II

22 8 1
                                    

Dhito memandang sekitarnya datar. Dhito sebenarnya tidak nyaman dengan suasan kelasnya yang ramai akan perbincangan anak kelasnya mengenai lomba festival film sekolah yang sudah mulai diselenggarakan pihak sekolah.

Kapan mereka selesai?

Dhito menatap Via –teman kelasnya- yang berjalan kedepan kelas dan kembali dengan temannya yang bernama Sarah. Bagaimana dhito bisa tahu namanya? Karena setiap pulang sekolah dia akan menghampiri Via dan pulang bersama. Sarah duduk dibangku Via dan menghadap belakang yang otomatis menghadap Dhito.

Dhito kembali menatap laptopnya yang berisi kata-kata penuh istilah biologi yang sebenarnya membuat pusing. Namun, bagaimana pun juga Dhito harus segera menyelesaikan makalah penelitian yang harus segera dikumpul. Sebenarnya itu tugas kelompok tapi satu kelompoknya menyuruh Dhito untuk membuat makalah penelitian dan Dhito hanya bisa menyetujui. Toh, Dhito tinggal mengetik ulang dan diprint.

Dhito merasa seperti ada mata yang mengawasinya namun dia mengabaikan hal itu karena sudah biasa yang menatap aneh dirinya. Dhito bukanlah murid yang menonjol diantara yang lainnya, Dhito sama seperti murid biasa dengan segala kesibukan tugas sekolah. Yang membedakan dari Dhito adalah dia sangat mahir memainkan keyboard.

Dhito tak sengaja memandang kedepan yang seketika netranya bertabrakan dengan coklat milik Sarah dan Sarah memalingkan wajahnya. Dhito memperhatikan Sarah yang sedang menatap keluar kelas sambil tangannya memilin kertas.

Dhito mengedikkan bahunya acuh dan kembali melanjutkan mengetiknya yang tertunda.

Dhito mencabut flashdisk yang sudah dia copy dengan tugasnya tadi dan men-shut down laptopnya sambil merapihkan buku yang berserakan di mejanya dan memasukan laptopnya ke dalam tas nya lalu menjinjingnya.

“Dhit, mau kemana lo?” tanya Maulana yang kebetulan duduk di dekatnya.

“Pulang.” Balas Dhito sambil terus berjalan meninggalkan kelas saat sebuah suara mengintrupsi langkahnya.

Dhito menoleh dan menemukan Sarah yang berjalan ke arahnya sambil mengancungkan sebuah flashdisk kepadanya tak lupa dengan senyumnya.

“Flashdisk kamu ketinggalan,” dia menyerahkan flashdisk yang langsung diambil dhito dan pergi tanpa mengucapkan terima kasih.

“Bilang makasih kek!” Seruan itu membuat langkah Dhito berhenti dan menatap sang pelaku yang tampak memalingkan wajahnya menatap papan tulis kosong.

“Cih! Pamrih!” Dhito kembali melangkahkan kakinya keluar kelas dan segera pergi ke parkiran dan meninggalkan sekolah.

Dhito merebahkan dirinya di kasur iron man kesayangnnya tanpa berniat melepas seragamnya yang tentu saja mengeluarkan aroma matahari dan keringat yang bercampur jadi satu.

Dhito teringat kembali dengan kejadian beberapa menit lalu.
Sarah. Nama itu teringiang di kepalanya seakan playlist yang selalu ia dengarkan. Gadis manis dengan paras yang cukup menarik hanya saja bermuka datar serta memiliki bentuk tubuh yang sedikit lebih. Yah, Dhito tidak mengatakan jika sarah gemuk tapi juga bukan kurus, Sarah berada pada bentuk yang pas tapi sedikit lebih.

Susah sekali menjelaskannya. Satu hal yang selalu menjadi perhatian Dhito adalah ketika Sarah tersenyum bersama dengan Via. Matanya yang belok seketika menjadi seperti bulan sabit dengan pipi yang tertarik keatas. Manis sekali! Tapi Dhito tahu bahwa sarah tidak percaya diri dengan dirinya.

Bagaimana Dhito tahu? Karena tanpa sadar Dhito selalu memperhatikan interkasi antara Sarah dengan Via atau anak kelasnya. Sarah tampak menjauhi teman Dhito yang memiliki wajah yang cantik menurut semua orang, namun bagi Dhito itu biasa saja. Memang tampilan fisik itu menarik tapi lebih menarik jika disertai hati yang baik.

Yah, Dhito merasa jika satu kelompok dengan perempuan itu, dia menjadi kacung untuk mengerjakan tugas dan perempuan itu hanya numpang nama. Dhito selama ini memang terlihat diam namun, percayalah dhito selalu menguhubungi guru bersangkutan untuk mengatakan bahwa hanya ia yang mengerjakan tugas itu.

Dhito tahu jika ini tindakan pengecut bagi mereka tapi dia tidak selalu melakukan itu. Dia hanya mengadukan jika merasa bahwa tugas yang diberikan sangat sulit. Namun, tak sekaipun Dhito memberi tahukan apa yang dia alami kepada orang tuanya. Dhito tidak ingin orang tua merasa sedih dengan apa yang ia alami selama ini.

Ini bukanlah pertama kalinya bagi Dhito. Dia sudah merasakan menjadi korban bullying sejak SD dan yang paling adalah ketika dia SMP sampai Dhito harus pindah sampai 3 sekolah untuk menghindari bullying. Dan Dhito merasa jika SMA ini lebih baik daripada apa yang dia alami sebelumnya.

Tentang KamuWhere stories live. Discover now