Takut akan bertemu Adit lagi, Kinan memilih untuk menunggui maba di UKS. Apel selesai sekitar jam setengah sebelas. Kinan melihat rombongan fakultas satu persatu meninggalkan lapangan sesuai urutan. Ia berdiri di depan UKS melihat fakultas Anjas lewat. Matanya langsung melebar, melihat satu persatu panitia yang ada di sekitar barisan itu.

“Anjas!!!!” pekik Kinan girang ketika menemukannya cowoknya di antara panitia. Syukurlah, ia tidak melupakan kaca matanya pagi ini, jadi ia bisa melihat dengan jelas.

Anjas menoleh cepat, ia melambai pada Kinan dengan senyum cerah.

Namun entah dari mana, Adit muncul di sampingnya dan mendengus. Seenak jidatnya  ia merangkul pundak Kinan, menatap lurus dengan raut menantang ke arah Anjas. Kinan dengan cepat menyingkirkan tangan Adit, menjauh, namun Adit mencekal tangannya.

Melihat hal itu Anjas mengerutkan dahinya tak suka. Ia tidak tahu siapa cowok menyebalkan itu, tapi ia sama sekali tak punya hak menyentuh Kinan seperti itu. Anjas bergerak cepat menyebrangi aliran maba dan menghampiri Kinan. Ia menarik Kinan dan menyembunyikannya di belakang punggungnya. Ia menatap cowok entah siapa yang sekarang tersenyum sinis ke arahnya.

“Lo siapa?” Adit bertanya sengak.

Anjas menyipitkan matanya, “Lo ngapain pegang-pegang Kinan?!”

“Suka-suka gue dong, gue mau ngapain sama dia. Lo siapa?!”

“Jauh-jauh dari Kinan! Cowok apaan tangannya gabisa dijaga!”

Anj*ng!” Adit tertawa, “Dia suka sama gue kalo lo mau tau. Dia pasti suka gue pegang-pegang.”

Mata Anjas melebar, telunjuknya teracung, “Sinting! Percuma lo kuliah, moral lo anjlok!”

Kinan menarik-narik lengan almamater Anjas, memintanya untuk berhenti, “Udah, nggak usah diladenin.”

“Lo nggak usah sok-sokan nggak mau. Gue tau lo suka sama gue dari lama.” Adit menatap Kinan.

Anjas bergeser, menutupi Kinan sepenuhnya dari pandangan Adit. Ingin sekali ia menonjok cowok kurang ajar di depannya ini, tapi ia tidak ingin membuat kehebohan. Ia berbalik setelah memberikan tatapan tajam pada cowok itu dan berbalik. Ia menuntun Kinan berjalan bersamanya menjauh dari UKS.

“Siapa sihh tuh cowok?”

Kinan menggeleng, “Orang gila.”

“Dia emang suka gangguin kamu?”

Kinan mengangguk, “Nggak usah bahas dia-lah.”

“Bilang aku kalo dia berani macem-macem.”

Kinan mengibaskan tangan, “Dia nggak akan berani ngapa-ngapain aku.”
-

Malam menggantung. Langit menghitam sejak 3 jam yang lalu. Kinan dan semua panitia udah rapi-rapi sejak sejam yang lalu. Kinan pamit pada anak-anak yang lain untuk pulang. Kampus masih ramai dengan panitia ospek dan mahasiswa UKM. Kinan berjalan tenang di trotoar. Lampu jalan menerangi langkahnya yang gontai. Beberapa panitia yang naik motor menyapanya. Kinan melambai sekenanya.

Sepanjang gang menuju kosannya sangat sepi. Tentu saja, sekarang sudah pukul setengah sebelas. Kinan merapatkan almamaternya. Jangkrik berbunyi nyaring sementara angin bertiup pelan. Lampu sepanjang gang yang berwarna kuning menyala redup. Kinan mempercepat langkah ketika ia merasa seseorang mengikutinya di belakang. Sudah sejak keluar dari gerbang kampus ia merasakannya.

Kinan tak berani menengok ke belakangnya. Ia hanya terus mempercepat langkah. Ia hendak berlari, tapi tangannya lebih dulu dicekal. Kinan memekik kencang, menepis tangan itu kuat.

“Santai!” wajah Adit terlihat di bawah remang lampu jalan.

“Lo mau apa?”

“Kita ngomong pelan-pelan, oke? Lo jangan sok jual mahal sama gue. Maksud lo apa tadi depan gue bawa cowok kayak gitu?!”

Kinan menatap Adit tak mengerti, “Sinting.”

Adit tertawa, ia mengusap wajahnya, “Lo sengaja mau bikin gue cemburu?!”

Kinan menggeleng prihatin, ia berjalan, berusaha melewati Adit, tapi cowok itu mendorongnya.

“Gue. Lagi. Ngomong!” Adit mengusak rambutnya kesal, “Lo kenapa, si, kalo gue ajak ngomong jual mahal banget. Ngerasa cantik lo giniin gue?! Liatin aja, tuh cowok bakal gue ancurin!”

Kinan melotot kesal, ia menunjuk Adit, “Jangan macem-macem lo sama dia!!!”

ANJ*NG! LO MAU SOK-SOKAN BIKIN GUE CEMBURU?!”

Kinan menatap Adit dengan tatapan jijik, “Dasar halu. Minum obat lo!”

“Oke! kita  jadian sekarang, hm? Lo jauh-jauh dari cowok tadi! Lo nggak usah manas-manasin gue terus!”

“Kalo lo gini terus lama-lama gue laporin ke polisi!!!” pekik Kinan. Ia mengeluarkan ponselnya dari saku almamaternya, mendial panggilan cepat nomor satu dan menempelkannya di telinga.

“Laporin!! Lo kira gue takut, hah!!!”

Telepon tersambung, “Halo, Kinan kenapa?” suara cowok terdengar, ia lupa bahwa panggilan cepat nomor satu adalah nomor Geo. Seketika Kinan ingin menangis mendengar satu-satunya suara yang bisa membuatnya merasa aman.

“P-polisi! Ada orang gila yang gangguin saya!!” Kinan tergagap mengatakannya pada Geo, berpura-pura ia benar-benar menelepon polisi.

“Sial.” umpat Adit seraya berjalan mendekat, “Lo kira polisi bakal dateng cepet ke sini?!”

Kinan mundur perlahan, “Jangan deket-deket gue!!” Kinan berlari sekuat tenaga menuju ujung gang untuk kembali ke gerbang kampus. Untung akal sehatnya masih bertahan, kampus adalah tempat paling aman yang bisa ia capai sekarang ini. Pasti masih banyak pantia atau mahasiswa UKM di sana yang masih waras.

Adit mengejar dekat di belakang. Beberapa kali hampir menangkap Kinan. Kinan terus berlari hingga gerbang kampus terlihat. Ia melihat segerombolan panitia ospek berada di sana di atas motor mereka masing-masing. Kinan berlari cepat ke arah mereka.

“Kinan! Kenapa?!” Anjas ternyata ada di antara kerumunan itu. Ia turun dari motornya dan menghampiri Kinan. Ia menunduk menatapi wajah Kinan yang pucat pasi dengan keringat yang mengucur. Di belakang Kinan ia melihat cowok sinting yang siang tadi juga mengganggu Kinan.

Anjas mengepalkan tangannya, berjalan mendekat ke arah Adit. Kinan mengikutinya, berusaha menahan, tapi tangan Anjas lebih cepat. Cowok itu menonjok Adit sekuat tenaga hingga tersungkur di tanah. Kinan menahan Anjas dengan sisa tenaganya. Ia menyeret Anjas menjauh dari Adit yang kini berusaha bangun.

“Udah.. udah!”

Beberapa saat kemudian Anjas dan Kinan duduk bersisian di halte kampus. Sama-sama diam. Keduanya sedang menenangkan diri. Anjas mencoba menurunkan emosinya, semetara Kinan berusaha mengurangi rasa takutnya.

Mobil BMW hitam berhenti di depan halte. Kinan hafal sekali milik siapa itu. Ia menghela nafas, kenapa tadi ia menelepon Geo. Kebodohannya karena terlalu terbiasa melakukannya sejak dulu. Anehnya, tiap kali Kinan menelepon meminta tolong, Geo pasti selalu tahu di mana ia bisa menemukannya.

Geo melangkah keluar dari mobil, wajah paniknya berangsur menenang melihat Kinan baik-baik saja dan sedang duduk di halte. Geo mendekat perlahan, menadaratkan tangannya di pucuk kepala Kinan dan perlahan membawanya ke dalam rengkuhannya. []

-

Dont forget to Vote and Comment 😉

RENJANAOnde histórias criam vida. Descubra agora