vestige.

431 56 23
                                    

"Kalau kamu jatuh, aku malas membantumu."

Perkataan Gilgamesh otomatis menghentikan ayunan tungkai pemuda yang lain, gumaman manis serta kurva senyuman apik berwarna merah muda turut menghilang bersamaan dengannya. Lembayung keemasan yang juga merupakan proyeksi dari senja kala itu seakan tumpah, mewarnai benda-benda di bawahnya, juga menggoreskan pias imajiner berwarna serupa. Pepohonan, bangunan, cawan mahal Gilgamesh, dan helaian rambut sewarna rumput muda milik pemuda manis di hadapannya ikut menjadi korban sang senja. Pemandangam yang indah.

Bahkan, ketika iris itu bergulir dan menatapnya bingung, Gilgamesh bersumpah—warna emas kekuningan favoritnya benar-benar indah jika tercampur baik bersama hijau cemerlang milik pemuda itu. Begitu pas. Cocok.

Gilgamesh berada di dalam beranda balkon sembari meminum alkohol berwadah cawan emas, sang pemuda malah bermain di atas tiang balkon. Dan ini merupakan lantai tingkat tiga dari istananya—tepat di depan kamarnya. Bagaimana Gilgamesh tidak cemas?

Entah ia suka membuat jantung Gil berantakan, atau memang ia memiliki rasa ketidakpekaan yang melebihi batas. Bukannya membalas perkataan Gil, ia lebih memilih berdiri di atas pinggiran balkon tersebut sembari merentangkan kedua tangan. Dia sih santai, tapi Gil sudah berhasil menyemburkan alkohol mahalnya.

"Apa yang kau pikirkan, bodoh!? Sekarang turun dari sana!"

Gil tidak mau tahu, lagipula jika ia membantu terus tiba-tiba pemuda itu jatuh, bisa-bisa ia dituduh membunuh orang.

—yah walau ia bisa tepis dengan mudah. Siapa dulu dong rajanya.

"Tapi angin disini enak, Gil." ucapnya dengan senyuman lebar nan manis. Gil hanya bisa menghela napas gusar, setidaknya dia tidak bermaksud mengakhiri hidup.

"Kamu itu bodohnya murni ya? Enkidu. Turun sekarang." Perintahnya, namun Enkidu menggeleng bebal, seolah-olah memang sengaja membuat raja kebanggaan Uruk ini semakin kesal.

Satu langkah, dua langkah. Enkidu benar-benar tidak mendengarkan Gil. Ia berjalan dengan lincahnya seakan sudah ahli dalam hal ini. Gerakannya begitu cekatan, dan bila ia akan goyah, kedua lengan kurusnya akan dengan siap menegakkan rentangannya. Terkadang ia terkekeh manis saat mendengar Gil yang tiada bosan menceramahinya—dasar paranoid.

"Gil tidak bosan?"

"Apa maksudmu? Kamu tidak mendengarkanku?"

Enkidu menghentikan langkahnya, barulah ia menatap kembali iris emas yang kini terdapat guratan kesal di atasnya, "Menceramahiku seperti tadi?"

"Lebih baik aku mati kebosanan daripada kehilangan teman merepotkan sepertimu."

Sebuah jawaban spontan yang tentu saja sudah diprediksi oleh Enkidu. Namun, meski ia sudah tahu Gil akan mengatakan hal itu, seringaian manisnya semakin melebar. Seperti mendapat hadiah ulang tahun yang mengejutkan.

"Benar juga ya~" jawab Enkidu disertai tawa kecil yang menyerupai lonceng kecil yang berdenting, ditambah dengan matanya menyipit bulan sabit serta beberapa helai hijau cemerlangnya yang dimainkan angin senja—benar-benar potret sempurna, yang nyaris membuat jantung Gil mendesir hangat.

"Kalau mengerti, turun."

Enkidu menggeleng nakal. Bukannya turun, ia justru berbalik dan menghadap sahabat terbaiknya, tersenyum penuh maksud yang kali ini Gil akui—menyebalkan.

"Tidak akan ada yang jatuh dari sini, dasar berlebihan."

"Kenapa kau bisa seyakin itu? Bisa saja kau tergelin—"

"Aku belum mendapatkan mimpi mengenai itu," Enkidu meletakan telunjuknya di bibir Gil yang lembut, menjadikannya sedikit condong ke sang raja, "Lagipula aku punya kekuatan yang kurang lebih sama denganmu, Gil."

Gilgamesh langsung saja menggenggam pergelangan tirus Enkidu erat, menatap manik hijau jernih itu dengan kesungguhan seperti saat ia merencanakan pembunuhan Humbaba. Tak perlu satu menit kemudian, Gil menghela napas, guna mengatur emosinya.

"Tetap saja, kau bisa terluka dan kesakitan."

Final Gil, Enkidu membisu setelahnya. Kata-kata Gil benar-benar di luar prediksinya, terlebih—sejak kapan Gil begini blak-blakan? Biasanya ia memberikan kode secara kasar bukan?

Pasti Gil salah makan, pikiran Enkidu membuatnya tanpa sadar mencubit hidung Gilgamesh dengan keras sebagai pembuktian nyata.

"Aduduh! Apaan sih?!"

"Kamu tidak salah makan?"

"Tentu saja tidak! Lagipula kita tadi kan makan bersama, kalau aku keracunan, kamu juga akan keracunan." Jawab Gil ketus. Entah sudah keberapakalinya, Enkidu tertawa pelan melihat tingkah sahabatnya ini. Sisi Gil yang cerewetnya sebelas dua belas dengan Ishtar memang jarang sang empunya keluarkan—kecuali di depan Enkidu tentunya, entah kemana sifat arogan menyebalkannya.

Enkidu kembali menegakan tubuhnya, tersenyum halus sembari merentangkan tangannya. Yang tentu saja membuat manik emas sang raja membulat ngeri.

"Kau tidak takut jatuh?!"

Gelengan, kembali Enkidu menampilkan senyuman terbaiknya.

"Tidak," melihat tatapan Gil yang tidak puas, membuat Enkidu menjadi gemas sendiri. Lagi—ia terkekeh. Astaga, apa ada yang menghitung berapa kali si kepala hijau terang ini terkekeh manis?

Matanya yang menyipit perlahan kembali menampakkan manik hijau, jawaban selanjutnya benar-benar membuat Gil terdiam seribu kata, "Aku memiliki Gil soalnya, Gil tidak akan membiarkanku jatuh bukan? Lantas, apa yang perlu aku takutkan, Paduka?"

Hening kemudian terbuyarkan ketika Gil tersenyum geli, tak lupa juga ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Apresiasi penuh pada jawaban Enkidu yang seperti benar-benar pasrah—seakan hidup matinya memang berada di tangan miliknya.

"Baiklah, kamu menang," Gil merentangkan tangannya, memberi ancang-ancang untuk menangkap Enkidu secara sempurna, "Sekarang, turunlah, aku cemas jika tanganku tidak cukup cekatan untuk menangkapmu nanti."

"Ibundamu, dewi Ninsun, akan memarahimu habis-habisan jika tahu kau tidak menolongku, Gil." jawab Enkidu ringan, sembari merentangkan tangannya dan melompat ke pelukan Gilgamesh.

Helaian hijaunya sempat mengibar indah, sampai setiap senti tubuh Enkidu benar-benar jatuh pada pelukan Gil. Gilgamesh dengan cekatan langsung menggendong Enkidu seperti pengantin, manik emas tenang nan datarnya menatap lekat ke kepala hijau, senyumnya? Tidak berapa lama ia sudah musnahkan.

"Kamu berat."

"Tentu saja, makanan kerajaan benar-benar enak~"

Mereka kembali memasuki kastil, dengan Gilgamesh yang membawa Enkidu meninggalkan pemandangan senja, dan Enkidu yang menggumamkan nada ceria sementara jemari kirinya memainkan helaian pirang Gil yang mencuat keluar dari helai lainnya. Tangan kanan mereka bertaut, saling menjaga.

.
.
.

Sudah lama gak nulis, jadi maaf kalau kaku atau bahasanya terasa berbeda.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 23, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Vestige || GilgaEnkiduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang