Bubur Romansa

173 4 0
                                    

"Kak, sarapan bareng, yuk. Ada bubur enak di pojokan sana."

Wita, mahasiswi Universitas Titiran Jaya, kelihatan kayak akrab banget sama supir ojek yang mengantarnya pagi itu. Nggak salah, sih. Soalnya Tio—supir ojol yang cool itu—memang tetangga Wita. Mereka sudah mengenal cukup lama sejak Tio pindah ke kampung di mana Wita tinggal—Desa Seruni.

Ajakan Wita dipenuhi Tio. Keduanya pun makan bubur di pinggir jalan. Katanya sih buburnya memang legendaris. Tio juga tak merasa keberatan berhenti sejenak di sana, ia tampak semringah diajak ke tempat itu. Mungkin emang hidangannya se-legend yang orang bilang.

"Kak Tio," kata Wita sambil melahap buburnya. "Kenapa sih Kak Tio nggak jadi model aja? Kakak tuh ganteng dan keren, lho. Aku yakin kalo ngelamar jadi model prosesnya nggak akan terlalu ribet."

"Saya nggak bisa akting," jawab Tio santai. Ia sambil senyum-senyum.

"Ih, itu mah bisa belajar! Sayang banget tau, padahal ketampanan Kakak bisa jadi sumber duit."

Tio mengaduk-aduk buburnya seraya tersenyum lebar. Kebetulan dia memang tim BuburDiaduk. "Saya nggak suka aja jadi pusat perhatian. Lagipula, kebahagiaan kan nggak bisa diukur dari uang saja. Buat apa banyak duit kalo hatinya sengsara?"

"I-iya, sih ... " Wita jadi canggung. "Tapi, emangnya Kakak mau ngojek terus sampe akhir hayat?"

"Kalo saya bahagia, kenapa enggak? Hehe. Bahagia kan kita yang nyiptain sendiri, bukan disetir sama standar orang lain."

Wita jadi mikir. Walaupun dia tim BuburTidakDiaduk, tapi pada akhirnya dia mengaduk-aduk buburnya juga. "Aku nggak pernah kepikiran soal itu sebelumnya. Betul juga, sih. Tapi apa yang bikin aku bahagia, ya?"

"Mungkin dengan sesederhana melarang saya jadi model?"

"Lah, kok? Kenapa, gitu? Aku kan pengennya Kakak jadi model."

"Karena saya nggak perlu jadi pusat perhatian orang banyak, cukup jadi pusat perhatian kamu."

Seketika Wita menjatuhkan sendoknya, kerupuknya, cakwenya, dan hatinya. Dia terkaget-kaget mendengar jawaban si tukang ojek ganteng. Pipinya merah merona, sementara Tio tertawa terbahak-bahak. Wita langsung nggak bisa ngomong. Syok.

"Saya cuma bercanda. Jangan dianggap serius."

"K-kalo aku udah nganggep serius, gimana?" tanya Wita canggung.

Tio menatapi Wita dengan ekspresinya yang cerah. "Sebagaimana kata supir ojol yang lain: risiko ditanggung penumpang."

Hari itu, Wita nggak bisa konsentrasi belajar di kelasnya. Gimana mau belajar kalo deg-degan terus? Hehe.

SELESAI

Jangan lupa follow/like fanpage-nya di: facebook.com/kamadesa

Kamadesa (Kumcer)Where stories live. Discover now