Rengkuh

25 10 3
                                    

Malam ketika Chaeyoung kembali memang menjadi malam dimana orang tua Changbin dan Chaeyoung membahas hal-hal yang akan dilakukan selepas mereka berdua lulus nanti. Chaeyoung sudah bilang pada Changbin untuk tidak bilang apa-apa kepada orang tua mereka, jadi mereka hanya diam. Setelah hari itu, Chaeyoung tidak menghilang seperti pertama kali. Chaeyoung menonton panggung 3RACHA lagi seperti sebelumnya. 

Hingga pada suatu hari.

"Changbin." Suara isakan terdengar di seberang ketika Changbin mengangkat telponnya. Kelasnya baru saja dibubarkan dan dia melangkahkan diri menuju taman kampus.

"Chae? Lo nangis?" tanya Changbin khawatir. Selama belasan tahun mengenal Chaeyoung, baru kali ini ia mendengar isakan gadis kuat itu.

"Changbin, gue di McD, sendirian," kata Chaeyoung, tidak menjawab pertanyaan Changbin. "Gue malu."

"McD mana? Yang deket kampus lo?" Itu sekitar 15 menit dari sini, kalau naik mobil. Beruntung, Changbin membawa motor hari ini, bisa agak cepat. "Gue kesana sekarang."

***

Pemandangan hijau di depan mereka tidak membuat Changbin ataupun Chaeyoung tenang sama sekali. Changbin mengajak Chaeyoung ke bukit dimana mereka biasa piknik sambil melihat bintang, dulu sekali. 

Setidaknya, isakan Chaeyoung sudah berhenti. Ia menggantinya dengan suara parau. "Bisa-bisanya itu orang."

Changbin menoleh untuk menemukan mata Chaeyoung yang berkilat marah.

"Lo tau nggak dia bilang apa?" tanya Chaeyoung yang matanya bertemu mata Changbin. 

"Apa?" tanya Changbin tanpa melepas tatapannya.

"Gue cewe matre yang mentingin duit, duit, duit. He said, I don't deserve any love, from any one. He said, hati gue beku." Kilatan menyambar dari mata Chaeyoung, membuahkan seringai konyol di wajah Changbin.

"Demi apa?" Changbin terbahak, diikuti Chaeyoung. Tawa Changbin yang hangat menular kepada Chaeyoung. 

"Padahal segala belanja online yang dia lakuin, tanggungan kreditnya ke siapa? Ke gue. Setiap kita jalan, yang bayar siapa? Gue. Yang nyamperin dia ke Aussie sana, siapa kalau bukan gue? Dia pikir gue buang-buang duit seikhlas itu kali, ya." Chaeyoung menggebu. Changbin tertawa makin kencang. 

"Tapi lo tau kan kalo yang dia bilang semua itu salah?" tanya Changbin. 

Chaeyoung mengedikkan bahunya. "Yah, ada yang bener juga. I don't think I deserve love. Cinta gue aja diatur orang tua," katanya, membuat dua buah manusia bodoh di sana terdiam.

Changbin menatap manik bulat Chaeyoung sejenak, kemudian ia berdiri, menepuk celananya yang kotor, lalu berjalan ke depan Chaeyoung. "Berdiri," katanya. 

"Ngapain?" Chaeyoung berdiri, menatap Changbin. 

Changbin menghambur, merengkuh bahu Chaeyoung dan menariknya ke pelukan. Angin bukit yang berhembus tak berhasil menembus kulit Chaeyoung, terhalang oleh kehangatan pelukan Changbin yang menjalar perlahan. Tangan kekar dan dada bidangnya menjadi sumber paling besar dalam rasa aman dan nyaman yang dirasakan Chaeyoung kemudian. 

"A-apaan nih?" tanya Chaeyoung terbata, tapi Changbin belum membalas, masih sunyi. 

Changbin yang diam bukan malah membuat Chaeyoung merasa canggung, malah akhirnya ia balas memeluk Changbin yang berusaha menyalurkan rasa aman padanya. 

"You don't deserve him, he doesn't deserve you," kata Changbin. 

"He's just stupid."

"Even after all the time with him, he still can't see how sincerity you are."

"He's just blind."

"Kamu pantas dapat segala-galanya di dunia ini. Gak cuma cinta, gak cuma hati. Gue gak bisa kasih lo idup gue, karena kita sama-sama tau, my life is very suck. Tapi gue bisa, ajak lo buat bikin idup baru, bareng gue yang bakal perjuangin segalanya buat liat lo senyum," kata Changbin. Bodo amat sama musuh bebuyutan, pikirnya.

Chaeyoung terdiam. Memikirkan semua maksud dari perkataan Changbin. Ia memang merasa beberapa bulan terakhir, perasaannya untuk mantan kekasih telah berubah. Ia merasa lebih aman di samping Changbin. Ia tak perlu memikirkan perasaan Changbin, karena ia sudah mengenal Changbin dengan baik. Apa yang Changbin akan lakukan dan pikirkan, reaksinya juga, Chaeyoung tau. Chaeyoung tau, kalau Changbin lebih memerhatikannya beberapa bulan terakhir. 

"Geli. Dangdut abis," kata Chaeyoung sambil mendecak. Changbin mendenguskan tawa di punggungnya. 

"Untung udah lupa ngomong apa," kata Changbin.

Chaeyoung buru-buru melepas pelukannya. "Oh, jadi udah lupa?" 

Wajah Changbin terlihat panik. "H-hah, bukan gitu." Chaeyoung terbahak-bahak.

"Mumpung disini, fotoin gue dong," kata Chaeyoung. "Kalo mau bikin hidup sama gue, harus jago ngefotonya."

"Iya, iya," kata Changbin tenang, tapi panik di dalam. Anak 3RACHA semua jago kalo urusan telinga, tapi urusan mata.....

Chaeyoung mengambil ponselnya di saku jaket yang tersampir di motor Changbin. Ia melihat puluhan panggilan tak terjawab dari ayahnya. Raut wajahnya seketika mengkabut. 

"Kenapa?" Changbin menghampiri Chaeyoung.

Dengan sangat kebetulan, ponsel Chaeyoung kembali berdering. Ia mengangkatnya buru-buru. 

"Pulang, cepet." Ayah Chaeyoung berkata singkat, kemudian menutup teleponnya. 

Chaeyoung menoleh menatap Changbin. "Padahal mumpung disini, pengen foto," katanya melas.

"Besok-besok kesini lagi, yaelah. Sekarang pulang dulu," kata Changbin, peka. 

***

One in A Million / Changbin ChaeyoungWhere stories live. Discover now