BAGIAN 1

1.8K 44 0
                                    

Tiupan suara seruling mengalun merdu menyanyikan lagu-lagu rakyat. Seakan-akan suara itu untuk menyongsong terbitnya sang mentari pagi dari ufuk timur. Alunan suara merdu itu menyusup ke lembah- lembah, gunung-gunung, dan danau-danau seperti memanggil seluruh isi mayapada untuk  menikmati alunan itu.
Suara alunan merdu itu datang dari sebuah bukit yang tidak jauh dari Desa Jati Ireng. Mungkin karena di  sekitar bukit itu terdapat banyak pohon jati yang batangnya berwarna  hitam pekat, maka penduduk desa itu menamakannya Bukit Jati Ireng.
Tampak seorang pemuda berkulit  kuning langsat dengan baju indah  berwarna biru muda, duduk di atas sebongkah batu hitam. Jari-jemarinya yang lentik bagai jari-jemari  perempuan, menari-nari lincah di atas lubang-lubang kecil pada   sebatang bambu berwarna kuning gading. Bibirnya yang merah bagai bibir seorang gadis, agak monyong meniup seruling itu. Dari situlah asal suara itu datang.
"Indah..., indah sekali," tiba-tiba satu suara merdu lain terdengar.
"Oh!"  pemuda itu terkejut, langsung menghentikan permainan serulingnya.
Pemuda itu tersenyum manis begitu melihat seorang gadis cantik telah berdiri di sampingnya. Pakaiannya sederhana. Di tangannya terdapat sebatang bambu besar dengan tali  pada ujung-ujungnya. Jelas sekali  kalau gadis itu habis mengambil air  dari pancuran yang tidak jauh dari tempat itu.
"Siapa kau, gadis ayu?" tanya pemuda itu. Suaranya lembut dan halus, indah didengar.
"Oh! Maaf. Aku telah  mengganggumu," mendadak saja paras cantik gadis itu bersemu merah. Buru-buru ditundukkan kepalanya.
"Aku Kamandaka. Siapa namamu,   gadis ayu?" pemuda itu memperkenalkan dirinya.
"Aku..., aku, Rara Inten," jawab gadis  itu agak gugup.
"Kau penduduk Desa Jati Ireng?"  tanya Kamandaka.
"Benar. Kau sendiri?"
"Di mana aku suka, di situlah tempat tinggalku."
"Pengembara, maksudmu?"
"Boleh dikatakan begitu."
Rara Inten menatap sebuah gubuk   kecil yang sangat sederhana. Dia   sering lewat tempat ini jika mengambil air di pancuran. Kemarin gubuk itu belum ada. Tapi sekarang sudah berdiri di antara dua batang pohon yang menjadi tiang depannya.
"Itu tempat tinggalku. Baru aku  dirikan kemarin sore," Kamandaka  seperti mengetahui jalan pikiran gadis itu.
"Kenapa kau tinggal di tempat  terpencil begini?" tanya Rara lnten tidak mengerti.
"Aku suka kesunyian. Tempat ini  sangat indah, aku suka alam di sini. Kau suka keindahan juga, kan?"
"Ya," sahut Rara lnten.
"Rara...,  Rara Inten...!" tiba-tiba  terdengar panggilan.
Sebelum Rara Inten menyahut,  muncul seorang gadis lain mengenakan kemben. Sebagian dada dan bahunya terbuka lebar. Kain yang dikenakannya kelihatan basah. Gadis itu membawa sekeranjang cucian. Dia tampak terkejut sekali melihat Rara Inten berdua dengan seorang pemuda tampan di tempat sunyi.
"Rara, ayo pulang. Sudah siang!" ajak gadis itu.
"Kakang Kamandaka! Ini Sari, temanku. Rumahnya tidak jauh dari rumahku," kata Rara lnten memperkenalkan gadis yang baru datang itu.
"Senang sekali dapat berkenalan dengan dua orang gadis cantik  sekaligus," sambut Kamandaka tersenyum manis. Bola matanya  sedikit nakal menyorot pada bahu Sari yang terbuka.
Sari hanya tersenyum, sedikit tersipu. Ditutupi bahunya yang menjadi  sorotan mata Kamandaka. Desa Jati  lreng memang terkenal memiliki gadis-gadis cantik. Tidak heran jika banyak pemuda kaya dari kota   sering singgah ke desa itu sehabis  pulang berburu. Bahkan banyak dari  mereka yang enggan pulang karena  kecantol dengan salah seorang gadis Desa Jati lreng. Tidak sedikit pula gadis desa itu yang hidup senang di kota setelah menikah dengan pemuda kaya dari kota. Bukan mustahil kalau  kehidupan di Desa Jati lreng begitu makmur, tidak kalah dengan kehidupan di kota-kota besar.
"Rara! Ayo pulang," ajak Sari setengah berbisik. "Kakang Kamandaka,  kami  pulang dulu! Sudah
siang," pamit Rara lnten.
"Silakan. Tentunya orang tua katian telah cemas menunggu," sahut  Kamandaka tetap lembut suaranya.
Sari segera menarik tangan Rara lnten. Kedua gadis itu melangkah pergi diiringi pandangan mata Kamandaka yang tersenyum-senyum  sendirian. Agak cepat Sari berjalan sambil menarik tangan Rara Inten melintasi jalan setapak di Bukit Jati  lreng ini, sehingga Rara Inten kesulitan mengimbanginya.
"Pelan-pelan, Sari!" sentak Rara lnten seraya melepaskan pegangan temannya itu.
Sari berhenti sebentar, lalu melanjutkan langkahnya pelan-pelan sekali. Sebentar dia menoleh ke belakang. Tampak Kamandaka masih  duduk di atas batu hitam memandang ke arahnya. Sari jadi kikuk ketika Kamandaka menganggukkan kepalanya sedikit. Buru-buru dialihkan pandangannya ke  depan.
"Dia masih ada di situ, Sari?" tanya Rara Inten.
"Masih," sahut Sari kaget juga. Ternyata Rara lnten
memperhatikannya.
"Dia tampan, ya?" gumam Rara Inten seolah-olah bicara untuk dirinya sendiri.
"Iya. Tapi kamu sudah punya tunangan!" serobot
Sari mengingatkan.
"Kamu naksir?" ledek Rara Inten. "Ih,  sembarangan!"
Hampir setiap hari jika ada kesempatan, Rara Inten dan Sari selalu berbincang-bincang dengan Kamandaka di tempat yang sama ketika pertama kali mereka bertemu. Sari yang lincah dan mudah bergaul tampak lebih akrab dengan Kamandaka daripada Rara Inten yang agak pendiam. Rara Inten tahu kalau Sari menyukai pemuda itu. Tapi juga disadari kalau dirinya sudah  terikat tali pertunangan, sehingga selalu menjaga jarak. Paling tidak untuk  memberi kesempatan pada Sari agar  lebih sering  bertemu dengan Kamandaka berdua saja.
Pagi ini Sari sengaja pergi ke  pancuran seorang diri. Lain seperti biasanya yang selalu bersama-sama  dengan Rara Inten. Entah kenapa, dia  ingin sendiri saja bertemu dengan pemuda tampan yang telah menarik hatinya dalam beberapa hari ini.  Gadis itu melangkah pelan-pelan.  Matanya selalu melirik gubuk kecil di Bukit Jati lreng.
"Kakang...! Kakang Kamandaka...!" panggil Sari berteriak begitu melihat Kamandaka keluar dari gubuknya.
Kamandaka tersenyum memandangi Sari yang berlari-lari kecil menghampirinya. Dia berdiri saja di depan pintu gubuknya yang dibiarkan terbuka lebar. Wajah Sari tampak memerah ketika tiba di depan pemuda itu.
"Kok sendiri Mana temanmu?" tanya Kamandaka.
'Tunangannya datang jadi Rara Inten tidak bisa ke sini," jawab Sari berdusta.
"Dia sudah bertunangan?" Kamandaka tampak terkejut sekali.
"Benar! Dengan pemuda dari kota. Putra seorang Menteri Kerajaan Pasir Batang," Sari menjelaskan.
"Ah, beruntung sekali dia. Dapat  putra seorang menteri kerajaan," desah Kamandaka.
"Kelihatannya kau akan pergi, Kakang?" Sari mengalihkan pembicaraan.
'Tidak," sahut Kamandaka tersenyum manis.
Sari juga membalas senyuman  itu  dengan manis pula.
"Mari, masuk..." ajak Kamandaka.
Tanpa diminta dua kali, Sari melangkah masuk ke dalam gubuk itu. Kamandaka tersenyum dan mengikutinya dari belakang, lalu menutup pintu gubuknya. Sari mengamati bagian dalam gubuk  ini   yang tidak berkamar. Tidak ada perabotan sama sekali, kecuali sebuah dipan bambu beralaskan anyaman tikar pandan menutup rerumputan  kering dan sebuah pelita kecil  menempel pada dinding bambu yang  dilapisi kulit kayu. Sari kini duduk di atas dipan itu.
'Tidak ada apa-apa di  sini. Kau pasti tidak suka," kata Kamandaka seraya duduk di samping gadis itu.
"Aku suka! Bersih, nyaman, dan tenang," sahut
Sari, lagi-lagi tersenyum manis.
'Tidak seindah rumahmu, kan?"
"Kau tahu rumahku?" agak terkejut juga gadis itu.
"Tidak terlalu sulit mengetahui seluk-beluk Desa Jati Ireng."
“Desa Jati Ireng memang kecil. Tidak heran kalau dalam beberapa hari saja kau sudah paham seluk-beluknya."
"Termasuk gadisnya yang cantik."
"Ah...," Sari mendesah.
Gadis itu jadi kikuk ketika tangan Kamandaka merangkul pundaknya.  Rona merah menyemburat di wajahnya ketika merasakan  hangatnya desah nafas pemuda itu menerpa wajahnya. Seluruh tubuh  Sari menggelepar ketika satu kecupan lembut mendarat di pipinya yang putih halus kemerahan.
Bukan hanya di pipi. Ternyata bibir  Kamandaka mulai menjelajah ke  leher dengan ciuman-ciumannya yang hangat menghanyutkan.  Seluruh aliran darah gadis itu seperti berbalik, ketika bibir Kamandaka menyentuh bibirnya. Baru pertama kali ini Sari merasakan belaian dan kecupan seorang pemuda. Dia tidak tahu, apa yang harus dilakukan? Sementara itu jari-jemari Kamandaka  mulai liar menjelajahi tubuh gadis itu.
"Oh..., Kakang..," desah Sari lirih.
"Kau cantik sekali, Sari," desah  Kamandaka lembut di telinga gadis itu.
Lagi-lagi Sari mendesah lirih. Kedua matanya terpejam saat merasakan  jari-jari tangan Kamandaka mulai mempreteli kancing bajunya satu per satu. Sari tidak mampu lagi menolak ketika Kamandaka merebahkan tubuhnya di balai-balai bambu itu.
Sari benar-benar larut dalam buaian  kenikmatan yang belum pernah dirasakan sebelumnya. Beberapa kali bibirnya mendesiskan rintihan lirih. Beberapa kali pula tubuhnya  menggelinjang menggeletar. Tidak ada lagi kata-kata yang terucapkan,   Sari benar-benar hanyut, lupa akan segala-galanya. Hingga pada suatu ketika....
"Oh, okh!" Sari memekik tertahan.
Kedua mata gadis itu membeliak  lebar. Tanpa terasa setetes air bening menggulir dari sudut matanya. Dia    menggigit-gigit bibir bawahnya,   berusaha meredam isak tangisnya  yang hampir pecah. Sari tidak tahu  apakah harus marah, sedih, menyesal, atau bahagia. Semuanya sudah  terjadi tanpa dapat dicegah lagi.
Pelahan-lahan gadis itu meraih kain yang teronggok di ujung kakinya. Ditutupi tubuhnya saat tubuh Kamandaka bergulir ke samping dengan keringat membanjiri tubuhnya. Air mata semakin deras mengalir membasahi pipinya, tapi tidak sedikit pun suara yang terdengar. Hanya bahu yang terbuka lebar saja tampak terguncang-guncang menahan isak tangis.
"Apa yang kau tangisi, Anak Manis?" tanya Kamandaka sambil  mengenakan kembali pakaiannya. Senyum kepuasan tersungging di  bibirnya yang selalu merah menawan.
Sari tidak menjawab, dan segera membenahi diri. Dia berlari ke luar. Kamandaka tidak mengejar, tapi malah tersenyum. Dia masih duduk  di tepi dipan bambu, dan tidak peduli dengan nasib gadis itu lagi. Yang  penting telah merasa puas karena telah berhasil merebut mahkota tanpa paksaan sedikit pun.

15. Pendekar Rajawali Sakti : Durjana Pemetik BungaWhere stories live. Discover now