BAB 04 GUGUP

12K 3K 173
                                    

Efek karena kelelahan atau memang aku sedang dalam kondisi lemah. Sejak semalam aku masih didera rasa pusing, bahkan pagi ini saat ibu membangunkanku untuk shalat subuh, pening masih mendera kepalaku. Kuputuskan untuk beranjak tidur lagi setelah menunaikan kewajibanku, hanya saja Romeo, adikku yang berusia 17 tahun sudah menggangguku lagi.

"Mbak, wong meh dilamar kok malah bobok terus to?"

Celetukan Romeo membuatku menutup wajahku dengan bantal.

"Meong, kamu bisa diam gak?"
Tapi yang terdengar kini tawa cekikikan adikku itu.

"Meong... berisik ih."

Aku membuka bantalku dan kini mengerjap ke arah Romeo. Aku memang senang memanggilnya Meong, pelesetan dari nama panggilannya yang Meo itu, kayak makanan kucing kan?

"Calon suaminya mbak iki loh, wes ganteng, sugeh, ckcckkckck Meo juga mau dijodohin ah. Otewe bilang ibu dulu."

Sebelum aku sempat menjawab, Meo sudah berlari keluar dari kamar. Duh kepalaku kembali berdenyut. Saat aku merebahkan diri lagi dan menutup mata, ketukan di pintu yang aku yakin tidak ditutup lagi oleh Meo membuat aku malas membuka mata.

"Meoooooong. Mbak pusing ini."

Aku berteriak dengan mata tertutup, malas untuk meladeni adik jailku itu. Tapi biasanya Meo langsung berteriak saat aku memanggilnya dengan menyebutkan panjang namanya itu. Hanya saja dia tidak menjawab, tapi aku bisa mendengar langkah kaki mendekat. Aku sudah was-was saja. Meo itu suka jahil, kadang aku bisa dijebak olehnya. Pernah lagi tidur gini aku terkena siraman air dingin, gara-gara aku gak mau bangun buat ngasih dia uang jajan. Suka kelewatan emang satu anak itu. Aku sudah menahan nafas, tapi tidak ada suara terdengar lagi. Saat aku membuka mata, aku benar-benar hampir berteriak. Benar-benar terkejut saat satu sosok berdiri di pinggir kasurku.

Pak Atma.

"Ya Allah. Pak.."

Aku langsung beranjak duduk, hanya saja aku sempat terhuyung karena duduk dengan tiba-tiba.

"Awwwhh."

Kusentuh pelipisku yang berdenyut. Pusing ini menyiksaku.

"Aku antar ke dokter."

Ucapannya yang tegas itu membuat aku kini menatapnya. Dia masih tetap berdiri di tempatnya. Pagi ini, Pak Atma tampak kasual. Dengan sweater warna merah marun membebat tubuh tegapnya dan celana kargo warna cream. Rambutnya dibiarkan acak-acakan, tidak seperti biasanya yang selalu rapi. Kalau seperti ini dia persis dengan Mas Serkan.

"Bapak gimana bisa masuk kamar saya?"

Tentu saja aku langsung menarik selimut sampai ke dada. Marah karena Pak Atma seenaknya saja masuk ke dalam rumahku.

"Ibu kamu yang menyuruhku."

Jawaban datar itu membuat aku menggembungkan pipi. Ibu ini, kok bisa ngasih Pak Atma masuk ke dalam kamarku. Aku kan belum dilamar, eh maksudnya Pak Atma itu belum menjadi...

"Ganti baju. Aku tunggu di luar."

Setelah memerintahku, dia langsung berbalik dan melangkah ke luar dari kamar. Ya Allah, kenapa aku jadi seperti ini sih?

****** 

"Bapak kenapa sepagi ini sampai sini?"

Akhirnya aku masuk ke dalam mobilnya, karena dipaksa oleh ibu, beliau bilang 'nduk, kamu harus periksa loh. Nanti malam kalau pas acara kamu pingsan malah repot. Udah sana, nak Atma udah baik banget mau nganterin kamu.'

Tuh, mana bisa aku melawan coba?

"Aku nginep sini."

"Hah?"

I LOVE YOU , MR. ICEOnde as histórias ganham vida. Descobre agora