Tunangan

30 9 5
                                    

"Telinga gue emang nggak salah. Kak CB97 alias Kak Chan itu ganteng banget orang maupun suaranya!" Chaeyoung memekik senang.

"Chae, lo udah bilang gitu seratus kali. Iya, iya, gue tau." Changbin berfokus menyetir mobilnya, menuju rumah Chaeyoung.

"Biasanya tuh gue dateng ke gigs yang ada kaliannya di awal, biar nggak pulang kemaleman. Tapi sekarang gue bisa nonton sampe abis, rasanya seneng banget!" Chaeyoung tak berhenti memekik.

"Kalo nyokap gue nggak nentang jalan ninja gue, gue pasti nggak mau lo suruh ajak tiap manggung," kata Changbin.

Chaeyoung menoleh cepat. "Kenapa?!"

"Gue takut lo keinjek di bawah sana, tau? Jadi gak tenang manggung," gurau Changbin.

Chaeyoung mengerutkan alisnya tidak suka. "Enak aja! Lo aja bisa berdiri main keyboard, kenapa gue harus keinjek?"

"Lo kata gue sependek apa heh?" Changbin protes.

"Ya sama! Dikata gue sekecil apa?" Chaeyoung balas protes.

"Dasar macan garong," kata Changbin.

"Kurcaci." Chaeyoung mengeluarkan ponselnya setelah mengatakan satu kata yang menurutnya menggambarkan Changbin. Bisa pecah kepalanya kalau ia menanggapi Changbin terus-terusan, jadi ia memutuskan untuk memainkan ponselnya saja.

Changbin melirik sekilas gadis yang terfokus di bangku penumpang. Ia menghela napasnya keras.

"Kenapa?" tanya Chaeyoung pelan, menyadari helaan napas Changbin, dengan mata yang masih terfokus di layar.

"Enggak," kata Changbin. Barusan ia berpikir bahwa Chaeyoung sebenarnya manis walaupun mulutnya pedas. Matanya bulat sama seperti pipinya, kulitnya bersih, rambutnya juga cantik.

Changbin tersadar sejurus kemudian. Apaan? Nggak boleh, nggak boleh. Chaeyoung itu musuh bebuyutan.

Ya, tapi, emang salah kalau Chaeyoung itu cantik?

"Bin," panggil Chaeyoung beberapa menit setelah terdiam.

"Apa?" jawab Changbin cuek di luar, deg-degan di dalam.

"Lo ntar ikut masuk, ya," kata Chaeyoung.

Changbin kaget. "Hah? Udah malem ini, nggak ah. Langsung pulang aja gue," katanya.

"Setor muka doang sama bokap gue. Nggak mau tau, pokoknya lo harus turun," perintah Chaeyoung. Ia memaksa.

Changbin menggaruk rambutnya, reflek. Yaudahlah, buat bukti juga kalau-kalau nanti ibunya bertanya.

"Yaudah," ucapnya.

Mobil Changbin memasuki gerbang rumah Chaeyoung, beberapa kilometer kemudian. Ia memarkirkan mobilnya di dekat pintu depan, kemudian ikut turun mengikuti Chaeyoung.

"Gimana kuliah, Bin? Lancar?" tanya ayah Chaeyoung begitu mereka berjumpa. Bertiga, mereka duduk di ruang tamu. 

Changbin mengangguk santai. Mencoba menyembunyikan kegugupannya karena telah membawa Chaeyoung ke tempat yang tidak seharusnya mereka datangi. 

"Rencana ke depan apa, Bin?" Ini, yang Changbin tidak suka. Baik dari orang tuanya dan teman-teman orang tuanya. Kepo amat.

Beruntung, Changbin sudah menyiapkan jawaban template. "Lanjut S2 ke Aussie sambil handle cabang di Sydney," katanya mantap. 

Mata ayah Chaeyoung menatap Changbin bangga, bagai melihat refleksi anaknya sendiri. 

"Begitu lulus S1, kalian bisa langsung tunangan aja, nikahnya nanti setelah lulus S2 bisa." kata ayah Chaeyoung. 

Chaeyoung dan Changbin sama-sama mengangguk, sebelum sama-sama terperanjat. 

"Tunangan apa? NIKAH APA?!" tanya Chaeyoung memekik. Matanya benar-benar bulat, sebentar lagi melompat keluar dari rongganya. 

"Ya tunangan, kalian berdua. Changbin belum diberitau ibunya? Minggu kemarin kami buat rencana ini, sampai sekitar 5 tahun kedepan semua bakal lancar." Ayah Chaeyoung menerangkan. 

Chaeyoung dan Changbin saling menoleh, dan mengerutkan kening masing-masing. 

Ayah Chaeyoung berdiri sambil berkata, "Chae, kamu juga cari-cari kampus di Sydney sana, temani Changbin." 

"T-tapi," protes Chaeyoung. Apa sih kok tunangan-tunangan?

"Tapi apalagi?" Ayah Chaeyoung menatap putrinya tegas.

Chaeyoung terdiam, menunduk. "Enggak," katanya. Ia berdiri dan menghampiri Changbin.

"Yuk, Bin, gue anter ke depan," katanya.

Changbin mengangguk. Ia berdiri, berpamitan pada ayah Chaeyoung, kemudian berjalan beriringan dengan Chaeyoung menuju mobilnya.

Raut wajah Chaeyoung ini pertama kali dilihat Changbin. Matanya tidak menyala seperti biasa. Chaeyoung yang biasa berisik terlihat lebih sepi.

"Lo nggak papa?" tanya Changbin hati-hati.

Chaeyoung, yang dari tadi menunduk, mengangkat wajahnya untuk menatap Changbin.

Changbin bisa melihat kabut di kelopak mata si gadis yang lebih pendek darinya itu. Angin malam yang menghembus perlahan meniup helai-helai rambut hitam Chaeyoung.

"Ati-ati di jalan ya, Changbin," kata Chaeyoung tanpa menjawab pertanyaan Changbin. Ia bahkan memaksakan senyum manis.

Changbin tidak paham pada perasaan Chaeyoung. Ia juga bingung atas rencana kedua orang tua mereka, tapi ia masih belum bisa memikirkan apapun.

Tangan kekar Changbin terulur mengusap bahu Chaeyoung. "Semangat ya," katanya sambil tersenyum manis, tak terganggu oleh apapun.

Changbin naik ke mobilnya dan melajukan mobilnya keluar dari halaman rumah Chaeyoung. Di belakang deruan mobilnya, buliran air mata Chaeyoung menetes.

***

"Ayah, Chaeyoung nggak setuju soal tunangan itu." Chaeyoung berdiri di pintu ruang kerja ayahnya.

Ayah Chaeyoung mendongak, membetulkan posisi kacamatanya. "Kenapa?" tanyanya.

"Yah. Kenapa harus Changbin?" tanya Chaeyoung, masih kalem.

"Emang kenapa sama Changbin? Kalian udah kenal lama, begitu juga ayah sama keluarga dia. Udah nggak perlu mikir apa-apa lagi kalau sama Changbin," kata ayah Chaeyoung.

"Ayah nggak tau aja," kata Chaeyoung. Ia mendengus.

"Nggak tau apa maksud kamu?" Ayah Chaeyoung meletakkan kacamatanya.

Chaeyoung bermain dengan jari-jarinya di belakang punggung. "Nggak tau, kalau Changbin nggak sebaik itu..."

Ayah Chaeyoung menghela napas. "Chae, Sayang, ayah itu buat keputusan, dari kamu lahir sampai segede ini, itu semua demi kamu sendiri. Demi kebahagiaan kamu, demi kamu hidup enak."

Chaeyoung menunduk dalam. "Iya, terima kasih, Ayah, tapi ini kan soal orang yang bakal hidup sama Chae," kata Chaeyoung takut-takut.

"Apa yang kamu ragukan dari Changbin?" tanya ayah Chaeyoung. "Jangan dipikirkan dulu, kalian berdua masih harus fokus kuliah dan menata masa depan. Soal ini, biar ayah sama orang tua Changbin yang mengurus."

Chaeyoung membuang nafasnya. Percuma kalau menentang sekarang, besok pasti berubah lagi. "Iya, Yah." Chaeyoung melangkah pergi dari ruangan ayahnya.

Selama ini, Chaeyoung menurut pada orang tuanya karena ia tidak ingin membuat mereka kecewa.

Oke lah, mereka bisa bebas membentuk Chaeyoung sesuka hati mereka. Tapi Changbin? Haruskah Changbin ikut terseret dalam hal ini?

Changbin punya hidup sendiri. Chaeyoung tak mau ikut campur, apalagi membuat Changbin terjebak dalam kehidupan sesaknya. Changbin pantas bahagia sendiri.

One in A Million / Changbin ChaeyoungWhere stories live. Discover now