Second(s) Before Another Shocking Fact

151 20 12
                                    

(Eita's point of view)

Perlahan aku membuka mata. Hanya terlihat langit-langit kamar berwarna putih. Sadar kalau ini bukan kamarku, refleks aku bangkit.

"A-aw.." rasa sakit menyerang kepalaku karena gerakanku yang tiba-tiba. Ku pegangi kepalaku yang terasa berdenyut. Aku merasakan ada yang duduk di sebelahku saat aku terlalu fokus pada rasa sakit di kepalaku.

"Ini, minum dulu. Jangan tiba-tiba duduk begitu dong..." dia menyerahkan segelas air putih padaku. Aku menerimanya, mengucapkan terima kasih, dan meminumnya perlahan. Kemudian ku kembalikan gelas itu padanya. Dia menerimanya dan meletakkannya di atas meja kecil di sebelah ranjang.

"Masih sakit?" tanyanya saat melihatku mengernyitkan dahi sambil menekan-nekan perlahan pangkal hidungku.

"Ng.. Pusingnya masih--" kata-kataku terhenti saat dia tiba-tiba memijat kedua pelipisku dengan gerakan memutar menggunakan jempolnya. Tanpa sadar aku menatapnya lama dalam diam.

"Gimana? Agak mendingan?" aku sedikit tersentak kaget dan mengalihkan pandangan ke arah lain saat mengetahui dia balas menatapku.

"Hn, makasih.." ucapku lirih sambil sedikit mengangguk pelan. Rasanya pipiku memanas. Ku beranikan diri untuk meliriknya. Dia tersenyum padaku.

'Astagaaa senyumannya asdfghjkl..' batinku berteriak tak karuan. Buru-buru aku alihkan pandanganku ke bawah. Memperhatikan jemariku yang ada di pangkuan lebih 'sehat' daripada melihat senyumannya yang bisa membuat pipiku lebih merah dari yang sekarang.

"Makanya jangan bandel. Dibilangin jangan sampai kecapekan, malah dipakai begadang sampai pagi..."

Aku terdiam. Masih menunduk, aku mencerna kata-kata yang diucapkannya. Ada suatu perasaan yang muncul. Sakit, tapi menyenangkan. Dan aku suka perasaan itu. Tiba-tiba pandanganku buram. Ada satu-dua bulir air mata jatuh.

"Eichan? Kok nangis? Sebelah mana yang sakit?" katanya, sambil mengusap pipiku dan menghapus jejak air mata tadi.

"Eh?" aku baru tersadar kalau aku menangis. Dia masih menatapku dengan kekhawatirannya. Aku mengusap air mataku yang entah kenapa malah keluar semakin banyak. Dia langsung memelukku, mencoba untuk menenangkanku.

"Sudah, sudah... Jangan menangis. Ada aku di sini. Tenang saja, Eichan nggak sendirian kok..." dia memelukku, mengusap-usap kepala dan punggungku, berusaha membuatku tenang dan nyaman. Aku perlahan memeluknya dan membenamkan wajahku di dadanya. Aku tak tahu kalau memeluk seseorang bisa senyaman ini.

Perlahan isak tangisku yang sempat terdengar tadi mulai mereda, dan posisi kami masih sama. Aku masih betah berlama-lama memeluknya, dan dia masih mengusap-usap kepalaku. Ku longgarkan pelukan, kemudian membuat sedikit jarak di antara kami. Aku masih menunduk. Aku tak berani menatapnya. Ditangkupnya kedua pipiku, membuatku sedikit mendongak agar kami bertatapan langsung, sambil mengusap-usap pipiku pelan.

"Sudah merasa lebih baik?" ucapnya sambil tersenyum, meskipun sorot matanya masih menyimpan kekhawatiran yang terlihat jelas.

"Hn.." aku hanya bisa mengangguk. Aku takut tangisku pecah lagi jika aku menjawabnya dengan kata-kata.

"Baguslah. Oh iya, Eichan kan belum minum obat untuk pagi hari. Aku tadi membuat bubur untuk sarapan, aku ambilkan dulu. Tunggu sebentar, oke?" kemudian ia pergi keluar kamar tanpa menunggu jawaban dariku.

Beberapa saat kemudian, ia kembali dengan membawa nampan berisi semangkok bubur dan segelas air putih. Diletakkannya nampan itu di meja sebelah ranjang. Aku hanya diam saja memperhatikannya.

"Nah, sekarang Eichan makan dulu buburnya. Setelah itu minum obat. Ayo buka mulutnya. Aaa..." dia sudah memegang mangkok bubur dan hendak menyuapiku. Ragu-ragu aku membuka mulutku dan menerima suapan bubur darinya. Dia tersenyum senang melihatku makan dengan lahap.

Dream (Tanaka Keita)Where stories live. Discover now