuni?" tanya Ki Parungkit.
"Tidak mungkin! Tidak mungkin dia ada di sini Tapi...," Bayan Sangkuni seperti bicara untuk dirinya sendiri.
"Kau mengenalnya, Sangkuni?" tanya Ki Parungkit lagi.
"Sebaiknya kita ke Bukit Jati Ireng, Ki. Kalau memang benar Kamandaka si Durjana Pemetik Bunga pasti dialah penyebab kematian Sari!" seru Bayan Sangkuni langsung bangkit berdiri.
Bayan Sangkuni segera melangkah ke luar kamar diikuti Ki Parungkit. Sedangkan Rara Inten bisa mengerti apa yang dimaksudkan oleh Bayan Desa Jati Ireng itu. Bergegas gadis itu ikut ke luar didampingi ibunya.
"Kalian semua, ambil kuda dan senjata! Ikut aku!"
perintah Bayan Sangkuni menunjuk beberapa pemuda yang ada di halaman rumah Ki Gadung.
Tanpa ada yang membantah, sekitar dua puluh orang pemuda segera mengambil kuda masing-masing. Salah seorang di antaranya membawa dua ekor kuda yang kemudian diserahkan pada Bayan Sangkuni dan Ki Parungkit.
"Aku ikuti" seru Ki Gadung yang telah siap dengan golok di pinggang. Dia juga sudah siap di atas punggung kudanya.
"Baiklah. Tapi ingat, jangan berbuat gegabah," sahut Bayan Sangkuni tidak bisa menolak.
Atas saran Ki Parungkit, Rara Inten ikut serta didampingi ayahnya. Tidak kurang tiga puluh orang berkuda bergerak menuju ke Bukit Jati Ireng. Sementara matahari sudah cukup tinggi, tepat di atas kepala, sinarnya yang terik mengiringi tiga puluh orang berkuda itu menuju ke Bukit Jati Ireng.
Ki Parungkit dan Bayan Sangkuni berjalan di tengah mengapit Rara Inten. Gadis itu menjadi penunjuk jalan menuju ke tempat tinggal Kamandaka. Dalam hati, Rara Inten tidak percaya kalau pemuda itu penyebab kematian Sari. Perilaku Kamandaka sangat sopan. Tidak ada tanda-tanda kalau pemuda itu orang jahat. Lagi pula, kalau hanya persoalan cinta, tidak mungkin Sari bunuh diri. Pasti ada persoalan yang sangat berat dan tidak terpecahkan, sehingga gadis itu mengambil jalan pintas.
Sepanjang perjalanan, Rara Inten terus berpikir dan menduga-duga. Pendiriannya tetap pada keyakinannya semula. Sungguh sulit dipercaya kalau Sari bunuh diri hanya karena cintanya ditolak Kamandaka. sementara rombongan kecil itu semakin dekat ke Bukit Jati Ireng. Dari kejauhan, gubuk Kamandaka sudah terlihat, dan seperti sepi-sepi saja.
"Itu pondoknya. Dia tinggal di situ," kata Rara Inten menunjuk rumah kecil yang sederhana sekali.
"Sepi.., apakah dia sudah kabur?" gumam Bayan sangkuni.
"Kau tunggu di sini, Rara. Biar kami yang menye- lesaikan persoalannya," kata Ki Parungkit.
Rara Inten tidak membantah. Dihentikan laju kudanya diikuti ayahnya dan lima orang pemuda bersenjata golok di pinggang. Sementara Ki Parungkit, Bayan Sangkuni, dan Ki Gadung terus mendekati pondok kecil itu diikuti beberapa pemuda. Apakah dugaan Bayan Sangkuni benar?

15. Pendekar Rajawali Sakti : Durjana Pemetik BungaМесто, где живут истории. Откройте их для себя