"Nu, apa sesuatu yang benar tanpa perlu bukti di bumi?"
"Cinta."
Mereka sedang berbaring pada hamparan padang rumput di bawah bersuanya rembulan dan bintang-bintang. Dalam kungkungan semesta yang akhir-akhir ini tengah diterpa duka. Duka dari salah satu penghuninya, manusia. Duka tentang sesuatu yang meningggalkan dan ditinggalkan, yang akhirnya bermuara pada tangis-tangis tak berkesudahan.
Musim kemarau sudah menemani selama empat pekan. Raras bilang musim ini adalah musim di mana dia selalu merindukan hujan. Kenapa dia suka hujan juga belum diketahui alasanya. Raras memang begitu, tidak suka beralasan karena alasan selalu bisa dikalahkan oleh sangkalan. Karena alasan tak diperlukan manusia seperti dirinya untuk tinggal di bumi.
Kenu mengusap debu yang singgah di baju, membuat noda kecokelatan menempel di sana. Rerumputan yang dalam bayangan hijau nan menyegarkan berkebalikan dengan realita. Kemarau mengubah warnanya, matahari menghanguskan sejuknya.
Seragam putih biru masih melekat di tubuh, hanya saja sudah tidak serapih ketika mereka berangkat pagi-pagi sekali.
"Kenapa harus cinta, Nu?"
"Karena cinta adalah hal yang mutlak, yang seluruh manusia pasti memilikinya."
Kenu bangkit untuk duduk disusul Raras yang masih belum mengerti akan jawabannya tadi. Selalu begitu, Kenu suka sekali membuatnya bingung, tapi itu pula yang membuatnya nyaman berteman dengannya karena Raras senang hidup dalam ketidak jelasan. Ketidak jelasan membuatnya tak perlu berpikir keras, tak perlu banyak juang, tak perlu mencari solusi untuk mencari jalan keluar yang sebenarnya ia juga tak membutuhkan. Dia cukup berdiam diri meski kadang rasa kesal menghampiri.
Kenu kelihatan terburu-buru membuka ranselnya untuk menunjukkan sesuatu kepada Raras. Dia mengeluarkan sebuah buku tebal lalu memberikannya pada Raras dengan tatapan mengharap. Tapi Raras menolak.
"Lo selalu minta gue baca untuk tahu semua jawaban lo. Kenapa tidak secara lisan saja, sih? Kenapa gemar buat gue bingung? Padahal lo tau sendiri gue nggak suka buku."
Wajah Kenu yang tadi secerah matahari pagi berubah mendung yang akan menurunkan hujan. Dia lekas menarik tangannya untuk memasukan kembali bukunya ke dalam ransel. Ya, Raras tidak akan pernah mau tahu yang sebenarnya. Raras tidak akan bisa masuk ke dalam alam pikiran dan hatinya yang sudah berjalan terlalu jauh. Raras tak mungkin bisa membantunya menjawab pertanyaan sulit yang disimpannya tanpa diketahui siapa pun. Seperti rahasia-rahasia Tuhan yang tersembunyi rapat dan dilindungi para malaikat.
"Yaudah, oke... Sekarang gantian gue yang tanya, Ras. Apa bedanya buku dan foto hasil potretan lo?"
"Hmm... Apa ya, Nu? Mungkin... buku untuk diingat, foto untuk dinilai. Menurut lo apa?"
"Menurut gue nggak ada bedanya sih Ras. Buku bukan hanya dibaca untuk diingat, begitu pun foto bukan hanya dilihat untuk dinilai. Buku dan foto adalah dua hal yang bisa dimaknai dengan hati."
"Ah terserah, deh. Analogi lo nggak masuk di akal gue. Lo terlalu aneh buat perempuan bodoh kayak gue, Nu."
Kenu tertawa dalam remang-remang lentera membuat siapa pun yang melihatnya terpana. Seperti Raras yang berpendapat bahwa senyumnya mampu mengelahkan sinar rembulan. Mampu membuatnya sedikit bebas dari peliknya kehidupan. Mampu membuatnya mengerti arti bahagia sementara.
"Nu, lo pernah punya rasa sama seseorang?"
Kenu menggendong ranselnya karena sepertinya dia sudah mau pulang. Walau tadi tak sengaja terabaikan dia sempat mendengar suara Raras yang samar. Tapi dia perlu memperjelas.
"Jangan pulang dulu, Nu..."
"Tadi lo tanya apa, Ras, gue nggak dengar?"
Raras mendadak gugup. Tiba-tiba pandangannya beralih ketika tatapan mereka beradu. Mungkin hamparan rumput gersang saat ini terlihat lebih indah dari mata Kenu yang berbinar itu.
"Kapan-kapan saja deh, Nu, gue tanya lagi. Yang penting jangan dulu pulang, ya?"
"Memang mau di sini sampai kapan?"
"Sampai bulan dan bintang pulang."
Raras dan Kenu masih dalam pencarian. Semoga kalian yang membaca sudi membantu menunjukkan arahnya. :)
- Wahyu Putri U.
Instagram : @sestinawanda
DU LIEST GERADE
Skema Rasa
Jugendliteratur"Hidup itu apa, Nu? Beginikah hanya ada pergi dan meninggalkan?" "Bagaimana dengan rasa itu, masihkah tinggal dan tumbuh atau telah lama memilih runtuh?" Raras dan Kenu memilih saling menghilang. Bukan untuk menimbun perasaan melainkan mengutuk keti...
