Atap Gedung

9 2 0
                                    

Menatap segala sesuatu dari ketinggian. Bukan untuk terlihat oleh orang lain. Namun untuk dapat melihat lebih banyak.

***

Gadis itu, hmm... maksudku Intan Senja, tidak banyak mengenal orang-orang. Tetangga, teman, dan saudara hanya tau sekadarnya tentang dia maupun sebaliknya. Kau tau alasannya?

Suatu hari, kau akan tau kenapa. Bukan aku yang akan menceritakan, namun Intan sendiri yang akan membukanya. Ini kisahnya, jadi ia yang lebih berhak menentukan hal itu perlu diekspos atau tidak. Di sini aku hanya sebagai penyambung bagian-bagian dari perjalanan hidupnya.

Baiklah, izinkan aku menarik nafas terlebih dahulu.

Huft...

Intanberdiri di atap gedung tempat ia bekerja, memandangi kota Tangerang dari ketinggian. Melihat langit, rumah-rumah yang berhimpitan, jalanan besar dan setapak, serta manusia-manusia yang larut dalam kesibukannya masing-masing.

Angin berembus, menerbangkan ujung jilbab Intan. Sekarang pukul dua belas lewat. Jam istirahat kerja. Intan sering menghabiskan waktu di atap gedung, meski terik menerpanya. Membuat matanya semakin menyipit. Apa hal yang membuat Intan betah berlama-lama di atap gedung ini?

Sederhana.

Sesederhana hidupnya yang selalu sendiri. Ia senang menatap segala sesuatu dari ketinggian. Bukan untuk terlihat oleh orang lain. Namun untuk dapat melihat lebih banyak.

Atap gedung itu lengang. Hanya terdengar suara berisik dedaunan yang diterpa angin. Aih, kenapa angin siang ini ribut sekali? Intan menarik nafas dalam-dalam, lalu mengembuskannya. Kejadian-kejadian masa lalu seketika berkelabat dalam ingatannya. Berebut, mana yang akan lebih dulu dikenang.

Memejamkan mata.

"Kamu tidak berniat untuk bunuh diri bukan?" Sahut suara seseorang tiba-tiba. 

Intan mengerjap, suara yang tiba-tiba terdengar membuat segala kenangan pahit itu hilang. Siapa?  Pertanyaan itu hanya sampai di kerongkongannya. Tidak terucap.

"Aku belum pernah memandangi kota Tangerang di ketinggian seperti ini." sambung suara tadi, ikut memandangi kota di sudut tempat Intan berdiri. "Ternyata lumayan juga." bibir itu membentuk senyum yang khas diikuti oleh garis-garis di wajahnya. Namun, yang diajak bicara diam saja. Bergeming. 

Melihat itu, pemilik suara tadi mengulurkan tangan, dan berkata "Aku Ray, salam kenal. Sejak tadi aku lihat kamu berdiri di sini. Mungkin 10 menit. Kalau kuhitung"

"Lebih dari 10  menit sebenarnya, saya Intan," berkata tanpa menoleh. Mengabaikan uluran tangan Ray. Melipat tangan, di atas pagar pembatas. 

Melihat reaksi orang yang diajak bicara, Ray menarik kembali uluran tangannya. Lagian, perbedaan kata ganti 'aku' dan 'saya' cukup menjelaskan jarak yang harus ia buat. Pikirnya begitu.

"Kamu kerja di sini?" Ray bertanya. Pertanyaan basa-basi.

Intan mengangguk, tidak ada reaksi lainnya. Tidak pula bertanya balik.

Lengang sejenak.

Untung saja langit hari ini cerah. Membentuk bayangan setiap apa yang ada di bawah sinar matahari. Terdengar suara bising dari jalanan kota. Klakson kendaraan yang bersahutan. Penjual yang menjajakan dagangannya. Hingga sumpah serapah orang-orang yang kesal karena berbagai alasan.

"Saya harus kembali bekerja," Intan berlalu setelah kalimat itu meluncur dari bibirnya. Mempercepat langkah dari biasanya. Bayangan yang dibentuk cahaya matahari mulai condong. Mengikuti.

"Selamat bekerja, Intan" Ray sedikit berteriak. Melambaikan tangan. Ia ikut berbalik badan mengikuti gerak wanita yang tadi berdiri di sampingnya. Namun yang dipanggil namanya tak menoleh sedikitpun. Malah mempercepat langkah kakinya.

Ray kembali membalikan tubuhnya, memandangi kota Tangerang dari ketinggian. Memainkan jari-jari tanganya di atas pembatas.

Menarik ujung bibir, tersenyum.

Senyum yang punya arti berbeda.. 

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Nov 19, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Firasat TakdirWhere stories live. Discover now