9. Sarapan dari David

Start from the beginning
                                    

“Gue bareng Evelyn dan Kayonna aja, Vid.”

“Ya, udah, kita makan berempat aja kalau gitu.”

Itu lebih baik, batin Alanis lega. Dia tidak mungkin makan berdua dengan David sementara kedua sahabatnya memandangnya dengan benci. Dia tidak siap dibenci oleh kedua temannya.

Tapi kelegaan Alanis hanya sementara karena ketika mereka sudah duduk satu meja, David melayani Alanis makan seperti perhatian seorang kekasih. Cowok itu memesankan makanan dan minuman, dan membersihkan bibir Alanis dengan tisu meskipun tidak ada makanan yang menempel di sudut bibir gadis itu.

Perlakuan David kepada Alanis jelas tak luput dari perhatian Evelyn dan Kayonna yang terlihat muak. Alanis paham betul apa yang ada dalam hati dan pikiran sahabatnya. Sedikit lagi David berulah, bisa dipastikan kedua gadis itu akan pergi dengan marah.

Nyatanya, kedua gadis itu masih bertahan dengan kejengkelannya. Tanpa diduga, Adam-lah yang menghampiri Alanis dengan wajah datar namun tegas.

“Gue ada perlu, Al.”

Bukan hanya Alanis yang mendongak, ketiga orang yang ada di sekitarnya juga melakukan hal yang sama.

“Eh, Dam...”

“Lo nggak lihat Alanis lagi makan?” ucap David dengan kerutan heran di kening. David yakin sekali Adam berniat mengganggu mereka. Dia pernah mendengar bahwa Adam begitu perhatian terhadap Alanis. Tapi saat itu David tidak peduli karena dia tidak memiliki rasa apa pun pada Alanis. Berbeda dengan sekarang.

“Al?” panggil Adam tanpa memedulikan Adam.

“Iya nanti selesai makan, gue...”

“Sekarang, Al.”

David berdiri seketika. Dia menatap Adam di depannya. Dua cowok yang sama tinggi dan tampan kini berhadapan seperti rival. Suasana kantin yang sedang ramai, ikut tertarik melihat tontonan tak terduga itu.

“Gue nggak ada urusan sama lo,” kata Adam tenang.

“Gue juga nggak ada urusan sama lo,” David berucap tenang pula. “Tapi gue nggak suka lo maksa Alanis yang lagi makan.”

Merasa tidak nyaman karena dua cowok hampir bertengkar gara-gara dirinya, Alanis berdiri. “Dam, nanti gue telepon lo ya. Sekarang gue di sini dulu,” ucapnya berusaha kalem. Berhadapan dengan Adam tidak boleh kasar, itu prinsip Alanis. Dia memperlakukan seseorang sesuai karakternya. Melihat karakter Adam yang dingin dan misterius membuatnya tak berani bersikap kasar. Dalam pikirannya, Adam bisa marah besar saat disakiti atau dipermalukan. Sedangkan Evelyn dan Kayonna menonton mereka dengan penuh keheranan.

Adam tak berkata apa-apa lagi. Mata yang tak lepas memandang Alanis itu kini berpaling sambil berlalu dan menghilang dari hadapan mereka. Meninggalkan Alanis yang termangu dan tak sanggup lagi menghabiskan makanannya.

“Lain kali lo jangan mau dipaksa sama Adam.”

Alanis hanya mengangguk untuk meredakan kejengkelan David. Dia menyayangkan kenapa Adam tiba di tempat dan waktu yang tak seharusnya. Nggak bisakah cowok itu datang setelah aku selesai dengan David? Pertanyaan itu bergulir dalam pikirannya yang kini tak henti memikirkan Adam.

“Eh, Yon, nanti sore gue ada latihan basket lagi. Lo harus datang ya. Gue suka lihat lo main.” Suara David menyadarkan lamunan Alanis. Kini ketiga gadis itu melongo bingung melihat perubahan David yang demikian cepat.

“Iya, gue datang,” jawab Kayonna setelah berpikir beberapa detik. Tentu saja dia akan datang. Dia tidak mau kalah langkah dengan Alanis.

“Dan lo, Ev, gue udah baca komik dari lo. Keren, Ev. Gimana kalau besok kita hunting komik lain yang lebih keren?”

Evelyn yang sedang menelan bakso, hampir tersedak karena ajakan David. “I-Iya, besok gue free. Nggak ada shooting.”

Dalam keheningan yang kemudian tercipta, ketiga gadis itu berpikir keheranan bagaimana mungkin David memberikan perhatian pada tiga cewek sekaligus.

***

Bastian tidak banyak mengajak Alanis bicara sejak kejadian beberapa malam yang lalu. Butuh waktu sekitar dua minggu untuk meredakan kemarahannya. Alanis hafal betul dengan sikap Bastian. Dia tidak akan memaksa Bastian untuk bersikap seperti biasanya jika waktu belum menyembuhkan kekecewaannya.

Alanis ingat, malam itu ketika dia bertemu dengan Airin, sesampainya di rumah setelah diantar oleh Adam, Bastian tidak menegurnya sama sekali. Keesokan paginya Bastian masih dengan sikap yang sama. Hanya kata-kata perintah dan aturan yang diucapkan untuk Alanis. Alanis hanya mengangguk saja.

Sampai malam ini, Bastian masih enggan mengajaknya bicara. Alanis tidak sanggup lagi lebih lama berdiam diri padahal mereka tinggal satu rumah. Ketika Bastian sedang menonton televisi, Alanis duduk di sampingnya.

“Pa, Papa masih marah?” tanya Alanis lemah.

Bastian menoleh. “Tidak. Kenapa?”

“Papa diem terus.”

“Papa masih kecewa sama kamu.” Bastian menghela napas berat.

“Bagian mana yang bikin Papa kecewa? Aku cuma minta waktu untuk lebih lama sama Mama.”

“Papa cuma cemas kamu nggak akan mau kembali sama Papa dan lebih milih untuk ikut Mamamu.”

“Papa takut aku ninggalin Papa?” Alanis duduk lebih mendekat. Tangan Bastian terulur untuk merangkul putrinya. Kini posisi mereka duduk berpelukan. Alanis menyandarkan kepalanya di dada Bastian. “Papa pernah mikirin nggak, aku juga takut ditinggal Mama dulu, bahkan sekarang?”

Bastian tidak menjawab. Dia menyadari bahwa dirinya sangatlah egois. Dia tidak mau Alanis pergi darinya, tapi dia sendiri membiarkan Alanis ditinggal pergi oleh ibu kandungnya sendiri.

“Papa sangat menyayangi kamu, Al.”

“Aku juga sayang Papa.” Sebutir air mata jatuh membasahi wajah gadis itu. “Tapi aku juga sayang Mama. Nggak mudah ngelupain Mama dalam hidup aku, Pa. Dan itu nggak mungkin terjadi. Papa bisa bayangin gimana sedihnya aku saat ditinggal Mama dulu. Jadi aku nggak akan bikin Papa sedih dengan ninggalin Papa.”

“Maafkan Papa, Al. Papa memang egois. Tapi semua ini Papa lakukan supaya kamu tetep jadi milik Papa. Papa nggak punya siapa-siapa lagi.”

“Iya, Pa. Aku tahu. Aku nggak mungkin ninggalin Papa. Aku cuma minta kelonggaran waktu buat aku ketemu sama Mama. Gimana pun juga Mama itu ibu kandung aku, Pa. Aku juga butuh Mama.”

Lama Bastian berpikir tentang keinginan Alanis. Pikiran negatif hilir mudik memenuhi kepalanya. Kalau aku tidak mengizinkan Alanis bertemu dengan ibunya, Alanis bisa nekat.

Bastian mengusap rambut Alanis penuh kasih sayang. “Kamu boleh ketemu Mama kamu, Al. Sebulan sekali.”

Tubuh Alanis menegang. Tak menyangka Bastian akan mengucapkan kalimat itu. gadis itu mendongak tiba-tiba dengan air mata yang semakin turun deras. “Makasih, Pa... Aku nggak akan pernah ninggalin Papa.”

Mendengar kebahagiaan putrinya, Bastian tersenyum pedih. Dia akan melakukan apa pun demi Alanis. Karena hanya Alanis permata hidupnya.

***

The EleventhWhere stories live. Discover now