Sebenarnya Alanis tahu apa jawaban dari pertanyaan Kayonna tentang kenapa David dan Prissa tidak berpacaran. Dia ingat apa yang dikatakan Prissa kepada Adam saat di toilet. Prissa menyukai Adam, bukan David. Mungkin sampai saat ini, Prissa hanya menganggap David sebagai teman.

“Emang dasar perek ganjen!”

“Lo jangan keterlaluan, Ev!” tak sadar Alanis memperingatkan. Selang beberapa detik dia bingung sendiri mengapa berkata demikian.

“Eh, kenapa lo? Emang dia perek kok.”

“Tau dari mana lo kalau Prissa perek? Jangan memfitnah orang.”

Evelyn melongo heran mendengar penuturan Alanis. Seperti kebingungan, gadis itu menoleh pada Kayonna yang juga heran. Kemudian keduanya tertawa keras menyadari kepolosan Alanis. “Eh, Al, lo bego atau pura-pura nggak tau sih? Dia itu emang perek. Nggak pernah liat Prissa dijemput Om-om?”

Alanis terdiam. Dia tidak pernah melihat Prissa dibawa oleh Om-om. Kalaupun itu memang terjadi, siapa yang bisa menjamin bahwa lelaki yang membawa Prissa adalah lelaki hidung belang. Siapa tahu lelaki itu adalah temannya atau pamannya atau siapa pun entahlah. Intinya Alanis tidak suka mendengar sebutan itu untuk Prissa.

“Siapa tahu itu cuma sodaranya.”

“Jangan naif lo jadi cewek. Pura-pura nggak paham lagi.”

Alanis memejamkan mata. Dia tidak ingin berdebat lagi. Berdebat tentang sesuatu yang belum diyakininya benar justru membuatnya dalam dilema. Dia ingin menilai orang secara obyektif, bukan subyektif. Meskipun sebenarnya dia juga tidak begitu menyukai Prissa, tapi menurutnya ketidaksukaan bukan menjadi alasan untuk merendahkan orang lain dengan sesuka hati.

***

Siang itu, ketika jam sekolah telah usai, kelas masih saja ramai. Teman sekelas Alanis masih mengobrol dan bergurau. Hanya beberapa saja yang bergegas pulang. Di depannya duduk, Evelyn mengeluarkan tas mungil yang menarik perhatian sahabat-sahabatnya.

“Apaan tuh, Ev?” tanya Kayonna penasaran.

“Komik.”

“Lo suka komik sekarang?” dari belakang Alanis ikut bertanya.

“Nggak. Ini buat David.”

Kayonna dan Alanis saling pandang. Belum hilang keheranan mereka, Evelyn berdiri dan menuju ke tempat duduk David yang dikerubuti oleh teman-teman yang lain.

“Hai, Vid!” Evelyn dengan percaya diri menyapa cowok itu. David tersenyum lembut membalas sapaannya. “Gue mau kasih ini buat lo.” Evelyn menyerahkan tas kecil itu kepada David.

“Apaan nih, Ev?” David merogoh dan mengeluarkan benda dari dalam tas kecil itu. “Wow, lo dapet dari mana nih?”

“Ehem, kayaknya ada berita baru nih.” Alex menimpali setelah melihat gelagat David dan Evelyn. “Pake acara kasih kado segala.”

“Lo naksir David ya, Ev?” tanya Cindy lantang.

“Diem lo, Cin!” David berucap galak, membuat Evelyn tersenyum senang karena merasa dibela.

“Thanks banget, Ev. Gue nggak ngira lo bakal nyari ini buat gue.” David terlihat gembira.

“Sama-sama, Vid. Itu juga kebetulan gue nemu di toko buku lain.” Evelyn berbohong. Karena kenyataannya dia mencari komik tersebut di toko buku online.

“Ya elah, Vid. Cuma komik sepuluh ribuan aja lo udah girang banget.” Prissa melengos kemudian berlalu dari kelas dengan gaya angkuh.

Melihat wajah Evelyn yang jengkel, David berucap, “Udah, nggak usah diladenin.”

“Lo, pulang bareng siapa, Vid?”

“Gue... gue udah janji pulang bareng Alanis. Sori ya, Ev. Mungkin besok gue ajak lo pulang bareng.”

Evelyn tertegun di tempat. Seketika gadis itu menoleh menatap Alanis yang masih duduk dengan tenang di kursinya. Kemarahan tiba-tiba menyelimuti hati dan pikirannya. Ketika dia sudah berusaha keras untuk membahagiakan David, cowok itu justru memilih untuk pulang dengan Alanis. Untuk sesuatu yang tidak dia mengerti, dia cemburu melihat kedekatan David dengan Alanis. Padahal dalam taruhan mereka, sudah disepakati bahwa mereka akan bertaruh dengan cara baik-baik. Tidak ada cemburu atau sakit hati, karena rasa suka mereka masih dalam tahap kagum. Tapi Evelyn tidak mengerti mengapa hatinya tidak terima dengan keadaan yang sedang terjadi saat ini. Mungkinkah dia benar-benar jatuh hati pada David?

Sedangkan di tempatnya duduk, Alanis meremas tangannya sendiri karena resah. Semalam dia mengobrol dengan David seperti biasa. Dia juga tidak tahu apa alasan David mendekatinya. Tapi yang pasti dia senang David selalu mengajaknya mengobrol di roomchat atau telepon. Hanya saja dia tidak mengira Evelyn akan mengajak David pulang bersama di hari yang sama dengan janjinya dengan cowok itu. Dadanya berdebar tidak keruan ketika David muncul di sebelahnya.

“Yuk, pulang!” ajak David yang langsung diiyakan oleh Alanis. Gadis itu ingin segera keluar dari kelas. Dia tidak tahan dipandang setajam itu oleh Kayonna dan Evelyn.

“Gue nggak apa-apa kalau lo mau pulang bareng Evelyn,” gumam Alanis ketika mereka baru melangkah di balkon depan kelas.

“Gue kan udah janji mau nganter lo pulang. Gue nggak suka ingkar janji.”

“Tapi Evelyn udah kasih komik inceran lo.”

“Besok gue pulang bareng dia kalau itu yang lo mau. Tapi cukup besok aja,” ucap David santai.

Alanis mengangguk dan tersenyum. Lalu senyumya hilang ketika dia berpapasan dengan Adam. Cowok itu mengenakan hoodie warna biru tua. Matanya yang tajam seolah menusuk mata Alanis. Sesegera mungkin Alanis mengalihkan pandangan karena ada perasaan tidak nyaman dan rasa bersalah.

Dia jadi teringat kejadian beberapa malam yang lalu ketika dia menangisi keadaan keluarganya yang terpecah belah. Saat itu Adam muncul membawa selembar tisu. Cowok itu tidak memberondong Alanis dengan berbagai macam pertanyaan. Adam yang bersikap dingin hanya menemani Alanis berdiam diri di trotoar. Cowok itu juga yang mengantar Alanis pulang pada akhirnya. Tak banyak yang mereka bicarakan karena selain sedang kalut, Alanis tidak nyaman mengobrol dengan Adam. Adam terlalu misterius baginya. Dan itu menjadi salah satu alasan Alanis tidak dapat menerima pernyataan sayang cowok itu yang tiba-tiba.

***

The EleventhWhere stories live. Discover now