Sosok di Sudut Lemari

780 74 9
                                    

Butiran peluh tak hentinya turun dari kening Rosidah, sesekali ia menyekanya dengan tangan kosong. Semilir angin malam tak urung membuat buliran keringat itu surut di tubuhnya. Perjalanan terlalu panjang dan melelahkan.

"Lanjut, Neng?" tanya seseorang yang ditugaskan untuk menjemputnya di pertigaan. Mang Ali.

"Iya, Pak. Sebentar, ya. Saya bayar minuman dulu." Mang Ali mengangguk, duduk setia menunggu gadis ramah dengan hijab yang sudah semrawutan.

"Berapa, Bu?"

"Tujuh ribu, Neng." Rosidah mengangguk dengan bibir membulat, tak lama tangannya merogoh saku tas dan memberikan selembar sepuluh ribu.

"Kembaliannya, Neng." Rosidah menolak halus seraya menyunggingkan senyum. Baginya, harga dua buah minuman botol di sini amat sangat murah dibandingkan dengan harga-harga minuman di tempat tinggalnya.

"Berarti sebentar lagi sampai ya, Pak?" Rosidah mengangkat ransel yang barusan dibiarkan duduk di atas dudukan berbahan kayu-kayu yang memanjang.

"Kalau pakai motor ya sebentar lagi, Neng." Rosidah mengangguk lagi, menatap sekeliling yang cahayanya begitu temaram.

Rumah-rumah di sana begitu jarang, tidak berderet dan berhimpitan seperti di tempat tinggalnya. Sehingga sepanjang jalan terkesan gelap, hanya sorot lampu rumah milik warga yang menyinari jalanan.

"Ayo, Neng." Rosidah menurut, ia bangkit dan mengekori Mang Ali, kemudian duduk di motor bebek bersuara bising tersebut. Sebelum pergi, Rosidah memalingkan pandangan, melihat kembali bangunan kecil yang akan menjadi saksi perjuangannya memanfaatkan ilmu yang ia punya.

"Astaghfirullah." Rosidah mengelus dada sambil memalingkan pandangan dengan cepat ke arah depan, baru saja ia melihat sosok hitam di dalam jendela sekolah.

Berkali-kali gadis itu membaca ayat suci dan berpikir positif. "Pasti karena kecapekan," gumamnya.

"Mang, kenapa sekolahnya cuma ada satu lampu saja?"

"Warga di sini serba kekurangan, Neng. Begitu pun guru-gurunya. Hal kecil seperti itu kurang dipikirkan oleh kami." Rosidah bergeming. Ia bertekad akan membeli bohlam untuk dipasang di depan sekolahan kalau sudah masuk kerja nanti.

Roda motor masih terus berjalan, sekarang mereka berdua memasuki kawasan dengan pepohonan lebat, samping kiri mau pun kanan. Bahkan, jalan beraspal yang dilewati mereka berubah menjadi bebatuan yang begitu licin.

"Subhanallah, jalannya, Mang." Rosidah meletakkan tangan di atas pundak Mang Ali, motor bergoyang-goyang karena jalanan amat sangat licin.

"Musim hujan, Neng."

"Aduh, astaghfirullah!" Rosidah mencengkeram baju yang melapisi bahu Mang Ali, hampir saja mereka tergelincir saat motor menuruni jalan.

Gadis yang menumpangi motor usang itu tak berhenti berdzikir, selama hidup dua puluh tiga tahun, baru kali ini ia menemukan jalan bak sungai panjang yang kekeringan. Di tambah tak ada satu pun rumah yang duduk di pinggir jalan, hanya pohon-pohon karet yang kokoh disertai sawah tanpa cahaya di sekelilingnya.

Suara binatang nokturnal saling bersahutan, membuat sekujur tubuh Rosidah meremang, ditambah semilir angin yang berembus dengan kencang.

Suasana begitu gelap, tak ada lampu yang berdiri di samping jalan, tak ada cahaya bulan mau pun bintang, hanya sorot lampu dari motor yang menderu sebagai petunjuk jalan.

Rosidah menelan saliva tatkala melihat jembatan dari bambu di depan sana, ia berdoa semoga tak harus melewatinya. Tapi, tak ada jalan lagi selain jalanan yang lurus dan mencekam tersebut.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Sep 25, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Teluh Nyai RatihWhere stories live. Discover now