39. Kenangan Dalam Sebuah Foto

Mulai dari awal
                                    

Bibi menghela napas gusar. Padahal, dia sempat berharap tadi—akan ada kabar baik dari Agus Sinar. Namun, tampaknya belum ada perkembangan berarti sejauh ini. Polisi mungkin belum berhasil menemukan Dimas, pikirnya.

"Bersabarlah, Na. Kita harus banyak berdoa," nasihat Bibi, yang sama sekali tidak digubris oleh Raihana.

Bibi lantas berjalan keluar rumah, diikuti Raihana yang mengekorinya di belakang. Rumah bata merah di seberang jalan tampak gelap sebagian. Lampu balkon serta kamar di lantai dua tidak dinyalakan, membuat wajah rumah itu berkesan semakin suram. Ketika Bibi dan Raihana hampir sampai di depan rumah itu, listrik tiba-tiba saja padam, memaksa langkah kaki keduanya sontak terhenti bersamaan.

Gelap.

Langit mendung di atas kepala—sesuka hati—menyembunyikan sang rembulan dari semua orang.

Raihana mengetatkan genggaman tangannya pada daster yang Bibi kenakan. Sementara Bibi menelan ludah gugup.

"Na, tunggu di sini. Bibi mau ambil senter dulu."

"Bi, tunggu!"

Dalam sekejap mata, Raihana kehilangan pegangan. Dia hendak menyusul wanita itu, tetapi kedua kakinya urung melangkah. Sayup terdengar bunyi kelontangan dari dalam rumah Dimas. Raihana menoleh dengan cepat. Lagi, dia mendengar suara yang sama: seperti suara benda-benda berjatuhan ke lantai.

Rasa penasaran telanjur membawa Raihana kembali menyusuri jalanan gelap meski tanpa lampu penerangan. Tangan kanannya terjulur meraih kenop pintu. Berulang kali diputar, tetapi daun pintu di hadapannya tidak kunjung membuka.

Rumah itu dikunci dari dalam.

Raihana ingat pesan Agus Sinar saat di telepon. Kalau tidak bisa dibuka, ada kunci cadangan di celah dinding. Om minta tolong, ya, Na.

Dengan segenap perasaan was-was, Raihana lantas meraba-raba dinding rumah. Tidak jauh dari pintu masuk, di dekat pot bunga kamboja, dia menemukan celah batu-bata yang bisa ditarik keluar. Terdapat sebuah kunci di dalamnya. Raihana memandang sekilas ke arah jalanan. Bibi belum juga kembali, pikirnya. Nekat, Raihana membuka pintu dan masuk seorang diri. Beruntung, lampu kembali menyala setelahnya, tepat saat Raihana menginjakkan kaki di ambang pintu.

"Tante ...," panggil Raihana ragu-ragu sembari mengedar pandangan. Ruang tamu terlihat sangat berantakan dengan barang-barang yang berserakan di mana-mana. Letak perabot dan kursi serong tidak keruan. Bantal-bantal empuk yang seharusnya tersusun rapi di atas sofa tergeletak di lantai. Sarungnya koyak; isinya berhamburan—nyaris menutupi lantai semen di ruangan itu.

Raihana berseru lagi, tetapi tetap tidak ada jawaban dari Tante Lydia.

Saat melangkahi barang-barang pecah belah di atas lantai, tanpa sengaja Raihana menginjak pigura foto yang kacanya telah retak sebagian. Dipungutnya benda itu, kemudian disimpannya baik-baik di atas meja kecil. Raihana mendapati wajah Dimas tersenyum semringah di dalamnya, dipeluk oleh kedua orang tuanya—yang juga sedang menampilkan senyum lebar. Ekspresi Raihana berubah kecut sesaat menatap wajah Tante Lydia dalam foto tersebut. Wanita gila itu ... Raihana tidak pernah suka padanya. Tante Lydia adalah sosok ibu yang jahat di mata Raihana. Raihana benci bagaimana wanita gila itu memperlakukan Dimas dengan semena-mena. Begitupun, Raihana tidak mengerti, mengapa Dimas bisa begitu menyayanginya.

SIGNAL: 86Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang