Gadis itu turun perlahan kemudian berdiri di dekat Adam. “Hai, Dam. Tumben ke sini?” Kalau boleh jujur, sebenarnya Alanis tidak begitu mengharap kehadiran Adam di rumahnya. Sebanyak apa pun dia pernah mencurahkan hati dan kesedihan pada Adam, tidak lantas membuatnya seketika jatuh cinta pada cowok itu.

“Pengin ketemu kamu, Al.”

Alanis merasa pipinya menghangat saat mendengarnya. Dia berdiri dalam gelisah. Tak tahan mendapat sorotan menusuk yang penuh kekaguman itu. Tak sadar dia berpaling. Namun tak berlangsung lama karena dia harus berlaku sopan terhadap tamu.

“Kita ngobrol di luar yuk!” ajak Alanis kemudian melangkah terlebih dulu. Gadis itu membawa Adam ke tepian kolam mungil yang dipenuhi dengan ikan koi berwarna cantik. Di sebelahnya terdapat kursi kayu memanjang. Mereka duduk bersebelahan dengan jarak sekitar satu meter.

“Dam, sori ya, tadi gue...”

“Udah jangan minta maaf lagi. Gue yang salah. Nggak seharusnya gue ngelarang-larang lo. Cuma pengen lo hati-hati sama David. Dia nggak sebaik yang lo kira.”

Alanis menoleh dengan wajah tidak suka. Tidak suka karena Adam berpikir buruk tentang David. “Kalau gue harus hati-hati sama David, seharusnya gue juga hati-hati sama semua cowok. Termasuk sama lo.”

Untuk beberapa detik mata mereka saling pandang dalam diam. Alanis-lah yang memutus kontak terlebih dahulu. Bersama dengan Adam harus siap untuk selalu gugup.

“Lo jangan lupa dengan predikat David di sekolah,” tukas Adam tenang.

“Nggak selamanya player itu berhati jahat. Kalau hanya berteman, untuk apa memilih mana yang player dan mana yang setia sama satu cewek?” Alanis sedikit kesal. “Gue tahu lo perhatian sama gue. Tapi bukan dengan cara menjauhkan gue dari temen-temen gue.”

“Gue cuma pengin lo menjauhi David, bukan temen-temen lo.” Adam mengucapkannya dengan wajah datar.

“Sebenarnya ada apa sih, Dam?” Alanis bertanya dengan memelas.

“David suka sama Prissa, Al. Gue nggak mau lo sakit hati kalau pada akhirnya David lebih milih Prissa.”

“Tapi Prissa nggak ngerespon kan sama perasaan David?”

“Lama-lama juga pasti luluh.”

“Jadi lo pengen Prissa segera jadian sama David biar Prissa nggak ngejar-ngejar lo lagi?”

Adam membeku di tempat. Rahasia yang ditutupinya selama ini ternyata diketahui oleh orang lain. Terlebih lagi orang lain itu adalah Alanis, gadis yang sangat disukainya.

“Lo tahu?”

Alanis tersenyum sinis. “Iya, gue tahu. Nggak nyangka banget gue sama lo yang dikejar-kejar cewek paling cantik di sekolah tapi masih ngarepin gue.”

“Lo masih berpendapat kalau cowok itu selalu jatuh hati sama cewek cantik?” tanya Adam kemudian tertawa miris. “Dan kalau emang pendapat lo begitu, gue nggak salah ada di sini. Karena lo salah satu dari cewek cantik itu.”

Ucapan Adam yang penuh kekaguman dan pujian tulus itu membuat wajah Alanis memanas lagi. Rasanya ini pertama kalinya dia berada dalam situasi meresahkan seperti ini. Saat ada cowok yang menyukainya dan menyatakan perasaan dalam suasana malam yang mendukung.

“Kenapa lo nggak terima aja Prissa jadi cewek lo?” tanya Alanis mengalihkan pembicaraan dan perhatian Adam. Cowok itu mendengus gusar.

“Gue nggak bisa ceritain. Gue nggak ada perasaan sama dia. Jadi sehebat apa pun dia ngerayu gue, gue nggak akan luluh.”

“Omongan lo seyakin itu nggak akan luluh seolah-olah lo benci banget sama dia.”

“Bukan benci, cuma nggak suka aja.”

Alanis tertawa ringan. “Apa bedanya benci dengan nggak suka?”

“Benci lebih ke perasaan enggan untuk bertemu dan nggak mau tahu apa-apa tentang seseorang. Sedangkan nggak suka, lelah kalau seseorang masih aja gangguin kita yang jelas-jelas udah menolak perasaannya.”

“Ribet banget sih.” Alanis tertawa tanpa suara.

“Lo nggak benci gue kan, Al?” pertanyaan itu membuat Alanis menoleh kembali. Adam melihat Alanis menggeleng.

“Gue nggak benci siapa pun.”

“Kalau ada orang yang benci sama lo?”

“Itu pilihan mereka, mau berdamai dengan lingkungannya atau masih memusuhi satu di antaranya.”

Adam tersenyum mendengar penuturan Alanis. Perasaan yang dulu diyakininya sebagai rasa kagum, kini berubah menjadi rasa yang lebih dalam lagi. Dia yakin bahwa dia mencintai gadis ini.

***

David : Al, lo bisa masak nggak? Bikinin gue sarapan ya?

Alanis tersenyum membaca pesan dari David pagi itu. Cowok itu meminta sarapan padanya. Duh, kenapa jadi semangat ya? Bergegas Alanis ke dapur menemui Mbak Narni untuk membantunya menyiapkan sarapan David.

“Mbak Narni masak apa?”

“Nasi goreng aja, Al.”

“Aku bawain bekal dong. Hias yang cantik ya.”

“Eh, tumben kamu mau bawa bekal?”

“Iya lagi pengen aja.”

Setelah itu Alanis kembali ke kamarnya dan menyiapkan diri untuk berangkat ke sekolah. Saat dia sibuk mengenakan seragam, ponselnya berbunyi lagi.

David : Gue jemput lo, ya!

Alanis : Nggak usah, Vid. Gue berangkat sama bokap.

Alanis duduk tegak di depan kaca riasnya. Dia tersenyum setelah membaca beberapa pesan dari David. Disisirnya rambut lurusnya yang kini panjangnya melebihi bahu. Dia seolah sedang mencari sesuatu dalam wajahnya yang membuat David tertarik padanya. Ah, entahlah David memang benar-benar menaruh minat padanya atau hanya dirinya saja yang terbawa perasaan. Alanis sudah tidak peduli lagi. Yang dia yakini saat ini David tertarik padanya.

Alanis meraba wajahnya mulai dari dagu sampai kening. Bukannya terlalu percaya diri, tapi dia menilai wajahnya memang imut, bisa dibilang cantik meski dia tidak berani menyatakan di depan orang lain. Itu kesannya seperti tidak tahu diri. Dia jadi lebih yakin bahwa dirinya memang tidak mengecewakan untuk menjadi pacar David, cowok yang diincar oleh banyak cewek di sekolah.

Alanis berdiri kemudian menatap pantulan dirinya di cermin. Merasa penampilannya sudah keren, dia keluar dari kamar dan menyambar bekal kemudian menuju ke halaman rumah, tempat papanya menunggu. Dia bersyukur papanya tidak bertanya tentang bekal yang dibawanya sampai mereka tiba di depan gerbang sekolah.

Keceriaannya semakin terlihat saat David menyambutnya dan mereka berjalan beriringan ke kelas mereka. Alanis memberikan bekal itu dan David mengucapkan terima kasih berkali-kali dengan senyum lembut yang membuat hati Alanis meleleh. Karena terpukau dengan senyum David, sampai-sampai Alanis tak menyadari Adam memerhatikannya sejak lama.

Gadis itu sibuk menoleh ke kiri, ke tempat di mana David duduk. Keceriaannya perlahan menghilang di jam istirahat pertama saat melihat Prissa membuka bekal yang dibawanya tadi. Di samping Prissa, David terlihat bermuka datar, tak ada ekspresi.

Seketika hati Alanis memanas. Berbagai pertanyaan mencuat dalam benaknya. Mengapa David membiarkan Prissa mengambil bekalnya? Dan mengapa Prissa begitu tidak tahu diri mengambil bekal David?

***

The EleventhWhere stories live. Discover now