Harapan Ellen memilih tinggal sementara waktu di rumah Dennis tidak bisa terlaksana saat sang walikota turut mengantar Ellen ke kediaman keluarga Morris. Bagaimana pun James Morris merupakan penyumbang dana terbesar untuk pembangunan di kota itu hingga tidak mengherankan jika keluarganya mendapat perlakuan spesial.

Beruntung semua orang cukup mau mengerti kondisi Ellen yang pasti sangat tertekan. Meski mereka tidak tahu bahwa Ellen nyaris menjadi pembunuh, yang mereka tahu Ellen baru saja berhasil diselamatkan setelah diculik adiknya sendiri beberapa hari. Itu sebabnya semua orang langsung memilih pamit begitu Ellen tiba di rumahnya agar ia bisa segera istirahat.

"Ya Tuhan! Nona, Ellen!"

Seruan dari dalam rumah membuat Ellen menoleh. Seketika tangisnya pecah saat dia setengah berlari lalu menghambur ke dalam pelukan Bibi Missy yang sudah seperti orang tuanya.

"Bibi..."

"Semua akan baik-baik saja sekarang," hibur Bibir Missy.

Ellen menggeleng. "Tidak akan pernah lagi, Bibi. Keluarga ini hancur. Semua karena aku," isak Ellen pedih.

"Kenapa menyalahkan diri sendiri? Ini pilihan mereka dan akibatnya. Nona hanya korban." Bibi Missy turut terisak.

Lagi-lagi Ellen menggeleng. Ingin rasanya dia mengatakan yang sebenarnya. Tapi bibirnya terkunci. Sepertinya memang lebih baik hal itu disimpan rapat-rapat. Meski Bibi Missy tidak akan menceritakan pada orang lain, tapi siapa yang bisa percaya telinga lain dalam rumah ini mengingat Bibi Missy bukanlah satu-satunya pelayan.

Beberapa saat kemudian, Bibi Missy melepas pelukannya lalu mengusap air mata di wajah Ellen dengan sikap keibuan. Lalu dia tersenyum lembut. "Sebaiknya segera ke kamar dan istirahat, Nona. Kau sudah melewati hai-hari yang sangat berat."

Ellen mengangguk. Tapi saat dia hendak beranjak, dia baru teringat sesuatu. "Bibi, Ibu pernah bilang setahun terakhir ini Ayah berhasil membuatnya membenciku. Bibi pasti tahu sesuatu, kan? Apa yang dilakukan Ayah hingga Ibu membenciku?"

Bibi Missy menangkupkan telapak tangannya di pipi Ellen. "Bibi hanya pernah beberapa kali mendengar Ayahmu berkata bahwa hanya kau anaknya. Hanya kau keluarganya. Dan hanya kau orang yang bisa dia percaya. Sebelumnya Bibi tidak mengerti kenapa Tuan James berkata begitu. Tapi setelah tahu bahwa Tuan Ellias—" Bibi Missy tercekat. "mungkin itu yang membuat Nyonya Rennie membencimu. Tuan James seolah menganggap Nyonya Rennie dan Tuan Ellias bukan keluarganya. Tapi anehnya sikap Tuan James tidak pernah berubah pada Tuan Ellias. Dia hanya mengatakan kalimat-kalimat itu saat Tuan Ellias tidak ada."

Ellen tersenyum penuh ironi. "Mulutmu harimaumu. Hanya karena kata-kata, ikatan Ibu dan Anak putus begitu saja."

Tiba-tiba Ellen merasa pening. Dia sudah nyaris rubuh kalau saja lengan hangat itu tak menahan tubuhnya. Saat menoleh, rupanya Dennis yang dengan sigap menahannya. Ternyata lelaki itu sedari tadi berdiri diam tak jauh dari Ellen.

"Terima kasih," bisik Ellen pelan seraya menegakkan tubuh.

"Kau harus segera istirahat," saran Dennis.

"Ya!" seru Bibi Missy. "Mandi dulu lalu tidur. Atau Nona ingin makan sebelum tidur? Kau pasti tidak makan dengan baik."

Ellen menggeleng. "Aku akan langsung tidur saja setelah mandi."

"Baiklah. Bibi akan membuat kue kesukaanmu. Setelah bangun, Nona bisa langsung menikmatinya." Setelah melihat Ellen mengangguk, Bibi Missy menoleh ke arah Dennis. "Bisakah Anda mengantar Nona Ellen ke kamarnya?"

"Tentu saja."

Begitu Bibi Missy berlalu, Dennis mengulurkan lengannya ke depan Ellen yang langsung dirangkul wanita itu dengan senyum berterima kasih.

Keduanya menapaki tangga dalam diam. Begitu tiba di depan kamar Ellen, Dennis berhenti.

"Aku pamit pulang."

Ellen mendongak lalu menggeleng. "Tidak. Tinggallah di sini. Ada banyak kamar kosong. Aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi sekarang." Mata Ellen berkaca-kaca saat menatap Dennis penuh permohonan.

"Apa kau sedang melamarku?" Dennis tersenyum geli.

"Aku serius!"

Dennis terkekeh. "Aku akan senang menerima tawaranmu. Tapi aku punya tamu di rumah yang tidak bisa kutinggal. Kalau dibiarkan, mereka pasti akan berbuat tidak senonoh di seluruh penjuru rumah."

Plak!

Dennis meringis mendapat pukulan dari Ellen yang tepat mengenai luka tembak di sisi lengannya.

"Mereka sudah menikah."

"Tetap saja—"

"Dan mereka juga sudah setuju menginap di sini."

Dennis mengerutkan kening. "Kapan kau bertanya pada mereka?"

"Tadi di luar rumah. Lalu mereka pamit pulang ke rumahmu untuk mengambil barang-barang."

"Dasar," gerutu Dennis. "Kalau begitu sebaiknya kau mandi dulu. Aku akan menghubungi mereka untuk membawakan pakaianku. Aku juga harus menghubungi Henry."

"Kamarmu—"

"Aku akan tanya pelayan tadi. Bibi Missy, kan?" Lalu dengan sayang Dennis mengacak puncak kepala Ellen. "Tidak perlu terlalu mengkhawatirkanku. Urus dirimu sendiri dulu."

Ellen mengeratkan jemarinya di lengan Dennis, seolah tidak rela lelaki itu pergi. "Kau akan tetap di sini, kan?"

"Aku tidak akan keluar dari rumah ini tanpa izinmu," canda Dennis.

Ellen tersenyum tapi sekaligus air matanya jatuh bergulir. "Aku takut," bisiknya serak. "Semua orang meninggalkanku. Aku takut kau juga."

"Itu tidak akan terjadi." Lalu Dennis mengecup lembut kening Ellen sebelum mundur dan melepaskan jemari Ellen dari lengannya. "Mandilah lalu istirahat. Aku akan membangunkanmu untuk makan malam."

Akhirnya Ellen mengangguk lalu masuk ke dalam kamarnya.

-------------------------

~~>> Aya Emily <<~~

His Eyes (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang