BAB 37

3K 144 2
                                    

"Dia pantas mendapatkannya," ucap Tibra.

"Good" ucap Hanum, ia tersenyum culas.

Hanum lalu melangkah mendekati Linggar. Ia harus mendapatkan adiknya, dan membawanya kembali pulang ke Jakarta. Laki-laki bernama Darka ini sungguh keterlaluan, mengajak sang adik pergi begitu saja tanpa memikirkan, pendidikan, dan keluarga. Linggar adiknya yang harus ia perjuangkan masa depannya. Malah dengan mudahnya laki-laki itu, membawa adiknya ke New York, tanpa seizinnya. Jelas Ia tidak terima prilaku laki-laki itu.

Tinjuan Tibra tidak sebanding apa yang telah ia lakukan terhadap adiknya. Di mana letak sopan santun, laki-laki itu, membawa anak orang begitu saja, jika ingin bersama Linggar, seharusnya minta dengan dirinya secara baik-baik. Bukan seperti ini, percuma saja laki-laki itu berpendidikan tinggi, tapi jika tidak mempunyai etika yang baik. Maka di matanya laki-laki itu sama saja brengsek.

"Jangan pernah membawa Linggar, tanpa seizin saya," ucap Hanum, memandang Darka yang berusaha bangkit.

Darka memegang sudut bibirnya. Ia menatap jemarinya, ada bercak darah. Ia yakin sudut bibirnya tidak hanya berdarah, dan ia sudah pasti lebam. Ia tidak tahu siapa laki-laki itu, dan memiliki apa hubungannya dengan Linggar.

"Linggar, pulang !" Ucap Hanum keras.

Linggar dengan cepat bersembunyi di belakang Darka. Darka tahu bahwa Linggar meminta bantuan kepadanya. Wanitanya tentu saja memilihnya, karena dirinya pantas bersama, tidak ada yang memisahkan dirinya dan Linggar.

Hanum tidak tahu apa yang di lakukan adiknya ini. Lihatlah Linggar lebih memilih laki-laki itu dari pada dirinya. Oh Tidak, Linggar benar-benar gila, mau jadi apa sebenarnya adiknya ini. Hanum mengatur emosinya, mencoba tenang, dan ia melirik Tibra yang mengambil alih posisinya.

Tibra melangkah mendekati Linggar. Wanita itu memang harus banar-benar di kasih tahu. Andai wanita itu bukan adik Hanum, ia tidak akan membela, apalagi mengurus wanita ini. Tibra melipat tangannya di dada, ke dua orang ini memang masih muda, cinta mereka terlalu mengebu-mengebu. Lihatlah Linggar malah memilih kekasihnya dari pada saudaranya sendiri. Andai saja ini bukan karena Hanum, ia tidak akan membantu wanita itu hingga sejauh ini. Mencari keberadaan wanita ini tidaklah mudah, ia mencari berbagai cara sebisa mungkin, agar Hanum tidak berlarut-larut dalam kesedihannya. Ia akan menasehati wanita muda ini.

Tibra menarik nafas, menatap Linggar dengan berani, semua orang yang melihat adegan itu senyap menunggu reaksi Tibra.

"Dengar Linggar, kamu harus benar-benar tahu. Saudara kamu hampir gila memikirkan kamu, dan kamu malah memilih laki-laki itu," ucap Tibra keras.

Tibra sudah tidak tahan melihat semua ini. Ia benar-benar marah terhadap Linggar.

"Lihat, dia saudara kamu. Dia yang membiayai kuliah kamu, menyekolahkan kamu, agar kamu tidak di pandang sebelah mata. Sekarang kamu dengan mudahnya pergi begitu saja dengan laki-laki itu !" Ucap Tibra keras, mendekati ke arah Linggar.

"Laki-laki itu bahkan tidak pernah sekalipun meminta ijin kepada orang yang telah membesarkan kamu, dia memang brengsek. Apakah kamu tidak lihat, betapa liciknya dia, merebut kamu dari keluargamu sendiri. Bahkan laki-laki itu telah memutuskan pendidikan kamu. Kamu benar-benar wanita bodoh yang pernah saya lihat," teriak Tibra tepat di hadapan Linggar.

Tibra tidak peduli lagi terhadap semua orang menyaksikan pertikaian ini. Ia juga tidak peduli dirinya menjadi tontonan publik. Ia memang sudah emosi tidak peduli di mana ia berada.

Kata-kata laki-laki itu menohok hatinya. Dia memang bersalah dengan wanita itu.

"Apakah kamu tahu, saudara kamu telah menjual mobilnya hanya untuk kamu. Betapa paniknya dia, ketika pihak asrama menyatakan bahwa kamu menghilang. Dia melakukan itu semua untuk kamu, Dia melakukan itu karena dia bertanggung jawab atas kamu, menjamin masa depan kamu !," ucap Tibra keras.

Kali ini ia mengeluarkan emosinya, karena ia benar-benar ingin mengakhiri ini.

"Jika kamu bukan adiknya Hanum, saya tidak akan jauh-jauh pergi kesini,"

Tibra lalu melangkah mendekati Hanum. Terlihat jelas wajah wanita itu kecewa atas adiknya.

"Sudahlah Han, sebaiknya kita pergi dari jangan pedulikan dia," ucap Tibra.

Linggar melirik laki-laki itu, laki-laki itu begitu menyeramkan menurutnya. Kata-kata itu begitu menakutkan, rahangnya mengeras, semua orang terdiam melihat dia berkata. Darka bahkan terluka akibat tinjuan mautnya.

"Maaf," ucap Linggar pelan.

"Jangan minta maaf, jika kamu tidak pernah tulus mengucapkannya !" Ucap Tibra keras, ia hanya ingin memberi pelajaran pada wanita muda ini.

"Ya, maaf," ucap Linggar pelan.

"Minta maaflah dengan saudara kamu," ucap Tibra, ia melirik Hanum. Hanum membalas tatapannya, ia tahu wanita itu mengucapkan terima kasih kepadanya.

"Dan kamu !," Tibra menunjuk Darka.

"Jika kamu benar-benar menginginkan Linggar, tunggulah dia hingga lulus dari kuliahnya. Dia masih terlalu muda untuk mengurusi segala keperluan kamu,"

"Kamu tahu apa tentang kehidupan, hanya sekedar untuk meminta ijin kepada keluarganya saja kamu tidak becus. Kamu pikir dia dibesarkan hidup di jalan begitu saja, yang bisa kamu ambil, lalu kamu bawa pergi. Dia tidak bisa sebesar, dan secantik ini tanpa keluarganya, mengerti, !"

Darka hanya diam, ia mengepalkan tangannya. Ia masih bertahan agar tidak membalas tinjuan laki-laki itu. Ia melihat Linggar, melepaskan tangannya dan berjalan mendekati sauadranya. Ia tahu dirinya memang bersalah atas semua ini. Apa yang di ucapkan laki-laki itu benar.

"Belajarlah jadi laki-laki yang bertanggung jawab. Jika kamu menginginkannya, maka kamu harus mengenal seluruh keluarganya !"

Semantara Linggar mendekati Hanum, ia harus meminta maaf kepada sang kakak. Ia akan meminta maaf, karena telah mengecewakannya.

"Mbak, maafin Linggar,"

"Kamu benar-benar telah mengecewakan mbak, dek,"

"Mbak, maafin Linggar. Linggar tahu, Linggar salah, karena Linggar telah mengecewakan mbak," ucap Linggar.

"Bagaimana mbak percaya kamu, kamu kemarin juga berkata seperti itu kepada mbak, kamu berjanji kepada mbak untuk fokus kuliah. Tapi nyatanya kamu malah kabur seperti ini,"

"Apakah kamu tahu, beberpa bulan lalu, mbak baru saja melihat kamu lulus SMA. Kamu masih terlalu kecil memikirkan untuk hidup dengan seorang laki-laki. Kamu juga harus belajar banyak tentang masalah hidup. Hidup itu tidak semuanya tentang cinta, terlebih kamu baru mengenal cinta. Kamu tidak tahu hati seseorang seperti apa. Tidak ada orang yang benar-benar tulus, tanpa maksud tujuan tertentu,"

"Kamu tidak bisa menyimpulkan, bahwa dia yang terbaik, dia yang terhebat, sebelum kamu tahu keburukkannya. Kamu akan merasakan penyesalan nantinya, dan kamu akan berujung tangisan,"

"Mbak enggak ada pilihan lain, selain memulangkan kamu ke Kalimantan. Kamu lebih baik di sana, bersama ibu dan bapak. Jujur mbak enggak bisa jaga kamu dek," ucap Hanum menahan isak tangisnya.

"Mbak, Linggar mohon jangan lakukan itu, Linggar akan kembali ke asrama secepatnya," isak Linggar.

"Linggar berjanji, tidak akan berbuat seperti ini lagi. Mbak Linggar mohon, Linggar berjanji akan menyelesaikan kuliah Linggar tepat waktu dan tidak akan mengecewakan mbak,"

Hanum mengangguk, ia tidak sanggup lagi untuk berkata kepada sang adik. Kali ini ia akan memaafkan Linggar. Ini kesekian kalinya ia luluh atas ucapan sang adik.

"Pulanglah, belajarlah yang baik. Tidak ada yang lebih bahagia, ketika melihat kamu, menyelesaikan kuliah. Mbak seperti ini, untuk memperjuangkan masa depan kamu,"

"Terima kasih mbak," ucap Linggar, ia lalu memeluk Hanum.

Hanum membalas pelukan Linggar. Tibra memandang pertemuan kedua saudara itu. Kedua saudara itu memiliki kekuatan batin yang kuat menurutnya. Ke dua saudara itu memiliki sifat yang bertolak belakang, dan memang tidak pernag bersatu menurutnya. Melihat adegan itu, ia dapat memberi pelajaran, bahwa tidak ada yang lebih bahagia, ketika kita saling memaafkan satu sama lain. Seburuk apapun perbuatan yang kita lakukan, tapi dengan kata maaf yang tulus, maka semua dapat terselesaikan. Tapi melihat Linggar seperti ini, ia pastikan anak ABG itu akan membuat ulah lagi.

********

PESONA CINTA CEO (SELESAI)Where stories live. Discover now