"Nikmatilah selagi bisa, anggap saja ini hadiah kemenangan kita."

Aiden berusaha menutup telinga dan matanya, ia tidak kuat menahan lagi. Jika bisa, dia ingin mengakhiri hidup tapi ketakutan akan kematian jauh lebih mengerikan baginya.

"Aku tidak ingin mati.... Aku tidak ingin mati.... Aku tidak ingin mati.... Aku terlalu takut." Katanya seraya memeluk buku itu.

Berdasarkan keputusan dari atasan, untuk merayakan kemenangan, mereka para pejuang berhak mengambil salah satu penduduk dan terserah mau diapakan. Tapi hanya ada satu hukum yang berlaku, Tidak boleh menyiksa ataupun membunuh penduduk yang berusia dibawah 17 tahun. Jika salah satu personil ataupun prajurit yang ketahuan maka kedudukan negaranya akan terancam dan mungkin akan sangat memengaruhi perang sebagai negara yang menghargai hak asasi anak dibawah umur.

Tiba-tiba saja,

"Baiklah, yang mana jatahku?" Seorang pria berjalan sekaligus menunjukkan tawa bengisnya.

"Sel 110, Seorang remaja berumur 13 tahun yang bernama Aiden. Apakah kau bagian dari keluarganya?"

"Aku Tidak tahu, bukankah kita harus saling menjaga identitas diri sendiri? Aku memberontak bukan karna aku ingin berada di pihak kalian."

"Baiklah, terserah kau saja."

Dengan segera Aiden menjauh dari pintu sel, Suara tembakan bergema lagi. Lebih dekat dari sebelumnya. Dia baru saja sadar perempuan itu telah mati dan kini adalah gilirannya.

"Jadi ini sel 110? Aku tidak melihat siapapun didalam."

"Ruangannya memang sangat gelap, kau tidak akan menemukannya hanya melihat dari celah pintu."

Dalam beberapa detik, kesadarannya menjadi kabur. Namun matanya tetap terbuka, dan anggota badannya tidak berhenti bergetar ketakutan. Tubuhnya sudah melewati batas. Hatinya sangat bising dan rasanya gendang telinganya akan meletus.

Pintu itu terbuka lebar, salah satu penjaga mengarahkan senter tepat di wajahnya. Dia hanyalah perempuan cantik yang tidak bersalah. Tidak pernah mengharapkan sebuah mimpi besar, yang dipikirkannya hanyalah "Apa aku akan selamat dari sini?"

"K-kau..." Suaranya terdengar putus asa, seluruh perasaan takut,putus asa, kekecewaan mengalir begitu saja.

Pria itu tertawa sekali lagi, lebih liar dan bengis dari sebelumnya. Mulutnya dipenuhi air liur, matanya tidak lagi menunjukkan sosok manusia.

Sebelum hal yang tidak diharapkan terjadi, pria itu melihat kembali sesosok pemuda yang membawanya.

"Hei kau, siapa namamu?"

"Caris."

"Apa kau baru disini?"

"Ya benar sekali, mereka menempatkanku dari distrik B."

"Hmm... Baiklah aku ingin bertanya sesuatu padamu." Dia bertanya sekali lagi dengan suara mengancam.

"Apa kau sudah menyentuh salah satu tawanan disini?" Mata yang menatapnya seolah-olah dia adalah satu-satunya yang bisa diandalkan sekarang, seakan hendak keluar. Mulut pemuda itu terbuka dengan suara yang paling jujurnya.

"Tidak, Tuan. Aku merasa kasihan dengan mereka, bukannya tidak ingin tapi aku hanya merasa ini tidak adil bagi mereka."

Pria itu tertawa sekeras-kerasnya bahkan dia tidak menyangka ada anak baik di tempat sejahat ini.

"Kau sungguh membuatku terkejut. Sekarang, aku ingin kau bawa dia ke rumahku." Sesegera mungkin dia masuk ke sel dan bergerak ke arah Aiden. Merasa sebagai ancaman, dia langsung menyingkir.

"Menjauhlah, aku tidak akan memaafkanmu! Kau membunuh Ayah dan Ibu!"

"Tenang saja, aku hanya ingin meminjam barangmu sebentar saja." Tatapan satu-satunya keluarga yang ia kenal itu memukul hatinya. Pikirannya menjadi gempar. Sebuah tangan merenggut satu-satunya barang miliknya. "Aahh.... Tidak...." dia tetap memberontak namun sebuah tamparan keras mengenai wajahnya.

"Sudah kukatakan, aku hanya meminjamnya."

"Ah... Arghhh... Ahhh..." jeritan terus keluar dari tenggorokannya mengingat perasaannya, yang ia tidak pahami dengan baik.

Meskipun dia bermaksud menjerit sekuat tenaga, suaranya terlalu samar, tidak berdampak lagi di neraka ini. "Ahh... Tidak.... Kumohon jangan ambil......" Air mata menetes dari matanya, hidungnya dipenuhi ingus.

Itulah sentimen yang paling jelas. naluri bertahan hidup dan trauma berkepanjangan."

"Diamlah anak tak berguna, inilah akibat didikan ayahmu. Sepertinya dia terlalu memanjakanmu. Mulai sekarang biarkan aku mengenalkanmu ke dunia yang sesungguhnya. Kau harus sadar bahwa menjadi wanita artinya ia menjadi budak." Sebuah bayangan dari pantulan lilin terus memercikkan kekerasan dan darah. Bahkan pemuda itu tidak sanggup memba
antunya walau sebenarnya ia sangat ingin.

--Maafkan aku, Maafkan aku, Maafkan aku!

Pemuda itu terus menyumpahi, tangan kirinya menahan senapan Lee Enfield miliknya. Dia siap menembak Pria itu jika hampir membunuh gadis yang masih satu keturunan darah.

Dia memindahkan lehernya untuk melihat punggungnya. Berkat cahaya senter, dia bisa melihat noda hitam menyebar dibalik baju putihnya. Tidak mungkin itu keringat. Dia kemudian memastikan bahwa dia telah terluka begitu parah saat mendengar suara sepatu bot perlahan mendekatinya dan menyayat satu goresan ke baju bagian kirinya.

Tanpa balasan darinya, di sel itu hanya campuran antara jeritan dan tangisan.

"Bawakan dia ke rumahku, kau tidak akan menodainya sebelum aku kan?"

Tanpa balasan, pria itu berbalik dan keluar begitu saja."

"Maafkan aku." Jawab pria itu menatap Aiden.

--

Chapter 1

Butterfly EffectsWo Geschichten leben. Entdecke jetzt