01:00

904 106 4
                                    

"OH, GOD!"

Kupukul kemudi sekencang mungkin. Marah dengan diriku sendiri karena kebodohan yang mengendap di otakku. Bagaimana bisa sudah melewati seperempat perjalanan baru ingat jika berkasku ketinggalan di meja kamar.

Kuputar kemudi dengan besar sudut nyaris mencapai 360 derajat. Setelah itu, menekan pedal gas sedalam mungkin agar kendaraan ini mampu membawaku ke apartemen dalam beberapa menit saja. Kulirik detik jam pada layar touchscreen di dashboard mobil. Ini gila, 45 menit lagi pertemuan itu berlangsung.

Sekali lagi kupukul kemudi dan menekan bel dengan kesal saat sebuah mobil di depanku berjalan sangat lelet dan menguasai jalanan seperti miliknya sendiri.

"Get the fuck out of here!"

Kutekan bel hingga suaranya sangat memekakkan telinga, meski mobil yang kutumpangi didesain kedap suara dari luar. Kuputar kemudi dan menyalipnya dari sisi kiri sambil menoleh ke arah pemilik mobil itu. Dia berteriak entah mengatakan apa, tampak jengkel dengan kelakuanku. Dan kubalas dengan acungan jari tengah ke depan wajahnya.

Setelah 20 menit berselang, segera kubuka pintu apartemenku dan berlari menuju kamar. Mataku menjelajahi penjuru ruangan ini mencari sebuah map berisikan lembaran berkas yang akan kugunakan untuk rapat dengan Vlad. Nakas di samping tempat tidur yang kukira sebagai tempat terakhir kuletakkan benda tersebut, ternyata salah besar. Nihil tak ada apa pun di sana.

Kugeledahi laci satu per satu dari laci nakas di dalam kamar hingga laci meja yang berada di ruang tengah. Sampai akhirnya, napas lega kuhembuskan keras ketika mendapati benda itu bertengger rapi di atas meja pantry. Aku bergegas meraihnya dan mencaci maki diriku sendiri.

"Damn it."

Kaki kugerakkan secepat mungkin menuju lift yang akan membawaku ke basemant apartemen. Setibanya di tempat tersebut, kembali aku berlari menuju mobil yang kuparkir tak jauh dari pintu lift. Pintu segera kubuka, selaras dengan mesin mobil yang langsung kunyalakan. Setelahnya, kutekan pedal gas hingga menghasilkan lengkingan gesekan antara ban dan jalan basemant.

Jalan raya tak begitu padat dan memberiku kelegaan karena mobil masih bisa kukendalikan dalam kecepatan antara 40-60 km/jam tanpa harus berhenti berulang kali. Kutekan tombol maps pada layar dashboard, mencari rute tercepat menuju Balashy. Sebuah jalur melewati P 58 mengarahkanku untuk mendapat potongan waktu sebanyak 9 menit dari jalur yang biasa kulewati.

Baiklah aku akan mengikuti petunjuk ini. Dan setelah 20 menit menempuh perjalanan, tiba-tiba dering panggilan masuk mengisi mobilku yang sunyi senyap.

Ding ... ding ....

Ding ... ding ....

Sekilas kulihat pada layar, nama Aron mucul melakukan panggilan terhadapku. Kutekan tombol up untuk mengangkatnya. Sejenak kuperbaiki letak earphone-ku. "Ya."

"Kau di mana?"

"Ilya."

"What? Bukankah kau bilang harus bertemu dengan mereka pukul 10 pagi?"

"Aku benci mengatakan jika baru saja memutar arah untuk mengambil berkas yang ketinggalan."

"What a fudge!"

"Ya, ada ungkapan yang lebih kasar lagi?" Sedikit kubanting kemudi ke arah kiri dan mengarahkannya ke tempat semula saat menyalip sebuah mobil di depanku."

"Tetaplah tenang, Emily. Jangan terburu-buru," pesannya di seberang yang mampu memberikan setitik ketenangan dalam hatiku, walaupun kaki tetap menekan pedal gas begitu dalam.

"Baik, aku—"

Kalimatku mematung saat melihat sebuah truk dari arah seberang berjalan sedikit melewati batas. Kuklakson berulang kali agar dia kembali pada jalurnya.

"Em ... Emily."

Mataku membulat melihat bagian wajahnya begitu dekat dan upayaku membanting kemudi sangatlah terlambat.

BRAK!!!

"AAAA ...."

"Emily? Halo? Emily!"

Tubuhku terpental tak beraturan dalam ruangan sempit ini. Debuman yang terdengar sontak membuatku memejamkan mata seerat mungkin. Sungguh, aku takut menegaskan gelegar teriakan, jerit ketakutan yang keluar dari mulutku.

Dapat kurasakan mobil terus menggelinding dan menghempasku nyaris melawan gravitasi dalam beberapa kali. Menghantam tubuh, wajah, dan menjepit kedua tungkai kakiku yang tak bisa berkutik.

Sakit.

Dan sangat perih kurasa pada sekujur tubuh. Hamburan pecahan kaca terasa menancap begitu dalam pada sebagian wajah dan tubuhku.

Air mataku pun mengalir tak terelakkan, merasakan ketakutan yang makin menjadi.

Apakah ini akhir hidupku, Tuhan?

Hingga sebuah debuman yang lebih keras, menghantam pendengaran dan tubuhku dalam sekejap. Riaknya air bah makin menenggelamkanku ke dasar ribuan liter air keruh yang sangat dingin.

Kuangkat tanganku untuk meraih apa saja yang ada di depanku, mencoba keluar dari baja sempit ini dan meraih oksigen sebanyak mungkin.

Sial! Kedua kakiku begitu sakit kugerakkan.

Kupukul berulang kali kaca jendela yang memerangkapku. Menjerit di dalam hati sejadi-jadinya ketika bibir tak mampu lagi bersuara apa pun.

Tolong aku!

****

H I MTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang