BAB 29

3K 136 0
                                    

Hampir sejam lamanya, Hanum menghabiskan waktu di kamar mandi. Tetesan air hangat ini membantu dirinya, agar fisiknya tidak terlihat lemah. Akhirnya Hanum menyudahi ritual mandinya. setelah ini ia akan ke asrama Bina Mulya. Ia tadi sudah mati-matian agar tetap tenang dan tidak panik. Hanum melirik jam menggantung di dinding, menunjukkan pukul 18.00.

Beberapa menit kemudian, ia telah siap, ia mengenakan dress hitam, ya hari ini adalah ia berduka, sudah sepantasnya mengenakan dress hitam, sesuai dengan suasana hati saat ini. Tidak lupa ia mengenakan blezer berwarna senada, karena mungkin ia akan pulang sedikit lebih malam, pergi ke club mungkin, dan dia akan mengajak Ajeng untuk bersenang-senang.

Hanum menarik nafas, ia sekarang tidak boleh nangis lagi, ia tidak akan cengeng, dia adalah wanita tegar. Ia harus kuat, dan dia harus bisa menjalani ini semua. Hanum menatap penampilannya di cermin, matanya masih bengkak, ya memang sudah berapa jam ia menangis, dan tidak berhenti. Ia juga tidak mengaktifkan ponsel miliknya, karena ia tidak ingin Jo menghubunginya.

Bell terdengar dari balik pintu, Hanum tidak tahu siapa yang bertamu pada waktu senja seperti ini. Ia tidak suka ada seseorang, melihatnya dalam keadaan kacau. Hanum membiarkan dan mengabaikannya. Beberapa menit kemudian, mau tidak mau ia harus membuka pintu itu, karena sedari tadi bell pada pintu itu tidak berhenti berbunyi. Jika bertamu itu adalah Jo, tidak akan ia ijinkan masuk ke dalam. Ia tidak sudi laki-laki itu menginjakkan kakinya disini.

Hanum menarik nafas, dan membuka hendel pintu. Ia menatap sepasang mata tajam itu berdiri tepat di hadapannya. Oh Tuhan, kenapa ia berhadapan dengan laki-laki brengsek ini lagi. Hanum dengan cepat menutup pintu itu, ia sudah lelah untuk berdebat dengan laki-laki ini.

Tangan laki-laki itu tidak kalah cepatnya, dan menahan pintu itu agar tidak terkunci. Hanum mau tidak mau membuka pintu itu secara pasrah, dan dia hanya diam, ketika laki-laki itu masuk ke dalam.

Setelah pulang kerja, tidak terbesit di pikirannya untuk mampir ke apartemen wanita ini. Tapi entahlah, ada perasaan yang tidak menentu di hatinya, ia memilih membanting setir dan lalu mengarahkan mobilnya ke apartemen Hanum.

Ia memandang sepasang mata bening Hanum. Iris mata bening inilah yang ia rindukan, mata itu bengkak, ia tahu wanita itu habis menangis. Ia melihat wanita itu menutup pintu, dan ia melirik penampilan Hanum yang sudah rapi, sepertinya wanita itu sudah siap untuk pergi.

"Kamu menangis?" Ucap Tibra, memperhatikan iris mata Hanum secara intens.

"Itu bukan urusan kamu," ucap Hanum, ia melangkahkan kakinya melewati Tibra begitu saja, karena ia akan mengambil tasnya di nakas.

Tibra mengikuti langkah Hanum, dan menyeimbangi langkahnya. "Apa yang membuat kamu menangis," ucap Tibra, menghentikan langkah Hanum agar menghadap dirinya, karena ia tidak suka, ada seseorang yang berbicara sambil berjalan seperti ini.

"Saya bilang itu bukan urusan kamu Tibra, jangan ganggu saya !," ucap Hanum emosi

Ya dirinya, memang sedang tidak terkendali. Ingin rasanya ia mengakhiri hidupnya. Ia tidak suka ada seseorang yang bertanya seperti itu kepadanya, baginya itu terlalu privacy yang harus di ketahui oleh laki-laki tidak punya hati seperti Tibra. Ia tidak ingin laki-laki ini ikut campur urusan pribadinya.

Tibra memandang Hanum, ia tahu wanita ini sedang kacau, dan emosinya tidak terkendali,

"apa yang membuat kamu seperti ini !" ucap Tibra semakin penasaran, ia tidak peduli wanita itu emosi kepadanya, dan ia harus tahu apa yang menyebabkan wanitanya seperti ini, ia menarik tangan Hanum agar mendekat ke arahnya.

Hanum mengibaskan rambutnya, dan memandang Tibra dengan berani. Suasana memang sedang panas, di tambah ia berhadapan dengan laki-laki menyebalkan ini.

"Saya bilang kamu jangan ikut campur urusan saya, jauhi tangan kamu," Hanum menepis tangan Tibra dari lengannya.

Tibra semakin mengeratkan cekalannya, ia tidak akan berhenti bertanya sebelum mengetahui kenapa wanita ini menangis.

"Kasih tahu saya apa yang terjadi pada kamu,"

"Berhentilah, bertanya seperti itu terhadap saya,"

"Saya tidak akan berhenti bertanya hingga kamu menjawab, pertanyaan saya" ucap Tibra mengeras.

"Ceritakan kepada saya apa yang terjadi kepada kamu. Saya akan membantu kamu," ucap Tibra lagi, ia tidak akan menyulut emosi, karena wanita di hadapannya sedang emosi. Jika ia mengikuti emosinya, permasalahnnya tidak akan selesai.

Hanum menarik nafas ia memandang Tibra, ia melepas cekalan tangan Tibra dari lengannya dengan sekali hentakkan. Ia memang perlu seseorang,untuk menceritakan apa yang terjadi pada dirinya. Karena dengan begitu, ia akan lebih baik dan hatinya akan lebih tenang, tapi tidak dengan laki-laki brengsek ini.

"Apakah kamu ingin tahu apa yang terjadi,"

"Ya,"

"Adik saya hilang dari asrama dan kekasih saya selingkuh, puas !" ucap Hanum.

Ia lalu melangkah menjauhi Tibra, dan mengambil tasnya di nakas.

Tibra paham apa yang terjadi pada Hanum. Jelas saja wanita itu terlihat kacau, dan emosinya tidak stabil. Tibra memandang Hanum, dan ia melangkah mendekati wanita itu. Ada terbesit bahagia, mendengar Hanum mengatakan kekasihnya selingkuh.

"Saya akan membantu, untuk mencari adik kamu," ucap Tibra.

"Tidak perlu, saya tidak perlu bantuan laki-laki brengsek seperti kamu," timpal Hanum.

"Kamu membutuhkan saya Hanum, saya bisa mencari adik kamu,"

Harum bertolak pinggang, dan menatap Tibra, "kamu bahkan tidak pernah bertemu adik saya dan tidak mengenalnya. Bagaimana kamu bisa membantu saya,"

Tiara mengulurkan tangannya kepada Hanum, agar wanita itu meraih tangannya,

"Kamu pasti membutuhkan saya. Kamu tahu siapa saya, saya bisa melakukan apa saja,"

Hanum melirik Tibra, ya ia mengenal Tibra seperti apa. Tibra adalah mantan atasannya, laki-laki itu bisa melakukan apa saja dengan uangnya. Ada perasaan ragu, melihat uluran tangan laki-laki itu.

"Percaya saya, kamu memerlukan laki-laki seperti saya, untuk mencari adik kamu,"

Laki-laki itu memandangnya cukup serius. Ia lalu meraih tangan hangat itu. Tibra menggenggam jemari lentik itu.

"Kamu akan memulainya dari mana," tanya Tibra.

"Ke asrama Bina Mulya, saya ingin bertanya kepada teman-temannya dan ibu asrama,"

"Oke itu pilihan tepat, sudah berapa lama adik kamu menghilang,"

"Seminggu yang lalu," ucap Hanum.

"Setidaknya tidak terlalu lama, mencari adik kamu yang nakal itu" ucap Tibra, lalu membawa Hanum ke pintu utama.

"Dia tidak nakal, hanya masih labil,"

"Dia sudah kabur seperti itu, dan membuat kamu khawatir seperti ini. Apalagi yang pantas di sebut kata nakal, Han"

"Ya, dia memang nakal," ucap Hanum pada akhirnya, membenarkan ucapan Tibra.

Tibra menyungging senyum, lalu melirik Hanum. Sekarang Hanum ada digenggamannya.

********

PESONA CINTA CEO (SELESAI)Where stories live. Discover now