Mereka yang sudah mengawasi membiarkan para pemuda itu melakukan rencana mereka. Tapi begitu pagar kawat selesai dipasang, aparat polisi yang sudah bersiap langsung menyergap mereka, membuat tiga pemuda itu langsung menyerah dengan sorot takut. Mereka memohon minta dilepaskan dengan alasan hanya mengikuti permintaan Ellias karena Ellias mengancam mereka.

Sementara di titik tempat Ellias bersiap menyergap Ellen, sudah menunggu Dennis, Xavier, dan lainnya. Posisi mereka hanya berjarak beberapa meter namun terhalang kerimbunan pohon dan pekatnya malam. Dengan senyap, mereka mengawasi bagaimana Ellias berhasil membuat mobil Ellen berhenti.

"Shit! Dasar bodoh!" Tiba-tiba Dennis mengumpat melihat Ellen keluar dari mobil, membuat Xavier menoleh menatapnya dengan sorot memperingatkan agar Dennis diam. "Harusnya tabrak saja!" Dennis menggeram kesal, mengabaikan tatapan Xavier.

"Ellias." Terdengar nada pelan Ellen yang penuh rasa terkejut.

Jemari Dennis mengepal kuat. Dia sudah berniat menghampiri mereka namun seolah mengerti keinginan Dennis, Xavier membentangkan tangan di depan Dennis.

"Tadi aku agak kecewa karena kau tidak langsung mengenaliku."

Dennis semakin tidak sabar saat melihat Ellen berusaha melarikan diri tapi malah terjatuh. Apa dia tengah syuting film action picisan? Kenapa pakai adegan konyol segala?

"Sikapmu sungguh mengecewakan, Ellen. Kupikir aku bisa memercayaimu. Tapi kau mengkhianatiku dan memilih bersama mantan napi itu."

Sejenak kening Dennis berkerut bingung mendengar nada cemburu dalam suara Ellias. Tapi dia tidak memikirkan itu lebih jauh saat merasakan tangan Xavier tak lagi menghalanginya. Seketika dia melompat keluar dari persembunyian bersamaan dengan aba-aba pelan Xavier.

"Sekarang!"

Hanya dengan beberapa langkah panjang, Dennis sudah berhasil mencapai Ellen yang sudah semakin dekat dengan mobilnya. Dia langsung mendekap erat tubuh Ellen. Namun di antara gelapnya malam dan posisinya yang tengah terancam membuat perbuatan Dennis semakin menakutinya. Refleks dia berteriak keras seraya meronta berusaha melepaskan diri.

"Argh!"

Dennis mempererat pelukannya seraya sedikit mengguncang tubuh Ellen. "Ellen, lihat baik-baik. Ini aku!"

Suara familiar Dennis membuat Ellen berhenti meronta. Dia langsung mendongak dengan wajah basahnya yang penuh air mata.

"Dennis?"

"Iya, ini aku."

Refleks Ellen langsung memeluk lelaki itu dengan tangis pecah. Rasa takutnya tumpah dalam bentuk bulir air mata.

"Aku takut sekali."

"Aku malah ingin mengumpatimu habis-habisan karena bertindak sangat bodoh dan konyol," geram Dennis.

Ellen tak membalas ucapan Dennis, hanya terus menenggelamkan wajah di dada Dennis. Dennis menahan kepala wanita itu tetap menempel di dadanya seraya menanamkan kecupan menenangkan di puncak kepala Ellen. Tanpa Ellen sadari, tatapan Dennis dan Ellias saling terpaku dengan tajam. Dan seketika, Dennis sadar memang ada perasaan terlarang di hati Ellias untuk Ellen. Seperti yang sudah Ellen katakan.

Bibir Ellias menipis dengan kemarahan yang tidak bisa tergambar lagi. Jemarinya yang memegang gagang pisau semakin kuat mencengkeram.

Sungguh, rasanya dia ingin langsung melompat menghabisi kedua orang itu. Tapi jarak mereka terlalu jauh untuknya bisa langsung menikamkan pisau tanpa Dennis dan Ellen sempat menghindar. Lagipula dia menyadari Dennis tidak sendirian. Dia bersama banyak orang yang kini mengepungnya dari segala arah. Lalu mendadak Ellias tertawa keras, membuat Ellen menghentikan tangisnya dan berbalik menatap sang adik.

Beberapa detik tertawa dengan perasaan yang campur aduk, akhirnya Ellias berhenti dengan tatapan yang terpaku ke arah Ellen. Lalu jejak senyum di bibirnya menghilang digantikan kemarahan tertahan dan sorot kecewa dalam matanya.

"Aku sungguh kecewa. Aku mencintaimu dengan tulus tapi ini balasanmu?"

DEG.

Mendadak Dennis seolah melihat dirinya sendiri malam itu. Saat dia berteriak penuh amarah pada Aira.

"Tapi apa balasanmu? Aku sama sekali tidak menuntutmu melayaniku dan malah memberi kehormatan agar kau menikah denganku. Namun kau malah bertingkah seolah aku menganiaya dirimu."

Dennis tersenyum penuh ironi dengan tatapan yang masih terpaku pada Ellias. "Lucu sekali. Dulu aku di posisinya. Sekarang aku dipaksa berada di posisi bocah tengik itu."

"Yang kau panggil bocah sekarang sudah menjadi ayah dari balita cantik," Xavier yang tiba-tiba sudah di samping Dennis berbisik dengan nada mengejek.

Ellen mengabaikan kedua lelaki itu dan hanya fokus pada Ellias. Sorot matanya juga penuh rasa kecewa dan luka yang dalam.

"Aku sanggup kehilangan semuanya asal kau menjadi milikku, Ellen." Kali ini suara Ellias penuh nada memohon. Bahkan matanya berkaca-kaca saat menatap Ellen.

Sebelum Ellen sempat mengatakan apapun, Dennis lebih dulu berseru. "El, cinta semacam itu hanya akan melukai dirimu sendiri. Percayalah, aku sudah mengalaminya."

"Aku tidak butuh nasihatmu!" teriak Ellias. "Kembalikan Ellen sekarang!"

"Dia bukan barang. Dia berhak memilih hendak bersama siapa."

Ucapan Dennis membuat Ellen refleks mundur semakin menempel ke dada Dennis. Dia bahkan menarik lengan Dennis melingkari perutnya.

Ellias yang melihat itu tampak kian terluka. Satu tetes air mata jatuh membasahi pipinya. "Baiklah jika itu pilihanmu." Suaranya berubah serak. "Selamat tinggal, Ellen."

Lalu Ellias mengarahkan pisau ke perutnya sendiri. Namun perbuatannya sudah bisa ditebak. Dengan mudah salah satu anak buah Xavier yang sudah berada cukup dekat dengan Ellias menjatuhkan pisaunya lalu menelikung lengan Ellias. Sebuah aksi penyelamatan yang terkesan mudah. Tapi mendadak berubah kacau saat seorang polisi melepaskan tembakan—tiga kali tembakan—ke arah Ellias.

Seketika seorang anak buah Xavier juga melepaskan tembakan mengarah ke tangan dan kaki polisi itu. Hal itu membuat anak buah Xavier yang lain langsung menodongkan senjata kepada seluruh aparat polisi dan begitu pula sebaliknya. Semua menjadi kebingungan dan saling curiga.

Di antara semua kekacauan itu, tampak Ellen satu-satunya yang tidak terpengaruh. Dia ternganga dengan tangis yang kembali pecah melihat tubuh Ellias lunglai seketika. Kenangan kebersamaan mereka sedari kecil memenuhi benak Ellen.

Sejenak, dua bersaudarayang tumbuh bersama itu saling berpandangan lama. Hingga akhirnya Dennismenyeret tubuh Ellen kembali ke dalam mobil sementara mata Ellias yang menatapEllen nanar perlahan menutup.

------------------------

~~>> Aya Emily <<~~

His Eyes (TAMAT)Where stories live. Discover now