Meet You |30

4.1K 273 2
                                    

"Re." panggil Dewa memecahkan keheningan di mobil.

Rere menoleh dari kaca jendela mobil. Menatap Dewa yang gelisah meremas roda kemudi. "Kenapa?" tanya Rere.

Jemari Dewa mengetuk roda setir dengan konstan. Tampak menimbang dengan apa yang ingin dikatakan. "Kalau Aku minta Kamu untuk tetap disisiku apapun hasil tes DNA ini-" alih-alih menyelesaikan kalimatnya, Dewa membuang nafas kasar dan menyalakan lampu sign menepikan mobilnya.

Kepalanya menelungkup di atas kemudi. Tampak urat di pelipisnya berkedut pelan. Nafasnya sedikit memburu dengan tanganya yang mencengkram kemudi dengan erat.

"Aku akan berusaha menerima apapun hasil tes itu." ucap Rere pelan.

Ia mungkin menjadi wanita bodoh yang mau-maunya menerima anak Dewa dengan wanita lain. Memaafkan Dewa dengan mudah dan kembali menerima Dewa sebagai suaminya. Tapi Rere tak bisa kembali menutup mata bahwa Dewa telah bersikap baik, sangat baik selama mereka berhubungan. Menomor satukan kenyamanan Rere dan dengan sabar menunggu kesiapan Rere tentang banyak hal yang belum siap Rere bagi untuk Dewa.

Dewa menatap Rere dengan binar yang tak bisa di tutupi. Dia terkejut mendengar penuturan Rere. Kalimat Rere seakan menjadi oase di tengah padang pasir yang menelanya.

"Aku tidak janji menerima semuanya dan tetap berada di sisi Kamu tanpa berfikir lagi. Mungkin Aku akan kembali meminta waktu sebelum Aku menerima Kamu lagi." Rere mendongak menatap Dewa yang masih meletakan kepalanya di setir. "Tapi, Aku akan berusaha melapangkan hati untuk menerima semuanya."

Tak bisa membendung buncahan di dadanya. Dewa menarik Rere kedalam pelukan. Menelan tubuh Rere yang sedikit mengurus. Menghirup aroma buah yang menguar dari rambut halus Rere.

Lama mereka berpelukan. Menikmati rasa rindu yang melebur. Membiarkan rasa sakit itu menemukan penawarnya. Dewa tak hentinya menggumamkan kata maaf di setiap kecupan yang Ia daratkan di puncak kepala dan kening Rere.

*****

Dengan lahap Dewa menelan setiap makanan yang ada di depanya. Ia lupa kapan terakhir Ia bisa menikmati makanan yang Ia telan. Malam ini Rere kembali memasak makanan sehat penuh sayur dan daging. Bahkan Dewa dengan rakusnya menghabiskan semangkuk pudding mangga yang di buat Rere. Perutnya seakan mati rasa dengan kata kenyang.

"Kamu mau nambah lagi?" tanya Rere setelah Dewa meletakan mangkuk di atas meja yang ada di samping sofa bed di depan tv.

Menggeleng pelan. Dewa baru sadar Ia telah menghabiskan banyak makanan. Usai makan malam mereka beralih ke depan televisi dan menikmati semangkuk pudding mangga sendirian sementara Rere baru sepotong.

"Aku... sedang perbaikan gizi. Jadi makan banyak, Re." ucap Dewa dengan malu-malu. Rere menggigit bibir bawahnya untuk menelan tawa.

Wajah Dewa benar-benar menggemaskan ketika merasa malu. Dewa jelas memiliki boyfriend material yang menjadikan Dia don juan. Pantas saja Ginar masih tak rela melepasnya.

"Iya. Kamu memang perlu memperbaiki gizi." Balas Rere mengiyakan.

"Besok nge-gym yuk." ajak Dewa.

Selama pernikahan mereka, Rere tak pernah ikut Dewa nge-gym. Olahraga yang mereka lakukan bersama hanya joging di car free day. Selebihnya Rere tak pernah berolahraga.

"Jam berapa?"

"Selepas maghrib?"

Rere mengangguk mengiyakan. Sepertinya ini langkah baik untuk membangun chemistry mereka berdua. Dewa menatap wajah Rere yang sedang menatap layar televisi yang menampilkan acara komedian.

"Re." bisik Dewa. Rere menoleh menatap Dewa. "Malam ini, tidur di kamar ya? Kamar Kita."

"Hanya tidur." tegas Rere dengan suara pelan. Dewa mengangguk semangat.

*****

Hantaman keras Dewa rasakan saat membuka sepasang mata dan melihat Rere yang masih terlelap di sofa. Ingatanya membawa Dewa pada saat Ia bangun dan menemukan lebam di wajah Rere akibat pukulanya. Ia merasa menjadi laki-laki paling pengecut dan brengsek karna memukul seorang perempuan.

Semalam Rere kembali membuka selimut dan beralih ke sofa. Ia meminta maaf dan mengatakan bahwa Ia belum bisa tidur di satu kasur yang sama dengan Dewa. Meski sudah membujuk Rere untuk tidur di ranjang dan Ia yang di sofa, Rere tetap menolaknya.

"Aku janji akan memperbaiki diri agar pantas bersanding dengan Kamu, Sayang." bisik Dewa yang masih duduk di atas ranjang. Ia tak ingin mengganggu tidur Rere yang terlihat nyenyak.

Perlahan Dewa bangkit dan langsung keluar dari kamar dengan perlahan. Ia mencuci muka dan menggosok gigi di kamar mandi tamu. Membongkar kulkas untuk mengambil beberapa apel segar.

Ia ingin membuatkan sarapan untuk Rere. Sadar akan kemampuan masaknya yang menyentuh angka nol, Dewa memilih membuat jus dan memasukan roti tawar ke dalam toaser. Hal yang lumayan Ia kuasai.

"Kenapa tidak membangunkan Aku?" tanya Rere saat berhasil mendudukan diri di salah satu bar stool.

Dewa menoleh dan tersenyum. Bukanya menjawab pertanyaan Rere, Dewa membawa dua gelas jus apel dan kembali berbalik untuk meletakan roti bakar isi nuttela kesukaan Rere.

"Kamu kelihatan nyenyak. Aku nggak tega mau bangunin." Dewa bergabung di samping Rere. Mendorong gelas jus mendekati Rere. "Semoga tidak mengecewakan." bisik Dewa. Ia hampir tersedak dengan kalimatnya.

Mengecewakan. Kata itu bahkan sudah Ia lakukan pada Rere tanpa ampun.

"Enak." puji Rere setelah meneguk isi gelasnya. Dewa tersenyum lebar mendengarnya.

Rere tak pernah mengeluh sepanjang usia pernikahan mereka. Dan mendapati Rere masih memuji setelah rasa sakit yang Ia torehkan baik sengaja atau tidak membuat rasa syukur Dewa semakin melambung.

Ia dangat mensyukuri takdir yang mempertemukan mereka.

*****

Setelah lima belas menit berada di atas treadmil, Rere menghentikan laju kakinya. Ia meraih handuk kecil dan mengelap keringatnya. Lama tak berolahraga membuatnya mudah lemas. Ia bahkan baru lima belas menit dan sudah kelelahan.

"Payah." ejek Ayahnya.

Ah ya. Ayahnya memilih ikut Dewa dan Rere ke gym saat berpapasan di lobby kantor. Dan dengan keras kepala mengajak ke tempat gym yang biasa di datanginya.

Rere mendengus pelan mendengar ejekan Ayahnya. Meski Ia tau kalau Ia benar-benar payah dalam olahraga. Tetap saja sebal saat di ledek oleh Ayahnya.

"Mau coba yang lain?" tawar Dewa yang juga menghentikan aktivitasnya.

Rere mengedarkan pandangan untuk memindai alat yang bisa Ia gunakan tanpa harus menguras banyak tenanganya. Nihil. Memangnya ada alat olahraga yang tidak menguras tenaga? Batin Rere mengejek pemikiranya.

"Sepeda statis sepertinya cocok buat Kamu." saran Dewa. Laki-laki itu mengendikan kepala ke arah sepesa statis yang menganggur.

Setelah menimbang beberapa detik Rere memilih mengiyakan. Ia tidak terlalu payah untuk bersepeda. Dewa memastikan Rere nyaman sebelum ikut menaiki sepeda statis yang ada di sampingnya.

"Kita beli sepeda asli yuk? Sepertinya asyik minggu pagi kita bersepeda ke taman komplek." usul Dewa.

Rere tersenyum dan mengangguk. Ia juga berfikir seperti itu. Bersepeda bersama, mungkin itu bisa menjadi kegiatan untuk kembali mendekatkan mereka. Membakar kedinginan pada hubungan mereka.

*****

Meet You (TAMAT) Where stories live. Discover now