Chapter 7 - I Don't Wanna See You With Her

71 7 0
                                    

Aku tepuk-tepuk jajaran buku yang tertata rapi di depanku. Aku endus aroma kertas yang mewah dan membuatku betah berlama-lama disini. Perpustakaan. Sesekali kulirik seseorang yang sedang asyik bercengkerama dengan seorang wanita yang membuatku bingung beberapa hari lalu, lelaki itu mengamit lengannya. Kemudian menoleh padaku, "Hai, Raya! kenalin ini Luna, cantik ya."

Perempuan itu menoleh, jelas wajah Luna tersenyum tipis padaku. Rambutnya tergerai sempurna, tinggi semampai dengan lelaki yang membuatku sulit move on ini.

Bibirku tercekat, sakit agak perih, terutama tenggorokan, diiringi air mata yang mulai menitik, aku mendehem. Perasaan lelah sekaligus panas bergemuruh secara konstan merasuk kedalam dada, aku cemburu. 

Bak gelombang tsunami yang hendak menelan dan meluluhlantakkan daratan di depannya, tak kuat membendung sendiri, amarah ini pun demikian. MEmuncak ke ubun-ubun dan siap kulepas. Seperti seekor singa yang menggeram marah, kudorong kedua tubuh mereka, kuteriakkan keras-keras kekecewaanku, kusembur tepat ke wajah Rezvan. Mereka terjerembab.

"Tega! Van, kamu tega benar! kamu tak pernah peka pada perasaanku!"

Rezvan menahan tanganku, terkekeh, kemudian wajahnya bak hologram, seketika berubah menjadi sosok Riki. Sementara lengannya tetap mengamit pinggang Luna yang terus merapat padanya.

Alisku terkerut, heran, tapi tetap saja pedih. Riki? sejak kapan mengenal Luna?

Apakah aku bermimpi?

Ponselku bergetar nyaring sempurna, seperti terbawa pusaran tornado. Badanku limbung.

Tak berapa lama, aku tersadar. Sekitarku bukan perpustakaan, melainkan kamar apartemen corak minimalis. Apartemen yang beberapa jam lalu sempat membuatku ketakutan, aku takut dijebak Randi sebagaimana dia menjebak Rezvan setahunan lalu. Mataku perlahan kubuka, tanganku nyeri tertindih badanku sendiri. Aku tidur tengkurap!

Sadar ponselku sejak tadi bergetar, aku bersyukur ini hanyalah mimpi di siang bolong. Kutengok waktu sudah menunjukkan pukul lima belas sore. Ponselku terus bergetar, sms masuk bertubi-tubi. Tetap mayoritas pesan dari Randi, selebihnya tertera nama Dimas, Laila, Pak Daniel dan... Riki!

Aku terpekik tanpa suara, segera kubuka pesan darinya.

Ra, kamu dimana? aku sudah di perpus. -Riki

Kulihat dia sms pukul 2 siang, artinya tepat aku masih tertidur tadi. Perasaanku mengembang, entah kenapa sejak insiden galonku habis itu, setiap menerima pesan darinya seperti sedang mendapat pesan dari seorang pacar saja. Eh? pacar? emang kamu pernah pacaran Ra?

Aku tersipu, rasa nyeri dan berat menghilang seketika. Mungkin benar kata pepatah bahwa rasa cinta dan bahagia akan mendongkrak produksi hormon oksitosin sehingga tubuh jauh terasa lebih prima, sehat tanpa rasa sakit.

Namun sms itu tak langsung kubalas, aku butuh waktu buat ngobrol langsung dengannya. Ada perasaan rindu didalam dada. 

Selang dua detik, masuk lagi pesan yang cukup menohok. Dari Dimas.

Kamu dimana Ra? Udah dapat undangan pesta ultahnya Bilqis? teman-teman kecewa lho kamu enggak datang. Udah diundang tapi gak ada i'tikad baik untuk konfirmasi.-Dimas

Jujur saja, aku tak begitu peduli dengan pesta. Namun jika itu undangan yang sifatnya spesial seperti ulangtahun sebisa mungkin aku hadir atau konfirmasi. Namun hingga detik ini tak ada satupun undangan yang kuterima. Pikiranku mulai kalut, enggak mungkin aku enggak diundang di angkatan. Bagaimanapun mereka masih membutuhkanku untuk mengerjakan soal setiap ada tugas, akupun demikian. 

Selama di jurusan, kurang lebih empat bulan ini walaupun enggak terlalu dekat dengan mereka, sesekali aku selalu ada tugas kelompok, project bareng untuk mata kuliah tertentu. Hanya untuk urusan kongkow dan nongkrong leha-leha ke tempat hiburan, aku memang ogah. Lebih banyak kuhindari, aku lebih memilih untuk duduk membaca buku di perpustakaan, sendiri ataupun bersama Riki.

PenyendiriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang