Part 1

849 63 18
                                    


Lima belas menit menjelang jam istirahat, jari Yustin masih terlihat asyik menulis angka-angka di white board. Decakan dan lenguhan memenuhi hampir seisi kelas. Matahari sudah sepenggalah. Siraman cahaya yang menerobos masuk melalui jendela kaca di sisi ruangan membuat beberapa siswa perempuan mengayunkan telapak tangan di udara. Beberapa dari mereka menggunakan buku agar terlihat seperti gerah sungguhan dalam ruangan yang bersuhu 18 derajat celcius.

Wajah bosan muncul saat sebagian mereka mengembungkan pipi seperti ikan koi. Jemari pun bergerak malas mencatat rumus yang ditulis dengan huruf ukuran jumbo yang sebenarnya agar lebih mudah diingat, tapi mereka malah berlatih menggambar wajah guru yang berdiri yang sedang menghadap ke white board. Meski tidak terlalu mirip, biasanya gambar yang dianggap paling lucu akan berputar ke seluruh penjuru kelas.

Sebenarnya Yustin jauh dari kata buruk rupa tapi sepertinya semua murid sudah terkena penyakit mata. Kulitnya yang putih membungkus tubuhnya yang padat berisi. Wajahnya selalu bersinar meski riasan yang menyapu wajahnya cukup sederhana. Rambut ikalnya selalu tersisir rapi lengkap dengan cepol mirip yang pernah digunakan mama Gia saat mengikuti acara resmi. Cuma benda yang menunjukkan bahwa Yustin bukan termasuk orang yang mengerti mode.

Usianya sudah mendekati 30 tahun, tapi tak ada garis halus yang menunjukkan bekas senyuman di wajahnya. Matanya yang bulat dan tajam selalu berhasil membungkam mulut siswanya yang ingin berceloteh. Suaranya yang berat dan melengking selalu sukses membungkam muridnya yang berulah.

"Sstt, Gia! Gia! Sini!" Suara Reno yang duduk di deretan bangku sebelah kanan, dua meja di belakangnya memekik.

"Bentar!" ucap Gia sambil melirik wanita yang sedang berdiri di depan kelas. Jemarinya menggoreskan sesuatu dalam gumpalan kertas di tangannya.

"Cepetan!" Reno kembali memekik.

"Edun tenan." Disa yang duduk di samping Gia ikut berkomentar sambil menahan tawa.

Gia kembali melirik ke depan kelas sebelum akhirnya berhasil melempar kertas ke arah Reno. Tawa Reno hampir pecah setelah membuka gulungan kertas di tangannya. Tangan Hamid membungkam mulut Reno bertepatan dengan Yustin membalikkan badannya.

"Kalian ngapain?" Tatapan tajam Yustin lurus ke arah Reno yang duduk bersisian dengan Hamid.

Setelah sadar seisi kelas sedang menatapnya sambil menahan tawa, Hamid segera menarik tangan dari sisi meja Gia. Sudah seperti hukum tidak tertulis kepalan kertas selalu melayang di udara, mendarat di meja siapa saja yang menjadi sasaran. Sebagai timbal balik, siapa pun yang menerima lemparan kertas harus membuat balasan dan dilempar kembali pada pelempar sebelumnya atau dilempar pada murid lain.

Tawa yang tertahan menjadi selingan keisengan mereka, seolah menjadi pengganjal kantuk. Ada saja tambahan gambar yang mereka bubuhkan di atas kertas putih yang berubah menjadi kumal setiap mendekati jam istirahat. Sama kumalnya dengan wajah murid-murid yang keluar kelas selesai mengikuti pelajaran Matematika, kecuali Gia dan Dean. Dua murid ini memang istimewa, tak ada perubahan di wajah keduanya meski setelah menghadapi materi yang paling sulit sekalipun.

Seperti terdapat tombol otomatis, aksi ini akan berhenti begitu Yustin membalikkan badan. Tatapan mata Yustin yang menyapu ruangan mampu membuat kelas menjadi beku. Bahkan tatapan itu seolah mempunyai kekuatan untuk mengikat agar anggota badan yang lain untuk tidak bergerak. Setiap kepala serempak menunduk, entah hanya pura-pura mencatat penjelasan atau melanjutkan gambar wajah Yustin.

"Apa yang kalian ributkan?" Suara Yustin kembali menggelegar ke seluruh penjuru kelas.

"Nggak ada Bu, Reno mengambi buku saya." Hamid hanya bicara sekenanya untuk meloloskan diri dari amukan Yustin. Dia bahkan tak peduli saat mata Reno hampir keluar saat mendengar jawabannya.

"Reno, sini kamu! Kerjakan soal nomor tiga."

The Zero Point (Completed)Where stories live. Discover now